Kami kembali ke pondok Lasa, ngobrol sebentar dan kemudian terlelap lewat tengah malam.
Menunggu si paok
Esok pagi, Amran membawa saya menuju salah satu bukit tak jauh dari pondok Lasa, sedangkan Awang memilih tak ikut. Bukitnya dekat, tapi menuju puncaknya yang menguras nafas. Hampir di puncak dekat pohon ara, kami berhenti. Bebatuan karang nan cadas tersembul di banyak tempat, menandakan bukit ini sesungguhkan dahulu kala terendam oleh lautan.
Kami akan menunggu salah satu burung asli Kepulauan Banggai dan Sula, paok sula atau Erythropitta dohertyi. Siulannya bersahutan di puncak bukit ini.Â
Amran segera membangun kamuflase dari flysheet berwarna gelap yang telah dibolongi beberapa bagiannya sebagai lubang intip. Tak lama setelah kamuflase terpasang, hujan pun turun. Sial.
Kami menunggu cukup lama, untungnya begitu hujan reda, langit kembali benderang. Siulan sang paok kembali bergema. Amran mencoba memanggil. Kamera saya (yang sekarat) mencoba tetap bersedia. Tak lama, sepasang paok tadi berseliweran di depan kamuflase kami.Â
Mereka sepertinya sepasang. Perut mereka yang merah menyala sangat kontras dengan sayap dan dada mereka yang biru toska. Mereka berloncatan dari tanah ke sulur-sulur liana hutan, masuk ke semak, dan lenyap.
"Tunggu sebentar, nanti mereka biasanya akan hinggap di batang melintang itu", bisik Amran menjelaskan. Ya, kami memang tak boleh banyak bersuara. Jadilah kesenyapan ini terjalin dalam suram dan ditemani gigitan nyamuk.
Tapi yang namanya sebentar itu ternyata tidak sekejap mata. Sang burung terus berseliweran, tak pernah tenang, mungkin mereka merasakan kehadiran kami di sekitar mereka.
"Biasanya mereka tenang", hibur Amran, "tidak tahu juga kenapa hari ini mereka cukup sensitif".
Saya mencoba berpikir positif, "tenang, rezeki tidak ke mana", timpal saya walaupun tentu saya berharap rezeki melihat burung ini, ada untuk saya.