Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menunggu Para Hantu di Pulau Peling (Bagian Pertama)

18 Juni 2024   02:46 Diperbarui: 20 Juni 2024   14:35 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paok sula Erythropitta dohertyi, endemik Kepulauan Sula dan Banggai/dokpri.  

Dalam gulita hampir tengah malam, kawan saya Amran (32 tahun) blusukan ke semak-semak dan sela-sela tanaman cengkih. Senter di kepalanya menyala terang. Saya dan kawan Awang (40) menunggu di halaman sebuah rumah kebun, sambil sedikit planga plogo mengarahkan senter ke beberapa dahan pohon, berharap mendapat keberuntungan. Dingin dan sunyi.

"Sepertinya dia sudah pergi", kata Amran. "Kita pindah ke bawah saja", sambungnya.

Kami segera menuruni bukit kecil ini, menuju motor-motor kami di pinggir jalan, kemudian melaju turun sekitar dua kilometer ke arah bawah. Setelah berhenti, Amran segera mengeluarkan jurus-jurus rahasianya. Beberapa menit menunggu.

"Nah, itu dia", seru Amran sambil menyenteri dahan kering tepat di seberang jalan. "Hantu" yang kami tunggu, akhirnya tiba.

Ya, sedari tadi kami menunggu salah satu burung hantu mungil asli dari Kepulauan Banggai di Sulawesi Tengah, yaitu celepuk banggai atau Otus mendeni. Siulannya sangat khas. Kami mengikuti suara siulan tersebut dan akhirnya berhasil memergokinya.

Saya baru saja tiba di Pelabuhan Salakan di Pulau Peling sekitar pukul tujuh malam tadi, di akhir April 2024. Bersama Awang, saya langsung menuju pondok Lasa yang dikelola oleh kelompok masyarakat yang digawangi oleh Amran.

"Para tamu yang biasa menginap di pondok Lasa, mereka mencari celepuk banggai, paok sula, dan juga tarsius banggai. Semuanya endemik Pulau Peling ini", terang Amran.

Pondok Lasa di Desa Patukuki, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah/dokpri.
Pondok Lasa di Desa Patukuki, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah/dokpri.

Tamu yang dimaksud Amran adalah para wisatawan mancanegara dan domestik, termasuk saya ini. Dari Salakan tadi saya berboncengan motor dengan Awang, sekitar satu setengah jam ke arah Patukuki, sampai di pondok Lasa ini. Salakan sendiri merupakan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang berada di Pulau Peling, Provinsi Sulawesi Tengah.

Walaupun girang bertemu sang hantu, saya agak kecewa juga, karena kamera DSLR yang saya bawa setelah berjibaku di Pulau Taliabu pekan sebelumnya, kehujanan, sehingga tidak dapat disematkan flash eksternal, layar LCD mati total, serta beberapa lampu indikator yang juga mati. Saya berspekulasi saja dengan pengaturan manual. Namun karena si celepuk banggai ini cukup dekat dan terlihat tidak terganggu, saya memaksa diri untuk membuat foto juga dari hape. Bisa swafoto!

Kami kembali ke pondok Lasa, ngobrol sebentar dan kemudian terlelap lewat tengah malam.

Menunggu si paok

Esok pagi, Amran membawa saya menuju salah satu bukit tak jauh dari pondok Lasa, sedangkan Awang memilih tak ikut. Bukitnya dekat, tapi menuju puncaknya yang menguras nafas. Hampir di puncak dekat pohon ara, kami berhenti. Bebatuan karang nan cadas tersembul di banyak tempat, menandakan bukit ini sesungguhkan dahulu kala terendam oleh lautan.

Kami akan menunggu salah satu burung asli Kepulauan Banggai dan Sula, paok sula atau Erythropitta dohertyi. Siulannya bersahutan di puncak bukit ini. 

Amran segera membangun kamuflase dari flysheet berwarna gelap yang telah dibolongi beberapa bagiannya sebagai lubang intip. Tak lama setelah kamuflase terpasang, hujan pun turun. Sial.

Kami menunggu cukup lama, untungnya begitu hujan reda, langit kembali benderang. Siulan sang paok kembali bergema. Amran mencoba memanggil. Kamera saya (yang sekarat) mencoba tetap bersedia. Tak lama, sepasang paok tadi berseliweran di depan kamuflase kami. 

Mereka sepertinya sepasang. Perut mereka yang merah menyala sangat kontras dengan sayap dan dada mereka yang biru toska. Mereka berloncatan dari tanah ke sulur-sulur liana hutan, masuk ke semak, dan lenyap.

"Tunggu sebentar, nanti mereka biasanya akan hinggap di batang melintang itu", bisik Amran menjelaskan. Ya, kami memang tak boleh banyak bersuara. Jadilah kesenyapan ini terjalin dalam suram dan ditemani gigitan nyamuk.

Tapi yang namanya sebentar itu ternyata tidak sekejap mata. Sang burung terus berseliweran, tak pernah tenang, mungkin mereka merasakan kehadiran kami di sekitar mereka.

"Biasanya mereka tenang", hibur Amran, "tidak tahu juga kenapa hari ini mereka cukup sensitif".

Saya mencoba berpikir positif, "tenang, rezeki tidak ke mana", timpal saya walaupun tentu saya berharap rezeki melihat burung ini, ada untuk saya.

Karena mereka tak kunjung bertengger tenang, maka saya pun tak mau menunggu lebih lama. Begitu mereka hinggap di mana pun, saya segera melepas shutter kamera saya puluhan kali, sambil berharap beberapa diantaranya cukup untuk menghasilkan gambar yang baik.

Paok sula Erythropitta dohertyi, endemik Kepulauan Sula dan Banggai/dokpri.  
Paok sula Erythropitta dohertyi, endemik Kepulauan Sula dan Banggai/dokpri.  

"Baiklah, cukup saja", kata saya menjelang tengah hari. Perut juga sudah terasa lapar. Kami pun membereskan kamuflase kami dan segera meluncur turun kembali ke pondok Lasa.

Di pondok, alhamdulillah kawan kami Awang sudah membelikan nasi bungkus. Tanpa menunggu kami segera makan. Hujan deras di sore hari menemani. Kami menunggu malam untuk melihat hantu lain di Lasa.

Lasa sendiri merupakan area wisata berupa air terjun bertingkat yang berada di Desa Patukuki Kecamatan Peling Tengah, yang dikelola oleh Amran dan komunitasnya. Di dalam kompleks ini tersedia beberapa pondok atau gazebo, kamar mandi, dan jalan setapak yang sedikit licin namun tertata rapih. 

Hantu mungil

Selepas maghrib, hujan telah reda. Saya bersama Amran menyusuri jalan setapak dari pondok menuju air terjun. Dalam kegelapan, telinga kami menerobos mencari dengar suara decitan melengking tinggi yang bercampur suara air menderu.

Sasaran kami adalah tarsius alias monyet hantu. Tarsius adalah salah satu primata terkecil di dunia yang hanya sebesar genggaman tangan. Sulawesi adalah gudang tarsius dunia. Dari belasan jenis tarsius di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, yang ada di Pulau Peling ini adalah khas atau endemik Pulau Peling dan Banggai. Dialah Tarsius pelengensis.

Tarsius pelengensis, hanya ada di Pulau Peling dan Banggai, Sulawesi Tengah/dokpri.
Tarsius pelengensis, hanya ada di Pulau Peling dan Banggai, Sulawesi Tengah/dokpri.

Di dekat jembatan, akhirnya mereka muncul, sepasang. Salah satunya tampak terdiam dan melotot ke arah kami.

Tarsius umumnya hidup pada habitat ekoton, yaitu wilayah transisi antara dua tipe habitat, dalam hal ini hutan dan kebun. Mereka tersebar di dalam hutan namun sebagian jenis cukup mudah juga dijumpai di kebun-kebun di pinggir hutan. 

Sebagai satwa nokturnal yang aktif di malam hari, walaupun bertubuh mungil, mereka mampu berburu serangga-serangga besar seperti belalang sebagai pakan utama mereka. Mata mereka yang besar memang sering dikaitkan dengan Yoda, Jedi Master dalam film Star Wars. Betewe, Echiro Oda juga pernah memunculkan sosok tarsius dalam sampul manga One Piece chapter 1093.

Setelah berpuas diri bersama sang monyet hantu, menjelang pukul delapan malam, kami bersiap diri. Mengepak kembali barang-barang dan segera meluncur ke pantai menuju Desa Koyobunga, masih di Kecamatan Peling Tengah.

Bersambung di bagian kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun