Sembari saya bolak balik memperhatikan berbagai megalit di Padang Pokekea ini, Arnol yang tampak bosan sibuk dengan hapenya, berteduh di beberapa pohon rindang yang terdapat di tengah area.
Baca juga: Cerita Mengunjungi Lembah Napu nan Subur
Sang Panglima, Tadulako
Perjalanan dilanjutkan. Kami meniti jalan setapak menggunakan motor di tengah padang ilalang yang terasa makin memanas. Di kejauhan terlihat bukit-bukit hijau cerah terpapar matahari, yang menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional (TN) Â Lore Lindu.
"Itu sudah kawasan taman nasional Pak", terang Arnol yang juga merupakan petugas Masyarakat Mitra Polhut, Balai Besar TN Lore Lindu yang bertugas di Resort Doda, di Lembah Behoa ini.
Lembah Behoa, sekitar lima ribu hektar, merupakan sebuah enclave atau area kantong yang dikellilingi oleh kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yang bukan menjadi bagian area taman nasional itu sendiri.
Taman Nasional Lore Lindu sendiri merupakan salah satu kawasan konservasi daratan terluas di Pulau Sulawesi. Sebuah taman nasional yang berfungsi diantara sebagai area perlindungan keragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan manusia sekitarnya, termasuk mendukung budaya dan ilmu pengetahuan.
Kami berhenti tepat di depan jembatan bambu pendek yang tak dapat dilalui lagi dengan motor. Dari kejauhan saya sudah dapat melihat sebuah plank nama. Pasti di sana, Situs Megalitik Tadulako.
Tidak wah seperti Pokokea, namun dalam area padang ini tampak dua benda utama, arca yang berdiri dekat dengan jalan masuk, dan sebuah kalamba agak di kejauhan di sebelah kiri.
"Tadulako artinya panglima", terang Arnol.
Arca Tadulaku setinggi sekitar dua meter, tampak berdiri tegak menghadap arah utara, arah kedatangan kami. Berwajah seperti mengernyit, bentuk kepala arca ini seperti memakai tutup atau hiasan kepala.