Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berjumpa Loga di Bada

31 Maret 2021   19:15 Diperbarui: 31 Maret 2021   19:32 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petunjuk arah menuju beberapa situs megalitik di pertigaan Lengkeka, Kecamatan Lore Barat, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

Selepas subuh, pada pertengahan Februari 2021 ini, satu per satu kami keluar kamar masing-masing. Dalam kesepakatan awal tadi malam, kami akan keluar dari penginapan ini sedikit diam-diam, untuk menghindari keributan kecil yang bisa mengganggu rencana perjalanan kami di waktu yang mepet ini.

Namun demikian, teman saya Ellie tidak sanggup menahan diri untuk berteriak cukup keras dari teras kamar, membangunkan teman kami satunya lagi, yang tidur di sebelah kamar saya. Saya segera gelisah. Kalau model seperti ini, tentu seluruh penghuni penginapan kecil di Desa Gintu ini akan terbangun. Dan mereka, penghuni kamar lainnya itu adalah teman-teman kami sendiri juga.

Saya segera keluar kamar, “biar saya yang membangunkan Fikri nanti Mba Ellie”, setengah berbisik saya ke Ellie. Saya pun masuk ke kamar Fikri yang saya tahu tidak terkunci. Hasilnya nihil, Fikri tak kuasa menahan godaan kantuk dan malas daripada ikut dalam trip kecil kami.

Jalan masih berselimut gelap ketika mobil yang dikendarai Budi meluncur pelan menuju timur, membawa kami bertiga, saya, Ellie, dan Frida. Jalanan aspal desa yang sedikit berlubang, dilalui. Hanya sekitar 15 menit, mobil berhenti dan parkir di halaman luas sebelah kiri jalan, entah punya siapa. “Saya biasa parkir di sini, tenang saja”, terang Budi.

Kami berhenti di Desa Pada, yang bejarak tidak lebih dari lima kilometer dari tempat kami menginap di Desa Gintu. Saat ini kami berada di Kecamatan Lore Selatan, yang merupakan bagian dari Lembah Bada.

Lembah Bada dengan ketinggian 700–800 meter di atas permukaan laut, merupakan dataran tinggi yang berada di Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan, Kabupaten Poso. Lembah ini dikelilingi oleh hutan-hutan pegunungan Taman Nasional Lore Lindu di bagian utara dan barat serta hutan lindung di bagian selatan dan timur.

Dari Palu, Lembah Bada dapat ditempuh sekitar delapan jam perjalanan darat dengan jarak tempuh lebih dari 300 kilometer. Perjalanan dari Palu dengan kondisi jalan yang cukup baik, dan akan melewati daerah-daerah yang cukup legendaris di Sulawesi Tengah, seperti Kota Poso dan Tentena, serta dapat melihat lanskap Danau Poso yang mempesona.

Setelah berhenti di Desa Pada ini, kami masih sedikit malas untuk keluar mobil, karena ternyata suasana masih benar-benar gelap. Tapi tak berapa lama, kami segera keluar. Suhu udara tidak terlalu dingin juga saat itu. Sebagian dari kami segera menggunakan senter hape masing-masing. Untunglah di tas saya terselip headlamp yang selalu saya bawa kemana-mana.

Kami menyusuri jalan cabang ke arah selatan, jalan produksi dengan pengerasan yang sebenarnya masih bisa dilalui oleh mobil. Kabut tipis masih terasa namun sinar fajar sudah mulai sedikit kentara di ufuk. Setelah berjalan sekitar 500 meter, di sebelah kanan jalan jelas tampak plank putih dengan tulisan hitam besar: ARCA LOGA.

Berjalan sekitar 25 meter naik sedikit ke atas bukit kecil, kemudian kami segera melihat sosok mungil berkepala botak, tenang berdiri membelakangi arah kedatangan kami, menghadap barat laut. Itu dia, arca Loga, satu dari ratusan tinggalan megalitik di Lembah Bada ini. “Dahulu patung ini merupakan favorit wisatawan luar negeri, karena posisinya yang sangat dramatis dan paling cocok dikunjungi saat matahari terbit”, terang Budi yang mengantar kami.

Arca Loga dan Lembah Bada di hadapannya yang terhampar. (Hanom Bashari) 
Arca Loga dan Lembah Bada di hadapannya yang terhampar. (Hanom Bashari) 
Samar-samar cahaya matahari yang telah menembus kabut membuat semuanya menjadi lebih jelas. Ketika berdiri berdampingan dengan sang patung, tingginya hanya sedada saya, sehingga saya perkirakan sekitar 1,3 meter saja.

Patung Loga ini berbentuk seperti manusia, walau tidak dalam ukuran yang proporsional manusia biasa. Wajahnya agak rata dan lebar dengan bentuk oval serupa telur. Terlihat jelas ukiran mata, hidung, dan telinga di bagian kepalanya. Walau tidak ada ukiran mulut, namun entah kenapa saya menangkap kesan muram dari wajah ini, seperti sedih dan galau. Mungkin karena bentuk alisnya yang agak menukik ke tengah wajah.

Terlihat juga ukiran kedua tangan di bagian samping badan, menekuk sedikit ke arah perut. Saya tidak tahu, sedalam apa patung ini tertanam dan apakah ada ukiran kaki juga di dalam tanah yang tertanam. Patung ini berdiri (atau mungkin tepatnya tertanam) sedikit miring ke kanan.

Walaupun tidak tepat berada di puncak bukit, patung ini jelas menghadap ke arah lembah nan luas di depannya. Hamparan padang rumput liar bercampur beberapa titik kumpulan pepohonan. Kami pun segera perspekulasi ngawur yang penuh khayalan tingkat tinggi. Mungkin patung ini menggambarkan sosok perempuan, yang sedang mencari dan memanggil-manggil anaknya di bawah bukit sana. Sedangkan si bapak, entah juga ada di mana.

Sesaat setelah matahari terbit, tiba-tiba kabut kembali menyelimuti bukit ini. Terang dan berkabut tentu menjadi suasana yang cukup dramatis. Sayang, kamera hape saya jauh dari sempurna untuk mengabadikan ini. Namun saya cukup senang, suasana cerah pagi ini, menghantar kami pada sang Loga yang kami idamkan sejak kemarin.

Patung atau arca Loga ini telah ditetapkan sebagi cagar budaya yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010. Dalam situs web kemendikbud, disebutkan bahwa Loga dalam arti masyarakat setempat adalah patung yang menerawang di tengah padang, sehingga lokasi arca tersebut dinamakan Padang Loga. Namun dalam Wikipedia disebutkan bahwa Loga ini berarti “Relieved Heart”, yaaa mungkin kalau di-Indonesia-kan tentu sama dengan “lega”.

Arca Loga sesungguhnya bukanlah yang paling ikonik di Lembah Bada ini. Patung Sepe atau Palindo yang menjulang tinggi 4,5 meter miring itu, yang terletak di Desa Kolori, Lore Barat, merupakan yang terdepan kalau dinilai dari yang paling populer. Belum lagi hamparan puluhan benda-benda megalitik di situs Suso di Desa Bewa, sungguh luar biasa.

Arca Palindo yang sangat ikonik di Lembah Bada, Desa Kolori Sulawesi Tengah. (Hanom Bashari)
Arca Palindo yang sangat ikonik di Lembah Bada, Desa Kolori Sulawesi Tengah. (Hanom Bashari)

Dalam laporan Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, disebutkan bahawa di kawasan Bada berhasil didentifikasi tinggalan arkeologi sebanyak 186 buah yang tersebar di 35 situs. Tinggalan arkeologi yang terdapat di kawasan ini berupa kalamba baik wadah maupun tutupnya, bakal wadah kalamba, arca megalit, batu berlubang, lumpang batu, dulang, lesung batu, umpak batu, monolit, struktur, batu datar, batu bergores, wadah tempayan, tutup tempayan, dan buho atau lumbung.

Salah satu hamparan tinggalan-tinggalan arkeologi di Situs Suso, Desa Bewa Sulawesi Tengah. (Hanom Bashari)
Salah satu hamparan tinggalan-tinggalan arkeologi di Situs Suso, Desa Bewa Sulawesi Tengah. (Hanom Bashari)

Masih menurut sumber yang sama, selain temuan-temuan tersebut, di kawasan ini ditemukan juga sebaran fragmen gerabah di beberapa lokasi situs dengan jumlah yang banyak. Temuan fragmen gerabah dapat mengindikasikan adanya ruang aktifitas pemukiman pada masa lalu.

Lembah Bada sendiri merupakan satu dari empat lembah penting dalam lanskap Lore Lindu. Selainnya ada lembah Napu, Besoa, dan Lindu. Lanskap Lore Lindu sendiri merupakan bagian dari Cagar Biosfer Lore Lindu, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sejak 1977, satu dari empat cagar biosfer tertua di Indonesia.

Petunjuk arah menuju beberapa situs megalitik di pertigaan Lengkeka, Kecamatan Lore Barat, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)
Petunjuk arah menuju beberapa situs megalitik di pertigaan Lengkeka, Kecamatan Lore Barat, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

Baca juga: Cerita Mengunjungi Lembah Napu nan Subur (Bagian 3-Situs megalitik)

Tapi ngomong-ngomong dalam hati, pagi ini kami kembali ke Penginapan Imanuel di Gintu, setelah mengunjungi sang Loga tadi, dengan suasana senang dan santai. 

Pukul 8 kami telah janjian dengan tim untuk sarapan di rumah kawan, dilanjutkan bertemu Ibu Camat Lore Barat di Lengkeka, kemudian melakukan kunjungan ke beberapa kelompok dampingan program kami, untuk urusan hutan dan keanekaragaman hayati di Lore Lindu. Ya, tak ada hubungannya dengan per-megalitik-an, yang kami sisip-sisip kunjungi. Tapi semoga semua ini dapat menambah khasanah kami tentang kawasan nan kaya ini. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun