Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pindah Antar-Kapal di Tengah Laut: Antara Ketegangan dan Kesigapan

4 September 2021   18:16 Diperbarui: 4 September 2021   18:19 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa desa di pesisir Halmahera yang tidak memiliki dermaga, harus siaga pindah antar kapal jika akan menaiki kapal yang lebih besar. (@Hanom Bashari)

2008-2010. Halmahera dan Ternate, Maluku Utara

Setelah lepas dari pelabuhan Tobelo, Halmahera Utara, kapal kayu penumpang reguler yang kami tumpangi melintas Teluk Kao semalaman dan di pagi yang cerah, kami tiba di desa pertama di sisi timur Halmahera Timur, Iga.

Tidak ada dermaga di desa ini. Saya dan beberapa penumpang duduk di atas dek kapal, menikmati hangatnya matahari yang mulai muncul di hadapan kami dan melihat kesibukan yang terjadi. Desa ini masih belum desa tujuan kami berhenti.

Beberapa perahu kecil dengan mesin ketinting masing-masing membawa beberapa orang di dalamnya, melaju ke arah kapal kami. Namun terdapat  juga beberapa perahu kecil lain hanya berisi pembawa perahu. Pintu pada salah satu sisi lambung kapal telah terbuka dari tadi. Beberapa orang saling berteriak.

Karena tidak ada dermaga desa, maka penumpang yang akan naik ke kapal kami, mereka diantar dengan perahu kecil dari pantai sampai naik ke kapal. Begitu juga sebaliknya, penumpang yang akan turun juga di-transfer menggunakan kapal kecil ini, untuk sampai ke pantai desa. Tentu ada ongkosnya untuk jasa transfer ini.

Perahu kecil dari desa mengantar penumpang menuju kapal yang lebih besar, di pesisir Halmahera. (@Hanom Bashari)
Perahu kecil dari desa mengantar penumpang menuju kapal yang lebih besar, di pesisir Halmahera. (@Hanom Bashari)

Keramaian ini tak lama, karena kapal segera angkat jangkar kembali menuju desa tujuan berikutnya. Desa tujuan kami sendiri belumlah setengah perjalanan ini.

Menjelang sore, akhirnya kapal kami tiba di depan perairan Desa Miaf, masih di Halmahera Timur, namun di sisi timur semenanjung . Jelas tidak ada juga dermaga desa, karena kapal kami sudah dikelilingi oleh kapal-kapal kecil yang telah membawa penumpang dari desa, sekaligus mengantar penumpang kapal yang akan menuju Desa Miaf. Ya, itu termasuk kami.

Baca juga: Mengiris Hamparan Laut Teduh di Teluk Kao

Kesibukan, keributan, dan ketegangan segera terjadi. Pemuda-pemuda di perahu-perahu dari desa sibuk memindahkan puluhan karung ke dalam kapal. Sementara penumpang dari perahu kecil ini juga saling berebut berlompatan masuk ke dalam kapal besar, sementara penumpang dari kapal besar berteriak-teriak takut ketinggalan kapal kecil ini. Wajar juga, kalau sampai ketinggalan, terpaksalah dia turun di desa sebelah.

Sebenarnya ada beberapa kapal kecil seperti itu, jadi tidak perlu takut tidak kebagian kapal kecil. Namun bagi kami dalam tim dengan banyak orang dan barang, yang kami waspadai adalah, agar barang dan anggota tim kami semua berada dalam kapal kecil yang sama. Tidak ada yang tertinggal. Walaupun harus berpisah kapal, tetap saling mengetahui.

Perpindahan penumpang kapal dan barang di tengah laut memang sering terjadi di desa-desa, saat itu, di pesisir Halmahera Timur. Tidak banyak desa yang memiliki dermaga yang layak sehingga kapal penumpang dapat sandar dengan nyaman mengantarkan penumpang dan barang.

Informasi ketiadaan dermaga di Desa Miaf ini telah kami ketahui sebelumnya, sehingga satu desa sebelumnya kami telah bersiap-siap. Perjalanan saya dan tim memang cukup repot. Kami membawa tas-tas carrier besar dan beberapa karung perlengkapan untuk survei di dalam hutan.

Tentu, muatan-muatan kami ini tidak bisa dibanting seenaknya. Untungnya kami semua masih segar dan sigap untuk secara berantai membawa barang dengan aman sampai ke dalam kapal kecil.

Proses transfer seperti ini biasanya lancar. Kapal kecil yang akan mengantar kami ke Desa Miaf ini pun tidak kecil-kecil amat. Tidak seperti perahu-perahu pengantar di Desa Iga pagi hari tadi. Kami berlima beserta barang cukup dengan satu perahu, itu pun masih berdesakan dengan penumpang lain.

Ternyata bukan kami saja yang membawa barang cukup banyak. Beberapa penumpang lain pun tak kalah heboh.

Berebutan naik dan turun antar kapal di tengah laut, di salah satu pesisir Halmahera. (@Hanom Bashari)
Berebutan naik dan turun antar kapal di tengah laut, di salah satu pesisir Halmahera. (@Hanom Bashari)

Jika kita menaiki kapal kayu penumpang seperti ini dari Tobelo menuju desa-desa di pesisir Halmahera Timur, maka kita umumnya melihat para penumpang yang turun akan membawa aneka barang rumah tangga, mulai dari kompor, televisi, bahkan antena parabola. Mungkin sofa dan kulkas juga, hanya saya belum pernah melihatnya langsung. Pada kapal-kapal yang lebih besar, sepeda motor pun mereka bawa.

Sebaliknya, jika dari desa-desa menuju Tobelo, maka barang-barang penumpang yang dibawa sebagian besar adalah hasil bumi mereka, seperti berkarung-karung pisang dan kopra, bahkan beberapa ternak seperti ayam.

Jasa angkut transfer ini tentu saja bertarif. Saya agak lupa besarannya, namun biasanya standar sama tiap orang. Jika kita dari Tobelo menuju desa, biasanya hanya dihitung per kepala. Lain cerita jika dari desa menuju Tobelo dengan membawa hasil bumi, tentu tidak bisa hanya hitung tarif per kepala.

---

Proses transfer manusia dan barang dari kapal besar ke perahu kecil maupun sebaliknya merupakan hal yang biasa dalam transportasi di banyak tempat di daerah kepulauan di Indonesia, seperti Halmahera ini. Namun satu kali saya pernah mengalami perpindahan kapal di tengah laut seperti ini untuk evakuasi.

Masih di Maluku Utara, transportasi paling umum yang digunakan masyarakat Ternate untuk pergi antar pulau, baik ke Tidore maupun beberapa tempat di Halmahera adalah menggunakan jasa angkutan speedboat.  Speedboat penumpang sudah menjadi seperti angkot. Mangkal di pelabuhan, menunggu giliran, penumpang penuh, cabut. Tapi tentu tidak pakai ngetem di tengah jalan.

Sofifi adalah ibukota Provinsi Maluku Utara dan secara teknis Pemerintah Provinsi telah mulai beroperasi penuh sejak 2010 di ibu kota baru mereka tersebut. Namun Ternate adalah kota dan pusat perekonomian paling maju di provinsi ini. Sehingga tak heran, mobilitas masyarakat dari Halmahera khususnya Sofifi ke Ternate sangat tinggi setiap hari. Memang ada juga sarana kapal ferry, namun tentu sangat terbatas dari segi frekuensi dan kecepatan mobilisasi.

Jarak antara Ternate dan Sofifi hampir 20 kilometer yang biasanya dapat ditempuh oleh speedboat sekitar 45 menit. Satu buah speedboat biasanya dilengkapi dengan mesin motor penggerak 40 PK dua buah. Kapasitas satu speedboat umumnya hanya untuk 10 penumpang.

Suasana salah satu pelabuhan speedboat di Kota Ternate. Speedboat tertib antri penumpang dalam suasana mendung dan angin yang tidak mendukung. (@Hanom Bashari) 
Suasana salah satu pelabuhan speedboat di Kota Ternate. Speedboat tertib antri penumpang dalam suasana mendung dan angin yang tidak mendukung. (@Hanom Bashari) 

Walaupun antara Pulau Ternate dan Pulau Halmahera hanya berupa selat, namun pada musim-musim tertentu, perjalanan Ternate -- Sofifi ini terasa berat karena gelombang dan angin kencang sering terjadi. Sehingga walaupun jarang, beberapa kecelakaan speedboat terbalik, pernah terjadi.

Ketika perjalanan laut seperti ini, hal yang paling dikhawatirkan oleh saya (dan mungkin oleh penumpang lainnya juga) adalah mati mesin di tengah perjalanan dan tidak dapat diperbaiki cepat. Jika ini terjadi sebenarnya tidak perlu terlalu panik juga, bantuan akan segera datang. Sinyal handphone masih terjangkau di tengah laut dan jalur tersebut merupakan jalur tetap dan sibuk. Sehingga mungkin tak lebih dari 15 menit, akan ada speedboat lain yang lewat.

Kejadian seperti ini akhirnya saya alami juga. Saya bersama anak dan istri saat itu dari Sofifi akan menuju Ternate. Tak berapa lama setelah speedboat melaju, satu mesin penggerak mati. Operator speedboat segera mencoba mengotak-atik mesin yang mati tadi. Kapal tetap melaju walaupun lambat karena masih ada satu mesin lagi yang berfungsi.

Nahasnya, tidak berapa lama, mesin yang satunya mati juga. Ya, tentu kami semua penumpang di kapal mengomel, kenapa tidak diperiksa mesin baik-baik sebelumnya.  Kami hanya tinggal berdoa semoga mesin kapal, minimal salah satunya, bisa hidup kembali.

Apa daya, setelah lebih dari sepuluh menit, mesin kapal tak kunjung baik. Satu speedboat terlihat melewati kami, namun masalah ini dianggap masih biasa dan dapat diperbaiki. Akhirnya operator menelpon, mungkin koleganya, untuk segera menjemput mereka. Kami pun sedikit lega, walaupun mungkin itu masih sekitar 15 menit lagi.

Kapal yang tidak berjalan di tengah laut sesungguhnya sangat tidak enak, apalagi sebuah kapal kecil seperti speedboat penumpang ini. Kapal tanpa daya menerima semua hantaman gelombang, kanan kiri depan belakang. Kapal oleng terombang ambing begini yang bikin perut lebih cepat mual. Untung lah saat itu gelombang tidak besar.

Sambil menahan rasa mual yang mulai naik, saya serta istri harus tetap menggendong dan menenangkan anak kami yang belum genap setahun. Menahan gerah dan gerakan kapal semerawut. Akhirnya kapal bantuan pun datang. Sama-sama speedboat penumpang juga. Satu persatu penumpang segera berpindah, tentu harus pelan-pelan, karena jika saling berebut, kapal kembali oleng.

Saat yang menegangkan bagi kami akhirnya tiba. Saya harus pindah sambil menggendong anak saya. Padahal berdiri saja kita sudah oleng, kami harus merambat-rambat sambil memegang dinding kapal untuk berpindah tempat.

Karena kapal tidak stabil dan kami pun tidak membawa gendongan bayi, maka anak kami harus di-transfer, tidak dapat saya gendong sambil saya pindah ke kapal sebelah. Salah satu dari kami harus di kapal sebelah terlebih dahulu, barulah anak kami diserahkan secara estafet.

Awalnya saya akan pindah terlebih dahulu, kemudian istri saya akan memberikan anak saya untuk saya terima di kapal sebelah. Menyadari kerepotan yang akan kami alami, untung lah para penumpang lain ikut membantu.

Seorang bapak tentara segera meminta anak saya untuk dia pegang, dan saya segera menyeberang terlebih dahulu. Setelah itu barulah dia memberikan anak saya. Ya, Alhamdulillah terasa lebih aman dan lancar. Terima kasih Pak Tentara.

Proses perpindahan ini akhirnya selesai. Semua penumpang dapat dipindahkan ke kapal yang baru datang tersebut. Sementara operator kapal mendapat bantuan tenaga teknis untuk memperbaiki mesin speedboat-nya di tengah laut. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Ternate dengan aman.

Kita seringkali tidak pernah menyangka, kapan kejadian sulit akan menimpa kita ketika dalam perjalanan. Transportasi antar pulau di Maluku dan Maluku Utara maupun di daerah kepulauan lain tentunya sangat mengandalkan transportasi laut. Kita kadangkala abai dengan keselamatan kita sendiri.

Baca juga: Porter Panggul dan Ikhtiar Pelampung

Dahulu, jarang kapal-kapal penumpang seperti speedboat-speedboat di Ternate ini, dilengkapi dengan persediaan jaket pelampung di kapalnya. Namun semenjak sering terjadi kecelakaan di sekitar 2010an, standar kapasitas maksimal dan tersedianya jaket pelampung sudah cukup dipatuhi.

Disarankan, jika kita akan menaiki kapal laut penumpang, apa pun bentuknya,  maka perhatikanlah di mana letak pelampung. Ketika hal yang tidak kita harapkan terjadi, minimal kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan dan tidak panik, sehingga tidak menambah parah kecelakaan yang kita alami.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun