Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ke Bada Lagi, Berjumpa Arca-Arca Megalitik Nan Misterius

13 September 2021   16:39 Diperbarui: 13 September 2021   16:46 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arca Watutokalaea yang tenggelam di tepi sungai kecil dan area kebun penduduk, di Desa Lengkeka. (@Hanom Bashari)

2021. Lembah Bada, Sulawesi Tengah

Pagi ini, Bada tidak terlalu dingin awal September. Mendung masih menggelayut sejak kemarin sore. Terasa "seperti" 21 derajat Celsius kata mbah Google. Saya berjanji dengan kawan kami yang asli Bada, untuk bertemu di Rumah Makan Barokah saat sarapan, tak jauh dari rumahnya di Desa Gintu. Ithong datang bersama Sunar kawan kami lainnya, saat kami menyantap sarapan mie goreng pagi itu.

Setelahnya kami segera beranjak bersama dalam satu mobil menuju Desa Badangkaiya, tidak jauh dari Gintu tempat kami menginap. Hanya sekitar sepuluh menit, kami memasuki  jalan buntu yang menghadap persawahan yang luas. Mobil diparkir tepat di depan sebuah lumbung besar berdinding papan-papan tua, dengan slot besar namun terkunci dengan gembok kecil. Kami tersenyum tipis.

Kami berlima turun, "Saya akan bertanya ke teman saya dulu, di mana tepatnya patung itu berada" ungkap Ithong. Tanpa menunggu saya segera berjalan pelan menuju jalan beton kecil. Tak lama Ithong segera menyusul kami. Sesampainya di ujung jalan beton tadi, dia mengajak kami berbelok ke arah kiri sambil tak tahu, ke bagian sebelah mana kami akan dibawa dari persawahan nan luas ini.

Saya mengekor Ithong, sementara Robby dan Sunar di belakang saya sibuk berdiskusi tentang norma-norma makanan dalam keyakinan mereka. Setelah sepuluh menitan kami berjalan, tahu-tahu Ithong sudah berada jauh di depan saya, duduk di sebuah sabua kecil tepat di tengah persawahan ini.

Ketika akan menuju sabua tersebut, mata saya segera tergoda untuk melihat beberapa tumpukan batu yang awalnya saya kira bekas puing-puing bangunan. Ternyata bebatuan ini terlihat terpahat dan berbentuk sesuatu, seperti tempayan besar namun telah hancur berkeping-keping. Namun, bagian dasarnya masih terlihat jelas. "Kalamba ini", sahut Sunar.

Baca juga: Berjumpa Loga di Bada

Tantaduo

"Mari, patungnya ada di sini" teriak Ithong. Saya masih mengamati dan mengambil foto kalamba ini bersama Sunar, sementara Robby telah lebih dahulu berjalan. Saya akhirnya berjalan menuju panggilan Ithong, dan sebelum sampai, saya langsung terpesonakan oleh sebuah bongkahan batu besar kecokalatan di pojokan pertemuan pematang sawah. Batu seukuran kerbau besar dengan pahatan wajah di salah satu sisinya. Inilah arca Tantaduo yang saya cari-cari sejak lama di Bada.

Batu berukir ini memang cukup besar, berwarna dominan coklat karat dan hitam. Walaupun dipercaya sebagai patung kerbau, namun tidak terlalu jelas penampakan bentuk kerbau, kecuali bentuk wajah seperti manusia dan tertelungkup memanjang. Dugaan saya sih, mungkin karena besar dan berada di persawahan, dengan bentuk yang tertelungkup, memang lebih mudah menafsirkan bahwa ini adalah patung kerbau.

"Apa arti tantaduo ini, Thong", tanya saya.

"Waduh, nda tau juga Mas, mungkin bahasa dulu-dulu ini", jawab Ithong.

Menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, disebutkan bahwa bentuk arca ini dilengkapi dengan wajah yang terdapat dua buah mata yang berbentuk bulat, sedangkan bagian atas mata terdapat beberapa garis setengah lingkaran yang mengikuti pola bentuk mata sehingga menyerupai alis, kemudian juga terdapat hidung. Seluruh bidang punggung arca memiliki motif dengan bentuk bulatan yang menyerupai lubang dakon dan bagian belakangnya terdapat bentuk relief dengan pola bergaris-garis. Ukuran arca memiliki panjang 330 cm, lebar 140 cm dan tinggi rata-rata 42-54 cm.

Saya sendiri mencoba mengamati seluruh sisinya. Guratan-guratan pada bagian "atas" batu tampak sudah memudar, walau masih terlihat beberapa titik, garis panjang, dan bentuk spiral. Waw, jangan-jangan bentuk garis itu adalah bekas guratan cakar kuku-kuku adamantium si Logan the Wolverine, tokoh superhero ikonik dalam komik Marvel, khayalan saya menggila.

Sisi punggung arca Tantaduo yang penuh simbolik guratan titik, spiral, dan garis. (@Hanom Bashari)
Sisi punggung arca Tantaduo yang penuh simbolik guratan titik, spiral, dan garis. (@Hanom Bashari)
Bagi saya batu tetaplah batu, namun cukup asyik juga jika dinikmati dengan cerita yang ada di baliknya. Saya sendiri berkeyakian, tanda-tanda guratan pada arca Tantaduo ini adalah tanda atau simbol antara si pembuat arca (siapa atau apa pun itu) yang ingin berkomunikasi atau menyampaikan pesan sesuatu lintas zaman.

Di luar spekulasi itu semua, pemandangan di tengah sawah ini sungguh menakjubkan. Walau mendung memang masih menutupi hamparan langit, namun ini yang membuat menjadi lebih dramatis. Bentangan sawah seluas mungkin hampir 500 hektar ini, menurut Robby kawan saya, dikelilingi oleh desa-desa tua, yaitu Bulili, Badangkaiya, Gintu, Runde, dan Bakekau. Ya, duduk di sabua tengah sawah yang lagi menghijau indah, patung misterius, dan mendung pagi yang muram, kami nikmati saja saat ini.

Ini bukan merupakan perjalanan pertama saya ke Bada. Lembah Bada dengan ketinggian 700--800 meter di atas permukaan laut, merupakan dataran tinggi yang berada di Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan, Kabupaten Poso. Lembah ini dikelilingi oleh hutan-hutan pegunungan Taman Nasional Lore Lindu di bagian utara dan barat serta hutan lindung di bagian selatan dan timur.

Dari Palu, Lembah Bada dapat ditempuh sekitar delapan jam perjalanan darat dengan jarak tempuh lebih dari 300 kilometer. Perjalanan dari Palu dengan kondisi jalan yang cukup baik, dan akan melewati daerah-daerah yang cukup legendaris di Sulawesi Tengah, seperti Kota Poso dan Tentena, serta dapat melihat lanskap Danau Poso yang mempesona.

Hampir setiap perjalanan ke Bada, saya berusaha menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa situs arkeologi maupun budaya tua, khususnya tentu pada obyek-obyek yang belum saya kunjungi sebelumnya. 

Jika kita ke sini, bersiaplah untuk tidak nyaman dengan sinyal 4G, walaupun sinyal telepon Telkomsel tetap stabil. Namun jangan khawatir, bebeapa kios menyediakan voucher wifi jika kita benar-benar sudah mau gila akibat ketergantungan terhadap kehadiran internet. Untuk penginapan, beberapa penginapan pun tersedia, tentu dengan fasilitas terbatas.

Manitu

Sore harinya, setelah pekerjaan utama kami selesai, saya kembali mengajak kawan-kawan saya tadi pagi, ditambah beberapa orang lagi, untuk mengunjungi lokasi megalitik Lembah Bada lainnya yang berada di Desa Lengkeka. Kebetulan Ithong dan Sunar mengetahui lokasinya.

Kali ini kami mengunjungi situs Manitu. Mobil kami berhenti di salah satu rumah penduduk, sedikit di atas bukit.

"Ada patung di belakang rumah ini", kata Sunar. Saya segera mengikuti  Sunar menuju belakang rumah tadi.

"Itu ada lumping batu" Sunar menunjuk batu hitam sekitar 30x30x30 sentimeter persegi yang bagian tengahnya membentuk ceruk. Batu persegi kecil dengan bentuk seperti lumpang , memang banyak tersebar di Lembah Bada ini, bahkan mungkin berserakan.

Menurut Pieter Schuyt (dokter) dan Pieter ten Kate (penulis)  yang keduanya juga penginjil asal Belanda, yang mengunjungi Napu dan Behoa pada 1910, dalam bukunya "Van dag tot dag op Een Reis Naar de Lanschappen Napoe en Behoa" (saya sendiri hanya mengutipnya, tidak membaca langsung buku ini), menyatakan asumsi bahwa lumpang batu di lembah-lembah Lore  dan Lindu mungkin berfungsi sebagai alas tiang.

Setelah mengambil beberapa foto lumpang tadi, kami lanjut mensusuri tepi kebun dengan parit air di sampingnya yang mengalir deras dan jernih, terus ke bawah sampai ke sungai kecil. Di tepi sungai, terdapat dinding beton keci, yang ternyata melingkari sebuah patung sepanjang sekitar dua meter, besar dan gemuk, terbaring telentang dan tenggelam.

Arca Watutokalaea yang tenggelam di tepi sungai kecil dan area kebun penduduk, di Desa Lengkeka. (@Hanom Bashari)
Arca Watutokalaea yang tenggelam di tepi sungai kecil dan area kebun penduduk, di Desa Lengkeka. (@Hanom Bashari)

"Ini patung laki-laki" kata Sunar dan tampak tak sabar segera melompat ke patung telentang tersebut untuk membersihkan sebagian area yang menunjukkan alat kelamin pria. Sementara di salah satu sisi, Aan teman kami lainnya mencoba membuat goresan-goresan membentuk parit di pasir, dengan harapan air yang merendam sang patung surut ke luar. Namun usahanya sia-sia.

Setelah berfoto-foto, kami coba bertanya pada pemilik rumah yang kami lewati tadi, apa nama patung di bawah sungai itu.

"Watutokalaea" kata bapak pemilik rumah.

"Batu hamil" Ithong menjelaskan artinya. Kami mengerenyitkan dahi, karena itu jelas patung pria, tapi mungkin karena bentuk perutnya terlihat agak membulat, seperti orang hamil, jadilah sebutan nama tersebut.

Menurut BPCB Gorontalo (2018) dalam Laporan Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, disebutkan bahwa tinggalan arkeologi di Lembah Bada terdentifikasi sebanyak 186 buah yang tersebar di 35 situs. Peninggalannya berupa kalamba, wadah maupun tutupnya, bakal wadah kalamba, arca megalit, batu berlubang, tutup tempayan, juga buho. Wadah kalamba merupakan tinggalan arkeologi terbanyak yang ditemukan, yaitu 64 buah.

Tentu dari semua tinggalan arkeologi di Bada ini, yang paling populer dan ikonik adalah Arca Palindo di padang Sepe yang menjulang besar  dan miring itu.

Masih di Lengkeka, kami juga mengunjungi arca Mpeime yang berada di pinggir persawahan. Arca setinggi sekitar  1,5 meter ini masih berbentuk seperti manusia, seperti bertopi, namun dengan bagian telinga hilang sebelah. Patung ini baru ditemukan, jelas Ithong. Ya,memang terlihat juga dari plank nama yang masih baru dan tersangga bambu, serta patung yang terlihat bersih.

Kalamba Kolori

Esok sorenya, saya masih sempat-sempatnya juga mengunjungi hamparan batu-batu megalitik di desa lainnya, Kolori. Berada di tengah-tengah kebun coklat, dua buah kalamba atau wadah seperti bak berbentuk tabung, tampak menonjol di antara bebatuan lain yang tak terurus. Air tergenang di dalam kalamba ini, tanda tidak ada kebocoran di alasnya.

"Orang kampung biasa hanya menyebut ini sebagai batu kalamba", jelas Pak Hermon, warga Desa Kolori yang mengantar kami. Dua buah kalamba ini bergaris-tengah sekitar 1,5 meter dan dalam satu meter lebih. Sementara di sekitarnya, hamparan batu yang sebagiannya berbentuk seperti lumpang, berserakan.

Anak-anak desa yang bermain di tepi kalamba, di Desa Kolori. Mudah-mudahan kelak besar nanti mereka terinspirasi mendalami ilmu untuk menggali kekayaan arkeologi lembah mereka ini. (@Hanom Bashari)  
Anak-anak desa yang bermain di tepi kalamba, di Desa Kolori. Mudah-mudahan kelak besar nanti mereka terinspirasi mendalami ilmu untuk menggali kekayaan arkeologi lembah mereka ini. (@Hanom Bashari)  

Sampai saat ini, memang tak ada penjelasan rinci, apa dan untuk apa semua batu-batu tersebut. Arca, kalamba, dan sebagainya itu. Berserakan seperti acak. Terpahat baik, namun kenapa tidak berbentuk persis seperti manusia dan satwa. Terukir beragam simbol yang masih misterius.

 Lembah Bada sendiri merupakan satu dari empat lembah penting dalam lanskap Lore Lindu ini. Selainnya adalah lembah Napu, Besoa, dan Lindu. Lanskap Lore Lindu merupakan bagian dari Cagar Biosfer Lore Lindu, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sejak 1977, satu dari empat cagar biosfer tertua di Indonesia.

Baca juga: Cerita Mengunjungi Lembah Napu nan Subur (Bagian 3-Situs megalitik)                        

Beberapa teman kami, duduk maupun berdiri, berfoto dengan batu-batu ini. Begitu pun foto-foto para pengunjung lain yang tersebar di internet, yang sata lihat setelah perjalanan di Lembah Bada ini. Saya sendiri lebih banyak menahan diri untuk tidak berbuat demikian. Bukan karena mungkin ada katula atau apa, tapi lebih sekadar menghormati.

Tinggalan-tinggalan arkeologi ini mungkin hanya sekadar batu saat ini. Tidak ada informasi lebih, baik fungsi maupun tujuan. Namun bisa jadi, benda tersebut, pernah dihormati juga pada masanya, yang kita belum tahu hal tersebut sampai saat ini. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun