Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menunggu Para Hantu di Pulau Peling (Bagian Kedua)

18 Juni 2024   21:49 Diperbarui: 20 Juni 2024   14:35 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gosong sula Megapodius bernsteinii alias kailong, hanya ada di Kepulauan Sula dan Banggai. (dok. Hanom Bashari)

Suara deras air terjun Lasa terus menderu. Kami masih berdiri berhadap-hadapan dengan sang monyet hantu Peling, Tarsius pelengensis. Panggilan lain tampaknya mengusik sang primata yang tampak gelisah. Sekejap mata, tiba-tiba sang tarsius tadi menghilang, melompat cepat masuk ke dalam rimbunan tajuk.

Setelah berpuas diri bersama sang monyet hantu, menjelang pukul delapan malam, kami bersiap diri. Mengepak kembali barang-barang dan segera meluncur ke pantai menuju Desa Koyobunga, masih di Kecamatan Peling Tengah.

Motor kami melaju turun di malam dingin, akhir April 2024 ini. Beberapa jalan terlihat basah dan becek akibat hujan sore tadi. Setelah mampir sejenak membeli mie instan dan nasi bungkus, kami melaju kembali ke lokasi sasaran.

Baca sebelumnya: Menunggu Para Hantu di Pulau Peling (bagian pertama)

Hitam manis si bulu babi

Kami berhenti di salah satu rumah, tepat di pinggir laut. Rumah panggung berlantai bambu. Om Uwa, sang tuan rumah sedang pergi mengatar ibu-ibu desa melaut. Ya, pantai lagi meti alias surut. Para ibu bersibuk mencari bulu babi dan para bapak mencari ikan.

Kami bertiga segera mencari colokan listrik untuk mencas hape-hape kami, sembari menunggu mie instan yang dimasak oleh istri Om Uwa yang tidak ikut melaut. Setelah perut cukup terisi, tanpa diperintah kami segera berbaring di ruang tengah, sampai hampir tertidur.

Menjelang pukul sebelas malam, Om Uwa (64) tiba sambil membawa setengah peti ikan. Namun Saya dan Awang segera menghampiri salah seorang ibu yang membawa sebuah kantong agak besar.

"Bu, boleh coba makan bulu babi ini?"

"O, boleh, ambil saja", kata sang ibu.

Kami celingukan, kemudian istri Om Uwa segera mengambil sebagian bulu babi hasil pencarian ibu-ibu tadi dan membawa ke dapur. Kami mengikuti seperti anak kecil yang akan mendapatkan mainan baru. Dengan cekatan istri Om Uwa membersihkan bulu babi tadi dan membuka cangkangnya. Tampak bagian berwarna kuning di dalamnya.

"Ambil saja pakai sendok dan langsung makan", kata beliau.

Kami pun nurut dan masing-masing mencoba satu. Mmmm, manis gurih sekali, dengan tekstur seperti telur ikan. Mungkin saya kurang lihai mencongkel, sehingga  bagian yang kuning masih bercampur dengan bagian yang hitam di sebelahnya. 

Istri Om Uwa yang cekatan membongkar bulu babi untuk kami. (dok. Hanom Bashari)
Istri Om Uwa yang cekatan membongkar bulu babi untuk kami. (dok. Hanom Bashari)
Setelah ngobrol sejenak dengan beberapa warga, saya tak tahan lagi, mata ini makin meredup. Amran sudah tidur dari tadi, sedangkan Awang masih saja asik ngobrol. Saya pun kembali merebahkan diri dan terlelap.

Tak berapa lama, Awang membangunkan kami berdua.

"Ayo makan!", saya masih mengatur nyawa. Namun Amran terlihat segera bergerak. Ah, benarkah makan lagi di tengah malam begini?

Di ruang sebelah, hamparan ikan bakar beraneka rupa telah tersedia. Kami duduk bersila melingkar. Setelah dikomandoi Om Uwa, jamuan makan tengah malam pun dimulai.

"Pokoknya kalau disuruh makan harus makan", tegas beliau.

Saya hanya bisa terkesima. Kami dihidangkan ikan bakar segar, yang baru hitungan sejaman tadi ditangkap. Saya melupakan nasi karena sudah cukup termuat di perut saya tadi bersama mie instan, sekarang saatnya ikan. Kakap, baronang, goropa beraneka rupa siap disantap.

Mengintip si gosong kailong

Setengah lima lewat, setelah sholat subuh, kami bersiap di pinggir jalan. Perahu bersemang milik Om Uwa telah bersedia. Air telah naik pagi ini. Saya bersama Amran, Om Uwa dan dua kawan lain, Rifai (29) dan Emet (29) segera menaiki perahu. Kawan Awang kembali memilih tetap di rumah Om Uwa. Mesin katinting ditarik, dan kami meluncur menuju Pulang Saleng yang berada tepat di depan Desa Koyobunga.

Dalam dingin nan lembab, perahu melaju pelan. Emet yang duduk paling depan, menyorotkan senternya ke sisi Pulau Saleng, sedangkan Om Uwa mengendalikan kemudi. Perahu berhenti dan sandar di salah satu sisi, kemudian mesin katinting segera dimatikan. 

Rifai dan Emet adalah pengurus Kelompok Sadar Wisata atau Podarwis di Desa Koyobunga ini, Rifai ketuanya. Selain bersama Amran mengembangkan wisata pengamatan burung, mereka juga telah siap untuk memandu turis untuk snorkling, boating, fishing, bahkan grilled fish alias bakar-bakar ikan. 

Kami semua turun kecuali Om Uwa. Pendakian segera dimulai. Sendal gunung yang saya pakai cukup ampuh dan fleksibel. Dapat segera dicopot saat berperahu, namun masih cukup tangguh melintasi jalan setapak bercampur karang tajam seperti saat ini.

Setelah lima belasan menit, kami tiba di pondok kecil yang sebetulnya merupakan pondok kamuflase. Di hadapannya, tampak beberapa gundukan tanah. Kami berempat masuk, Amran segera menyalakan obat nyamuk bakar.

Dari luar, pondok ini tampak gelap, namun dari dalam kami dapat melihat area di luar yang lebih terang dengan cukup leluasa. Kamera karatan saya segera dikeluarkan, bersedia dengan tripodnya. Setengah jam lebih kami menunggu, dan akhirnya suara itu terdengar.

Seperti suara tawa cekikikan muncul dari arah utara, sebelah kiri kami. Itu yang kami tunggu, kali ini bukan hantu lagi, tapi burung gosong sula alias Megapodius bernsteinii. Masyarakat Peling menyebutnya Kailong. Suara bersahutan, menandakan satu pasang.

Gosong sula termasuk keluarga Megapodidae atau si kaki besar, hanya tersebar alami atau endemik di Kepulauan Sula dan Banggai, termasuk di Pulau Peling dan sekitarnya. 

Gosong sula Megapodius bernsteinii alias kailong, hanya ada di Kepulauan Sula dan Banggai. (dok. Hanom Bashari)
Gosong sula Megapodius bernsteinii alias kailong, hanya ada di Kepulauan Sula dan Banggai. (dok. Hanom Bashari)
Gundukan yang kami lihat di depat pondok kamuflase tadi adalah sarang tempat si gosong akan menggali lubang untuk meletakkan telurnya. Mereka akan memanfaatkan panas alami dari sinar matahari dan proses pembusukan serasah daun sebagai sumber panas dalam proses inkubasi telur mereka. Ya, mereka tidak mengerami telurnya, namun berharap dengan kebaikan alam seperti ini.

Sang gosong hilir mudik. Tubuh mereka kecoklatan, sebesar ayam kampung. Sedikit mencakar-cakar gundukan tanah, kemudian mereka naik ke dahan-dahan pendek di sekitar lokasi peneluran, turun kembali, dan terus demikian. Suara mereka terus saling memanggil, padahal mereka tidak berjauhan. Tidak sampai setengah jam, mereka menghilang ke arah selatan pulau.

Setelah memastikan beberapa saat mereka tidak kembali, kami segera keluar dari pondok kamuflase. 

"Sebaiknya kita hindari menginjak gundukan-gundukan ini, karena ini merupakan sarang tempat telur mereka", jelas saya kepada kawan-kawan di sini. 

Kami pun bergegas turun kembali ke arah perahu, karena mungkin sang gosong tadi akan kembali untuk segera bertelur.

Perahu bergerak perlahan di atas air laut tenang berlapis kabut tipis. Kami bergerak sedikit memutar pulau, menuju Pulau Koyo di sebelah Saleng. Burung pekaka bua-bua tampak di sisi utara, sedangkan kelompok punai gading dan  pergam laut bertengger di pohon tertinggi di tengah pulau.

Jalur darat dari Salakan - Desa Koyobunga - Danau Paisu Pok di Desa Luk Panenteng, Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. (peta tangkapan layar google map)
Jalur darat dari Salakan - Desa Koyobunga - Danau Paisu Pok di Desa Luk Panenteng, Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. (peta tangkapan layar google map)
Lagi viral

Awang tancap gas sepeda motornya menuju utara Peling, membonceng saya. Suasana pantai, kebun-kebun kelapa, dan desa-desa khas pesisir silih berganti. Di beberapa desa tampak buah manggis masih banyak dijajakan namun pohon-pohon durian sudah tidak terlihat berbuah.

Setelah sekitar satu setengah jam, motor mulai diperlambat. Di kanan kami tampak pantai dan teluk yang berhijau toska, berpadu dengan pantai pasir putih dan karang-karang di sekitarnya. Akhirnya kami berhenti di tujuan kami, Desa Luk Panenteng, Kecamatan Bulagi Utara. Di sinilah terletak Danau Paisu Pok yang cukup viral belakangan ini.

Danau laksana kaca, bening hijau mengkilap. Perahu kayu kecil di tengah danau melintas, tampak seperti lukisan. Ah, tapi itu harapan saja. Kenyataannya, saya ternyata datang di hari Minggu. Walaupun kami tiba sekitar setengah sepuluh pagi, namun danau telah sibuk. Suara pengunjung ramai, dermaga kecil memanjang di sepanjang sisi utara danau pun telah penuh sesak. Sementara di tengah danau, para pengunjung hilir mudik berenang ria.

Danau Paisu Pok di Minggu pagi, pengunjung mulai ramai. (dok. Hanom Bashari)
Danau Paisu Pok di Minggu pagi, pengunjung mulai ramai. (dok. Hanom Bashari)
Danau seluas sekitar 1,2 hektar ini, sesungguhnya sudah cukup tertata. Dermaga kayu yang cukup panjang dan beberapa gazebo telah berdiri. Perahu-perahu kayu siap disewakan tersedia. Jalan menuju danau dari jalan utama desa pun telah cukup baik. Beberapa petunjuk jalan menuju danau dan papan informasi juga cukup jelas terpampang di beberapa tempat.

Kami menikmati secukupnya, dari pinggir-pinggir danau yang tak terjamah, sedikit berswafoto, kemudian kembali ke tempat kami memarkir motor. Sebelum keluar, kami membayar tiket lima ribu rupiah per orang untuk tiket masuk ke lokasi danau tadi.

Danau Paisu Pok ini sebenarnya bukan satu-satunya obyek wisata yang dapat dikunjungi di sekitar Desa Luk Panenteng. Beberapa laguna di dekat pantai tak kalah cantik.

Kami melaju sedikit ke arah barat. 

"Ada satu danau kecil di sana, bagus", terang Awang, "tapi rasa air sabun, karena banyak orang bacuci", sambung Awang sambil tersenyum.

Danau Paiso Batango, masih di Desa Luk Panenteng, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. (dok. Hanom Bashari)
Danau Paiso Batango, masih di Desa Luk Panenteng, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. (dok. Hanom Bashari)
Betul saja, terdapat danau laguna kecil di sana dengan air super toska. Terlihat teduh dengan pohon-pohon ara besar di sekitarnya. Karang-karang hitam di kanan kiri seperti benteng. Dan benar juga, banyak ibu-ibu sibuk mencuci dan busa sabun yang ke mana-mana. Di depan jalur masuk tertulis nama: Paiso Batango.

Setelah berbincang sebentar dengan anak-anak di sekitar danau, kami akhirnya kembali meluncur balik kanan. Singgah kembali sebentar di Koyobunga untuk berpamitan dengan Om Uwa dan langsung cabut kembali ke Salakan. Saya tak bisa berlama-lama lagi, karena mengejar kapal penumpang Salakan -- Luwuk yang akan berangkat setengah empat sore nanti.

Dua malam dua hari yang menyenangkan di Pulau Peling, walaupun cukup melelahkan. Bertemu kawan-kawan baru yang luar biasa, satwa-satwa cantik nan unik, serta tempat-tempat indah dan menawan. Mudah-mudahan ada waktu untuk kembali. Terimakasih semuanya yang telah membantu. #

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun