Sesaat setelah meninggalkan permukiman Dusun Wahi, tiba-tiba Budi menghentikan sepeda motornya, dan menengok ke ban belakang. Saya langsung deg-degan.
"Bocor?" tanya saya.
"Ngga Pak. Isi angin dulu Pak ya". Kami pun berbalik arah lagi ke Dusun Wahi dan singgah di bengkel motor kecil, yang sepertinya Budi sudah sangat hafal.
Tak lama kami berangkat kembali. Kali ini rabat beton sudah habis. Di GPSÂ yang saya bawa, baru menunjukkan perjalanan sejauh tujuh kilometer. Masih jauh, bathin saya.
Lama kelamaan kebun-kebun coklat dan ladang terbuka makin berkurang. Petak-petak hutan kecil makin silih berganti. Jalan pun makin mengecil hingga hanya berupa jalan setapak di pinggir tebing-tebing. Sungai Lariang di kanan kami mengalir deras. Coklat.
Kadangkala pada beberapa bagian di tengah perjalanan, kami jumpai lagi jalan rabat beton yang tak panjang, 50an meter dan terputus lagi. Setengah perjalanan, kami mulai memasuki hutan-hutan lebat.
Tegakan pohon-pohon besar mulai menghias kanan kiri kami. Sesekali kumpulan palem sagu terhampar dingin dan mistik, dijahit dengan sungai kecil berbatu kerikil yang kami lintasi. Hawa tenang dan sejuk sebenarnya tenteram, namun tentu suara motor kami mengganggu.
Sampai suatu saat di kejauhan tampak gerbang biru, ternyata bangunan beton penambat sebuah jembatan gantung. Setelah kami lewati jembatan 30an meter ini, saya minta berhenti sejenak. Kemudian saya berjalan ke tengah jembatan, sekadar menikmati sepantasnya kalau kita melewati jembatan gantung, selalu ingin berhenti di tengahnya.
Air deras nan jernih, menggulung di antara batu-batu besar melewati bawah jembatan gantung ini, langsung bermuara pada Sungai Lariang yang tampak jelas di hadapan kami. Saya penasaran, kemudian turun ke bawah jembatan dan sedikit merasakan segarnya air sungai.
"Sungai apa ini?" tanya saya kepada Budi. Dia seperti bingung. Mungkin dia jarang ngobrol dan bertanya. Nanti saja, saya pastikan kepada masyarakat di Moa, pikir saya. Setelah berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan.
Hutan dengan pepohonan yang rapat lebih banyak menemani perjalanan kami selepas jembatan biru tadi. Sampai tak berapa lama, kami menemui jembatan serupa, biru. Tentulah saya berhenti kembali.