Rombongan utama kami telah berada di Desa Moa sejak kemarin. Mereka tim dari Balai Taman Nasional Lore Lindu dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Sulawesi yang sedang melakukan proses fasilitasi kegiatan Kemitraan Konservasi Masyarakat di desa-desa penyangga kawasan taman nasional ini. Dan, saya menyusul hari ini, sendirian.
Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah sendiri, seluas lebih dari 215 ribu hektar, merupakan salah satu kawasan konservasi daratan terluas di Sulawesi, yang sangat penting dalam perlindungan jenis-jenis satwa dan tumbuhan khas Sulawesi serta fungsi ekologi dan budaya di sekitarnya.
---
Jembatan gantung bergetar saat motor kami melintas. Sementara, kawat ram harmonika di kanan kiri jembatan tampak berkarat dan penuh lubang, menganga menanti yang lengah.
Jalan rabat beton masih tersaji sepanjang dua-tiga kilometer awal, lepas dari jembatan gantung tadi, sebelum akhirnya bercampur batu dan tanah merah yang untungnya kering. Sejak awal, kanan kiri perjalanan kami hanya dipenuhi oleh deretan kebun-kebun coklat, kolam ikan, dan petak-petak hutan kecil.
"Siapa nama kamu?" tanya saya kepada tukang ojek yang membonceng saya.
"Budi".
"Asli sini?"
"Iya Pak, dari Lawua", terang Budi menyebut salah satu nama desa tak jauh dari tempat saya menginap tadi.
Sepanjang perjalanan saya mengobrol singkat-singkat saja dengan Budi, yang ternyata baru 19 tahun. Saya tidak berani juga ngobrol panjang lebar juga, mengingat dia harus konsentrasi mengendarai motornya.
Beberapa sungai kecil kami trabas sementara jembatan-jembatan kayu di samping kami terbengkalai tak bisa digunakan. Sampai akhirnya kami sampai di Dusun Wahi, dusun terakhir dari Dese Pilimakujawa.