Mungkin bagi Juve, sepak bola tak memerlukan apa itu bermain cantik, apa itu bermain indah. Yang terpenting bagi Juve adalah menang, bawa pulang poin, piala, lalu dimulai lagi dari nol. Begitu terus sampai Atta Halilintar lepas bandana.
Maka ketika banyak pelatih hebat datang silih berganti menukangi Juventus, dari mulai Lippi, Capello, hingga sekarang, Maurizio Sarri. Tak ada satupun dari mereka, yang mampu mengubah identitas Juventus sebagai pemilik sepak bola mengesalkan.
Benar, sepak bola Juve memang sepak bola yang "ngeselin", padahal Juve tak pernah kekurangan stok pemain hebat, dari mulai Zidane, Nedved, Pirlo, hingga saat ini, Miralem Pjanic. Semuanya merupakan jenderal lini tengah terbaik yang pernah dimiliki sepak bola.
Namun saat mereka berseragam Juve, jangan langsung membayangkan keberadaan mereka bisa membawa sepak bola yang menghibur. Hilangkan jauh-jauh pikiran positif pada Juventus. Sebab tak ada satupun dari mereka yang bisa keluar dari kesakralan identitas sepak bola Juve. Sepak bola ngeselin.
Pandangan saya mungkin sangat bertolak-belakang dengan pendapat seorang pundit sepak bola kenamaan, Justin Laksana, atau akrab disapa Coach Justin.
Di salah satu cuitannya, ia bahkan tak ragu mengatakan, Juventus adalah satu-satunya tim di Italia, yang mampu menampilkan sepak bola indah, di saat tim-tim lainnya menampilkan sepak bola yang "tak punya harga diri".
Entah indah dalam artian yang bagaimana. Indah Permata Sari atau mungkin Indah Dewi Pertiwi, saya tak tahu. Terlalu abstrak. Kadang, logika saya lebih mudah mencerna hasil-hasil survey Cak Lontong, ketimbang memahami analisis-analisis Coach yang satu ini.
Tetapi tentu, argumen saya ini bisa saja keliru. Juventus bisa saja memang belum 100% tampil optimal. Mengingat Sarri pun baru menukangi klub ini kurang dari enam bulan lamanya.
Masih banyak waktu yang dimiliki Sarri, untuk bisa menemukan formulasi yang tepat, supaya skema "Sarri Ball" andalannya, bisa berjalan di klub ini.
Mungkin benar yang dikatakan Sarri, bahwa belum semua pemain Juventus sudah "move on" dengan skema pelatih sebelumnya. Maka ada baiknya, Sarri pun juga tak lagi membuang-buang waktu, dengan terus menjadikan kompetisi yang sudah separuh perjalanan ini, sebagai masa transisi dari skema lama ke skema yang baru.
Sarri harus tegas, memaksa filosofi sepak bola menyerang "Sarri Ball" kepada seluruh anak asuhnya tanpa terkecuali. Bukan malah membiarkan anak asuhnya terlena, bernostalgia dengan skema lama, yang menjadi zona nyaman bagi diri mereka sendiri.