Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bersantap di Restoran 100 Euro Ditemani TV Plasma ala Juventus

2 Desember 2018   09:20 Diperbarui: 2 Desember 2018   11:23 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : juventus.com

Roda kehidupan memang berputar, sekali waktu ia membawa kita berada bergumul pada titik terendahnya, bergulat pada kegetiran, keputus-asaan, bahkan ketidak-berdayaan. Tetapi sekali waktu pula, kita akan dibawanya membumbung tinggi ke tempat di mana tak pernah kita bayangkan sebelumnya, titik di mana segala bentuk proses pengorbanan dan kerja keras kita di masa lalu, berbuah menjadi hasil yang tak hanya membawakan kegembiraan, melainkan juga kebanggaan, yang membuat segalanya tampak terbayar lunas. Bukankah begitu, Juventini?

Siapa yang masih ingat, di musim 2005/2006 ketika Juventus pernah diisi oleh nama-nama besar seperti Del Piero, David Trezeguet, Pavel Nedved, hingga Zlatan Ibrahimovic? Rasanya bukan hanya klub-klub di Italia saja yang ciut ketika mendengar nama Juventus, hampir seluruh klub di Eropa pun setuju, Juventus merupakan nama yang sebisa mungkin amat sangat ingin mereka hindari ketika drawing kompetisi.

Bukan tanpa alasan jika Juventus sangat ditakuti ketika itu, bahkan jika kita menengok kembali skuad Juventus pada musim itu, mayoritas nama-nama pemain di skuad intinya, mengisi hampir sekitar 70% skuad yang tampil berlaga di Final Piala Dunia 2006. 

Baik mereka yang membela timnas Perancis, maupun mereka yang berseragam Italia yang kala itu keluar sebagai Juara. Sungguh, sebuah kebetulan yang aneh. Atau mungkin lebih tepatnya bukan kebetulan? Karena jika kita telisik lebih jauh skuad Juventus saat itu, nyaris tanpa cela di hampir semua lini.

Juventus bak monster raksasa yang siap memangsa siapapun menjadi lawan-lawannya, mereka memiliki seorang 'superman' Gianluigi Buffon di bawah mistar gawang, mereka punya proteksi berlapis di lini belakang bernama Fabio Cannavaro, Thuram dan Zambrotta. 

Mereka diberkahi jangkar dan jala penjerat bernama Emerson dan Patrick Viera, sayap-sayap bertenaga jet pada kaki Mauro Camoranesi dan Pavel Nedved, serta terakhir, mereka punya duet penghancur dan eksplosif nomor wahid pada diri Alessandro Del Piero dan David Trezeguet.

Tetapi siapa yang menyangka, pada tahun yang sama pula, bersama AC Milan, Lazio dan Fiorentina, Juventus didakwa terlibat skandal pengaturan skor terburuk sepanjang sejarah sepakbola di negeri Pizza itu. Pada akhirnya, Juve harus rela kehilangan gelar juara Serie A, karena pengadilan memutuskan untuk mencabut gelar yang telah susah payah mereka raih. 

Tak berhenti sampai di situ, mereka juga dipaksa untuk turun level dan berlaga di liga kasta kedua, bermain di Liga Italia Serie B. Sungguh sesuatu yang amat mengejutkan dan membingungkan, sesuatu yang bisa diibaratkan seperti petir di siang bolong, menyambar tiba-tiba tanpa pertanda, membakar ladang yang siap dituai, serta lumbung yang menyimpan hasil panen.

Tak ada yang menyangka Juventus yang begitu superior ketika itu, bisa mendapatkan dakwaan pengaturan skor yang nyaris tak bisa diterima oleh akal sehat. Apa perlunya skandal tadi, mengingat betapa superiornya kedalaman skuad yang dimiliki Juventus saat itu. Karena tanpa melakukan praktek-praktek kotor pun, bukan hal sulit bagi Juve untuk finish di posisi teratas, mengingat mereka punya pemain sekaliber Del Piero, yang dilapis oleh pemain cadangan sekelas Ibrahimovic!

Tak terbayang besarnya guncangan yang menghantam Juventus saat itu, kehilangan gelar, kehilangan reputasi dan nama baik, serta yang paling parah, kemerosotan nilai finansial dan valuasi saham yang memaksa Juventus harus mencari-cari cara menyelamatkan klub yang tengah hancur lebur saat itu.

Kemalangan Juventus tak berhenti sampai di situ, tak lama setelah klub didakwa melakukan skandal terburuk yang pernah terjadi sepanjang sejarah sepakbola Italia, mereka mulai ditinggalkan satu per satu oleh punggawa-punggawa terbaik mereka, Cannavaro yang kala itu berhasil meraih gelar pemain terbaik dunia 2006, memilih hengkang ke Real Madrid bersama sang pelatih, Fabio Capello. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun