(2021, Moa, Sulawesi Tengah) Sekitar pukul enam pagi lewat, pintu kamar penginapan saya sudah diketuk berkali-kali. Saya yang sempat tertidur usai subuh tadi, terbangun kaget.
"Iya, sebentar...", teriak saya dan segera berdiri malas kemudian membuka pintu.
"Sebentar ya, saya siap-siap dulu", kata saya kepada tukang ojek yang tadi mengetuk pintu. Kami memang sudah janjian kemarin sore. Sementara di luar kamar, sebagian kawan saya tengah asyik ngobrol dan minum kopi.
Saya segera bergegas mandi dan bersiap. Pagi ini memang saya berencana menuju Desa Moa, sebuah desa paling selatan dari Kecamatan Kulawi Selatan, di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah.
Setelah siap, saya segera keluar. Namun si tukang ojek malah meminta izin sebentar kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa kunci mesin. Okelah, saya menunggu sambil pesan kopi di penginapan dan segera bergabung berbincang dengan berapa kawan lain sambil menyantap pisang goreng. Nasi untuk sarapan yang telah saya pesan dari rumah makan Umami tadi malam, akhirnya tidak saya makan.
"Hati-hati Pak, lihat itu, langit gelap, hujan di sana, lebih baik tidak usah berangkat", Made, teman kami memprovokatori saya untuk tidak jadi berangkat. Namun usahanya jelas gagal.
Hampir pukul tujuh, tukang ojek tadi kembali. Saya persilakan minum kopi sejenak sambil saya memakai sepatu boots karet pinjaman dari Kantor Seksi Taman Nasional Lore Lindu di Gimpu, tadi malam.
Bismillah, saya akhirnya segera melaju menuju Desa Moa, menaiki ojek motor bebek Honda Blade biru. Motor yang saya tumpangi ini ciri khas motor di perkampungan, tanpa pelat nomor dan dengan sedikit modifikasi untuk menyesuaikan kondisi jalan-jalan kampung dan kebun di sini.
Dari Desa Tompibugis tempat menginap, kami melaju ke selatan melalui jalan beraspal mulus. Namun hanya sekitar tiga kilometer kami berbelok kiri, menyeberangi Sungai Lariang melalui jembatan gantung sepanjang 70an meter yang menghubungkan Desa Lempelero di bagian barat dan Desa Pilimakujawa di sisi timur. Setelah itu, jalanan hanya berupa rabat beton yang sebagiannya telah rusak pula.
Rombongan utama kami telah berada di Desa Moa sejak kemarin. Mereka tim dari Balai Taman Nasional Lore Lindu dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Sulawesi yang sedang melakukan proses fasilitasi kegiatan Kemitraan Konservasi Masyarakat di desa-desa penyangga kawasan taman nasional ini. Dan, saya menyusul hari ini, sendirian.
Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah sendiri, seluas lebih dari 215 ribu hektar, merupakan salah satu kawasan konservasi daratan terluas di Sulawesi, yang sangat penting dalam perlindungan jenis-jenis satwa dan tumbuhan khas Sulawesi serta fungsi ekologi dan budaya di sekitarnya.
---
Jembatan gantung bergetar saat motor kami melintas. Sementara, kawat ram harmonika di kanan kiri jembatan tampak berkarat dan penuh lubang, menganga menanti yang lengah.
Jalan rabat beton masih tersaji sepanjang dua-tiga kilometer awal, lepas dari jembatan gantung tadi, sebelum akhirnya bercampur batu dan tanah merah yang untungnya kering. Sejak awal, kanan kiri perjalanan kami hanya dipenuhi oleh deretan kebun-kebun coklat, kolam ikan, dan petak-petak hutan kecil.
"Siapa nama kamu?" tanya saya kepada tukang ojek yang membonceng saya.
"Budi".
"Asli sini?"
"Iya Pak, dari Lawua", terang Budi menyebut salah satu nama desa tak jauh dari tempat saya menginap tadi.
Sepanjang perjalanan saya mengobrol singkat-singkat saja dengan Budi, yang ternyata baru 19 tahun. Saya tidak berani juga ngobrol panjang lebar juga, mengingat dia harus konsentrasi mengendarai motornya.
Beberapa sungai kecil kami trabas sementara jembatan-jembatan kayu di samping kami terbengkalai tak bisa digunakan. Sampai akhirnya kami sampai di Dusun Wahi, dusun terakhir dari Dese Pilimakujawa.
Sesaat setelah meninggalkan permukiman Dusun Wahi, tiba-tiba Budi menghentikan sepeda motornya, dan menengok ke ban belakang. Saya langsung deg-degan.
"Bocor?" tanya saya.
"Ngga Pak. Isi angin dulu Pak ya". Kami pun berbalik arah lagi ke Dusun Wahi dan singgah di bengkel motor kecil, yang sepertinya Budi sudah sangat hafal.
Tak lama kami berangkat kembali. Kali ini rabat beton sudah habis. Di GPSÂ yang saya bawa, baru menunjukkan perjalanan sejauh tujuh kilometer. Masih jauh, bathin saya.
Lama kelamaan kebun-kebun coklat dan ladang terbuka makin berkurang. Petak-petak hutan kecil makin silih berganti. Jalan pun makin mengecil hingga hanya berupa jalan setapak di pinggir tebing-tebing. Sungai Lariang di kanan kami mengalir deras. Coklat.
Kadangkala pada beberapa bagian di tengah perjalanan, kami jumpai lagi jalan rabat beton yang tak panjang, 50an meter dan terputus lagi. Setengah perjalanan, kami mulai memasuki hutan-hutan lebat.
Tegakan pohon-pohon besar mulai menghias kanan kiri kami. Sesekali kumpulan palem sagu terhampar dingin dan mistik, dijahit dengan sungai kecil berbatu kerikil yang kami lintasi. Hawa tenang dan sejuk sebenarnya tenteram, namun tentu suara motor kami mengganggu.
Sampai suatu saat di kejauhan tampak gerbang biru, ternyata bangunan beton penambat sebuah jembatan gantung. Setelah kami lewati jembatan 30an meter ini, saya minta berhenti sejenak. Kemudian saya berjalan ke tengah jembatan, sekadar menikmati sepantasnya kalau kita melewati jembatan gantung, selalu ingin berhenti di tengahnya.
Air deras nan jernih, menggulung di antara batu-batu besar melewati bawah jembatan gantung ini, langsung bermuara pada Sungai Lariang yang tampak jelas di hadapan kami. Saya penasaran, kemudian turun ke bawah jembatan dan sedikit merasakan segarnya air sungai.
"Sungai apa ini?" tanya saya kepada Budi. Dia seperti bingung. Mungkin dia jarang ngobrol dan bertanya. Nanti saja, saya pastikan kepada masyarakat di Moa, pikir saya. Setelah berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan.
Hutan dengan pepohonan yang rapat lebih banyak menemani perjalanan kami selepas jembatan biru tadi. Sampai tak berapa lama, kami menemui jembatan serupa, biru. Tentulah saya berhenti kembali.
Jembatan biru, entah ide siapa mewarnai dua jembatan gantung ini dengan warna biru. Indah bagi saya. Lantainya terbuat dari kayu yang tampak eksotis dengan daun-daun kering bertebaran. Kerangka dinding penyangga kanan kirinya juga dari kayu dipadu dengan kawat ram harmonika, terikat dan tergantung pada kabel labrang yang membentang dari ujung-ujung jembatan, yang sebagiannya telah terlilit liana hijau.
Ah, indah nian. Kali ini jembatan gantung lebih panjang dari yang pertama tadi. Anak Sungai Lariang yang mengalir di bawahnya, tidak banyak berbatu besar, namun lebar, tenang, dan tampak dangkal dari banyak riaknya.
Saya berjalan bolak balik dari ujung jembatan satu ke ujung lainnya. Mengambil foto dengan hape seadanya. Sementara, pohon beringin dan matoa, tampak besar dan kokoh di bawah kanan kiri sungai. Belakangan saya tahu, ini adalah Sungai Lampo. Dan, pada jembatan gantung sebelumnya adalah Sungai Kababuru.
Perjalanan berlanjut. Sesekali kami berpapasan dengan pengendara motor lain, dari Desa Moa tampaknya, membawa berkarung-karung jagung. Beruntung saya tidak bersama rombongan kemarin menuju Moa, sehingga saya dengan leluasa meminta berhenti kepada tukang ojek saya.
Jalan kering membatu perjalanan kami. "Jika hujan Pak, susah sekali motor berjalan di tanah pece ini", terang Budi.
Dalam perjalanan ini, Budi juga bercerita. Dari Moa, masih ada jalan lagi setapak yang juga dapat dilalui motor, tembus sampai ke Desa Tuare, di Lembah Bada, Kecamatan Lore Barat Kabupaten Poso.
Baca juga: Ke Bada Lagi, Berjumpa Arca-Arca Megalitik Nan Misterius dan Berjumpa Loga di Bada
"Lebih dekat daripada perjalanan Gimpu ke Moa ini Pak", terang Budi.
"Kapan kamu pernah ke sana, antar ojek orang juga?" tanya saya.
"Bukan Pak, dulu sehabis gempa 2018. Saya bersama beberapa orang lain dari Gimpu ke Tuare untuk beli bahan makanan, karena jalan terputus, kami tidak bisa ke Palu atau daerah lain, kecuali ke Tuare".
Ya, saya teringat memang, gempa dahsyat bermagnitudo 7,4 di Sulawesi Tengah kala itu, akhir September 2018, beserta gempa-gempa susulannya. Kata "Moa" sendiri juga sempat menjadi sebutan hangat saat itu, karena merupakan salah satu nama segmen dari empat rangkaian segmen Sesar Palu-Koro sebagai pusat gempa di Sulawesi tengah.
---
Hamparan kebun kembali menyeruak. Sawah-sawah mulai muncul terhampar hijau. Beberapa gerombolan burung kekep-babi sulawesi terbang hilir mudik di atas pohon kering. Sedangkan mandar sulawesi yang bernama cantik Amaurornis isabellina, hampir saja tertabrak motor kami karena berjalan melintas.
Setengah sepuluh, kami mulai memasuki ujung Desa Moa, setelah dua setengah jam perjalanan. Jalan rabat beton mulai bagus kembali. GPSÂ saya menunjukkan perjalanan dari Tompibugis sampai di permukiman Desa Moa sejauh 27 kilometer. Tak berapa lama, saya sudah diantar tepat di depan kantor Desa Moa.
Saya hendak turun, namun beberapa teman di depan kantor desa menyarankan untuk ke tempat menginap dahulu, di rumah Pak Agus, tak jauh dari kantor desa. Saya pun ke sana, menaruh tas dan mengganti sepatu boots dengan sandal, dan bersegera di kantor desa.
Pak Marsel, Kepala Seksi Wilayah Taman Nasional di Gimpu, segera menyambut saya dengan senyuman khasnya. Sementara Ais, rekan kami sedang sibuk mengoceh, memfasilitasi proses diskusi kelompok masyarakat di dalam ruang kantor desa yang tidak begitu luas. Saya memilih ngobrol di luar dengan beberapa teman.
Menurut catatan sejarah asal usul Desa Moa pada lampiran Keputusan Bupati Sigi 2018, tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat To Kulawi Uma di Moa, disebutkan bahwa permukiman yang ada saat ini di Moa, dulunya merupakan huaka dan dodoha bagi komunitas masyarakat adat To Kulawi Uma I Moa, atau tempat yang dimanfaatkan untuk berladang dan berburu bagi komunitas masyarakat adat Moa yang tinggal di Boku dan Haluboko. Namun saat ini, telah menjadi permukiman utama.
Permukiman saat ini tidaklah besar, sekitar 120an Kepala Keluarga. Masyarakat secara adat pun telah mengatur pola penggunaan lahan desa, dengan istilah-istilah lokal seperti pongataa atau permukiman, pampa atau kebun campur, oma atau bekas ladang, wana atau hutan yang tidak boleh diganggu, dan sebagainya.
Musyawarah di kantor desa tadi, salah satunya memutuskan untuk memperbaiki pembangkit listrik tenaga mikro hidro desa, yang telah lebih satu tahun tak berfungsi.
Saya hanya berharap mereka dapat lebih maju berusaha walaupun di desa nan jauh dari pusat kecamatan, apalagi kota. Mereka dapat berdampingan dan saling menguatkan dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu, tempat hutan-hutan adat mereka juga berada. Menceritakan turun temurun keistimewaan dan kearifan pengelolaan hutan dan isinya kepada anak-anak mereka, layaknya benda pusaka.
Sayang, saya tidak menginap. Menjelang sore kami kembali ke penginapan di Tompibugis. Perjalanan lancar jaya, alhamdulillah. Keinginan kembali tetap ada, apalagi jika bisa tembus dari Desa Moa sampai ke Desa Tuare di Lore Barat sana. Semoga saja nanti. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H