2021. Lembah Bada, Sulawesi Tengah
Pagi ini, Bada tidak terlalu dingin awal September. Mendung masih menggelayut sejak kemarin sore. Terasa "seperti" 21 derajat Celsius kata mbah Google. Saya berjanji dengan kawan kami yang asli Bada, untuk bertemu di Rumah Makan Barokah saat sarapan, tak jauh dari rumahnya di Desa Gintu. Ithong datang bersama Sunar kawan kami lainnya, saat kami menyantap sarapan mie goreng pagi itu.
Setelahnya kami segera beranjak bersama dalam satu mobil menuju Desa Badangkaiya, tidak jauh dari Gintu tempat kami menginap. Hanya sekitar sepuluh menit, kami memasuki  jalan buntu yang menghadap persawahan yang luas. Mobil diparkir tepat di depan sebuah lumbung besar berdinding papan-papan tua, dengan slot besar namun terkunci dengan gembok kecil. Kami tersenyum tipis.
Kami berlima turun, "Saya akan bertanya ke teman saya dulu, di mana tepatnya patung itu berada" ungkap Ithong. Tanpa menunggu saya segera berjalan pelan menuju jalan beton kecil. Tak lama Ithong segera menyusul kami. Sesampainya di ujung jalan beton tadi, dia mengajak kami berbelok ke arah kiri sambil tak tahu, ke bagian sebelah mana kami akan dibawa dari persawahan nan luas ini.
Saya mengekor Ithong, sementara Robby dan Sunar di belakang saya sibuk berdiskusi tentang norma-norma makanan dalam keyakinan mereka. Setelah sepuluh menitan kami berjalan, tahu-tahu Ithong sudah berada jauh di depan saya, duduk di sebuah sabua kecil tepat di tengah persawahan ini.
Ketika akan menuju sabua tersebut, mata saya segera tergoda untuk melihat beberapa tumpukan batu yang awalnya saya kira bekas puing-puing bangunan. Ternyata bebatuan ini terlihat terpahat dan berbentuk sesuatu, seperti tempayan besar namun telah hancur berkeping-keping. Namun, bagian dasarnya masih terlihat jelas. "Kalamba ini", sahut Sunar.
Baca juga: Berjumpa Loga di Bada
Tantaduo
"Mari, patungnya ada di sini" teriak Ithong. Saya masih mengamati dan mengambil foto kalamba ini bersama Sunar, sementara Robby telah lebih dahulu berjalan. Saya akhirnya berjalan menuju panggilan Ithong, dan sebelum sampai, saya langsung terpesonakan oleh sebuah bongkahan batu besar kecokalatan di pojokan pertemuan pematang sawah. Batu seukuran kerbau besar dengan pahatan wajah di salah satu sisinya. Inilah arca Tantaduo yang saya cari-cari sejak lama di Bada.
Batu berukir ini memang cukup besar, berwarna dominan coklat karat dan hitam. Walaupun dipercaya sebagai patung kerbau, namun tidak terlalu jelas penampakan bentuk kerbau, kecuali bentuk wajah seperti manusia dan tertelungkup memanjang. Dugaan saya sih, mungkin karena besar dan berada di persawahan, dengan bentuk yang tertelungkup, memang lebih mudah menafsirkan bahwa ini adalah patung kerbau.