Akhirnya kapal berangkat, menuju pelabuhan akhir di Bitung. Bagasi saya masih aman tenteram.
Pagi hari cerah, selepas subuh saya menuju anjungan depan kapal. Kapal kami melewati celah-celah selat sempit antar pulau karang, air laut membiru hitam.
Sekumpulan lumba-lumba silih berganti kanan kiri. Beberapa anak riang berseliweran bolak balik di atas anjungan kapal, memperhatikan sang lumba-lumba beradu cepat dengan kapal. Ini pemandangan laut paling indah yang pernah saya lihat saat itu.
Tanpa saya sadari, sebenarnya perilaku saya yang selalu berjalan hilir mudik di antara lorong-lorong kelas ekonomi, khususnya saat-saat kapal sandar di pelabuhan, ternyata telah diperhatikan seseorang. Hingga suatu saat, yang saya khawatirkan terjadi.
"Itu barang-barang punya Mas?", deg, jantung saya berdegub kencang, karena saya tahu yang bertanya ini adalah petugas kapal.
Sesungguhnya saya juga sudah sering memperhatikan si petugas ini dalam beberapa hari. Dia selalu memperhatikan para penumpang hilir mudik di depan pintu masuk kapal. Sesekali berbicara serius dengan penumpang yang membawa banyak barang. Dan, saya tahu juga bahwa dia pernah memperhatikan kardus-kardus saya dengan saksama.
"Iya Pak", jawab saya.
"Bagasi tidak boleh ditaruh di lorong penumpang, ini mengganggu orang lewat", katanya.
Saya tahu itu juga sih, tapi sebagian besar penumpang lain juga melakukan hal yang sama. Oke, memang itu salah.
"Iya Pak, maaf. Sudah mau sampai Bitung juga sebentar lagi", jawab saya. Saya paham juga, masalah ini adalah masalah uang.