Kesal! Franda ungkap ketidaksukaannya ketika mendapat sebuah foto dirinya terpampang di badan belakang box truk. Apa katanya? #Franda
via @detikhot https://t.co/EPUNEINn3V--- detikcom (@detikcom) November 4, 2019
Seumpama, saat kita tengah berkendara, tiba-tiba kita melihat ada foto kita, terpampang di sebuah kendaraan yang berada persis di depan kita, padahal kita tahu, kita tidak pernah memberikan ijin sama sekali ke siapapun untuk menggunakan foto kita. Apakah kita tidak boleh marah, atau setidaknya, sedikit meluapkan kejengkelan?
Saya bukan Franda, tidak kenal secara pribadi, tidak ngefans, tidak tahu apapun mengenai dia. Hanya tahu dia cantik, imut. Selebihnya, saya tak tahu lagi. Dan saya jadi membayangkan, jika peristiwa yang sama terjadi terhadap saya, semisal, saat sedang ke toilet umum, lalu ketika membuka pintu, melihat ke arah dudukan toilet, ada foto saya terpampang di sana, tentu saya akan sangat marah sekali. Mengapa foto cowok ganteng yang wajahnya 11-12 dengan Gerard Butler ini, bisa menjadi alas duduk toilet?
Oke, analoginya berlebihan. Tapi saya percaya, kita saling memahami, bahwa konteksnya tetaplah sama. Yakni, apakah kita masih bisa tetap "santai-santai" saja, jika ada orang lain dengan seenaknya menggunakan foto kita untuk kesenangannya sendiri? Sekalipun cuma sekadar dipajang sebagai meme di body belakang truk.
Sudah jatuh, tertimpa tangga, beserta ular-ularnya. Sepertinya tak melulu nasib perempuan cantik, bisa semulus kulitnya. Franda yang awalnya hanya mengungkapkan keheranannya mengenai kenapa wajahnya bisa ada di gambar pada belakang truk, justru malah dihujat habis-habisan oleh banyak warganet. Barangkali salah satunya, sedang membaca tulisan ini.
Ada yang menyinggung soal siklus PMS, mengait-ngaitkannya dengan situasi rumah tangga, bahkan yang paling kurang ajar, tentu, soal sindiran tentang suami Franda yang tidak bisa memuaskan di ranjang. Hina sekali, memang, netizen +62!
Konyolnya adalah, komentar-komentar jahat ini justru dipicu oleh beberapa portal berita online, yang membuat judul serta narasi yang seenak jidat. Sekelas Detik, misalnya. Mereka memuat judul berita receh ini (saya sih merasa ini bukan berita) dengan tajuk "Franda Kembali Dibuat Kesal, Kali ini Fotonya Terpampang di Truk."
Tahu dari mana Franda kesal? Asal tebak? Menerka-nerka dari emoticon? Wow! Jurnalis rasa Cenayang. Saya yang enam tahun kuliah Psikologi saja, sampai hari ini tidak tahu bagaimana cara membaca pikiran orang, apalagi cuma dari mengamati emoticon yang digunakan.
Bagaimana jika ternyata Franda hanya sekadar mencurahkan keheranannya saja? Merasa bingung, 'Kok foto gue yang dipake jadi meme di belakang truk? Padahal kan gue ga cakep-cakep amat, cakepan pacarnya Handi Aditya walau alisnya beda sebelah.'
Kalau tujuannya untuk menjaring pengunjung yang banyak, okelah. Detik berhasil. Tapi, hei. Menjaring pengunjung dengan berita dan judul semacam ini? Rendah sekali kualitas hasil berpikirnya.Â
Kita tahu, masyarakat kita lebih seneng bacot ketimbang baca. Detik dan banyak media receh lainnya, tahu itu. Semakin ramai dibicarakan, semakin mereka diuntungkan. Pengunjung berdatangan, penghasilan dari iklan semakin deras mengucur. Tapi coba tebak apa akibatnya terhadap orang yang menjadi objek pada berita ini? Dirundung habis-habisan, dihujani banyak cacian dan makin. Ga percaya? Buka saja kolom komentar twit yang saya sematkan! Padahal, pernah berbuat salah apa Franda terhadap yang menghujatnya?
Dan, oh! Sekali lagi selamat ya, berkat kalian (media-media receh)! Pagi ini ada seorang perempuan muda, yang juga seorang ibu, yang saat ini mungkin tengah terluka hatinya berkat perundungan yang kalian ciptakan! Selamaaat...
Begini ya, kita tidak boleh lupa bahwa, terlepas dari Franda ialah seorang artis, seorang public figure, ia tetaplah sama seperti kita, sama-sama orang biasa, yang memiliki perasaan, bisa kesal, jengkel, atau bahkan marah. Seperti halnya saya yang marah jika foto saya menjadi alas duduk toilet, Franda pun berhak keberatan fotonya dipakai menjadi meme di belakang truk.
Dan media, saking banyaknya, saya jadi malas menyebutnya satu per satu. Berhentilah memberitakan hal-hal remeh semacam ini. Tidak semua peristiwa yang viral di sosial media, layak untuk menjadi berita!Â
Bekerjalah yang benar! Yang "beneran kerja" , gitu! Atau setidaknya, jika otak kalian sudah tak mampu menemukan peristiwa penting lain sebagai sebuah berita, kemaslah berita-berita receh secamam ini, dengan nilai-nilai jurnalisme yang baik, yang berkualitas. Mading dari anak-anak "Sekolah Terbuka" saja bahkan bisa membuat berita dengan judul dan narasi yang lebih bagus!
Tadinya saya mau menuliskan ini untuk saya kirimkan ke Dewan Pers, tapi setelah dipikir lagi, menulis di Kompasiana jauh lebih bermanfaat. Karena bisa menjangkau lebih banyak orang yang masih memiliki akal sehat dan nurani, setidaknya, yang masih memiliki kepedulian terhadap hak-hak pribadi dan berpendapat.
Terakhir, untuk Franda, dan juga untuk kita semua. Jangan pernah takut untuk mengemukakan apapun, perihal apa yang membuat kita merasa tidak nyaman.Â
Menyampaikan rindu, misalnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H