Mohon tunggu...
Hana Moniharapon
Hana Moniharapon Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Prodi Ilmu Komunikasi

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi anda dan saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Perjuangan Nenek Papalele untuk Sesuap Nasi

20 Desember 2021   07:25 Diperbarui: 20 Desember 2021   07:36 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nenek Papalele yaitu Martha Hutubessy. Sumber: dokumentasi Hana Setian Moniharapon

Ambon - Dampak dari semakin berkembangnya kota Ambon dan pandemi Covid-19, tentu saja dirasakan semua lapisan masyarakat. Hal demikian dirasakan juga oleh Matha selaku mama kebaya papalele, di sekitar wilayah Indo Jaya, Kota Ambon.

Papalele merupakan sebutan dari masyarakat Kota Ambon bagi perempuan lokal yang menjual dagangannya dengan cara berkeliling. Sebutan Papalele berasal dari bahasa Portugis pada masa penjajahan, yaitu Papalvo.

"Papalele tersusun dari dua kata yang memiliki arti berbeda, yaitu Papa yang berarti memikul atau membawa dan Lele yang berarti berkeliling lokasi," ujar Matha.

Martha Hutubessy atau yang disebut sebagai Martha merupakan seorang wanita tua berumur 88 tahun yang masih menerapkan Papalele hingga saat ini.

Semakin padatnya manusia beraktivitas diluar ruangan, tentunya membawa berkah tersendiri bagi Mama kebaya papalele.

Tetapi semakin berkembangnya kota Ambon dengan segala kemajuan yang ada, ditambah lagi dengan semenjak diterapkan PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat oleh pemerintah memberikan dampak buruk bagi Mama kebaya papalele.

Setiap orang belum tentu bisa merasakan hidup tenang dan nyaman. Tidak semuanya memiliki kesempatan untuk bekerja di ruangan yang sejuk, kemudian menikmati masa tua dengan beristirahat total dan bermain bersama anak serta cucu.

Matha menyebutkan, selama hidup belum pernah merasakan kenyamanan dan ketenangan karena dirinya harus berkerja ditengah panas untuk mendapatkan uang.

"Dahulu waktu Kota Ambon belum terlalu maju, dagangan saya laris manis dan cukup untuk menghidupi keluarga di rumah. Namun, sejak semakin majunya Kota Ambon pendapatan saya mulai berkurang. Karena banyak pengusaha dan jualan yang kelihatannya lebih menarik daripada dagangan saya," ungkap ibu Martha.

Martha mengatakan, kemajuan yang terjadi memang menguntungkan Kota Ambon, tetapi dirinya sebagai masyarakat kecil merasa semakin sulit untuk mencari pendapatan.

"Walaupun saya sudah menggunakan kebaya tradisional Maluku untuk berjualan setiap harinya, hal tersebut tidak menarik perhatian pembeli, ternyata banyak jualan moderen yang lebih menarik perhatian mereka," ujar ibu Martha

Tidak bisa dipungkiri sejak hadirnya Covid-19, banyak orang yang berahli ke jualan makanan. Menyebabkan persaingan dan membuat pendapatannya semakin berkurang.

"Ditambah lagi semenjak hadirnya Covid-19 dan diterapkannya PPKM, saya semakin sulit untuk mendapatkan pembeli dan pendapatan saya semakin berkurang," ujar ibu Martha.

Tidak berjualan maka tidak akan mendapatkan uang, tapi sudah berjualan dalam seharipun belum tentu mendapatkan uang untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarga.

"Semenjak PPKM, saya pernah mengalami dalam sehari dagangan saya tidak ada yang laku, terpaksa harus pulang dengan tangan hampa, dan kalau sudah bisa makan saya sangat bersyukur" ungkapan lanjutan ibu Martha.

Berjualan disatu tempat tidak mendapatkan keuntungan, hal ini memutuskan dirinya untuk berjalan mengelilingi kota sambil menjajakan jualannya kepada orang-orang yang ditemuinya.

"Pagi hingga sore ditengah panas saya tetap menjadi papalele, harapannya mendapatkan uang yang lebih. Tapi dengan kondisi seperti ini sangat sulit untuk menaruh harapan yang tinggi," ungkap ibu Martha.

Dari raut wajah dan tubuhnya yang sudah semakin tua tidak bisa dipungkiri, rasa capeh dan pegal yang dirasakan karena tubuhnya dipaksa untuk berjalan mengelilingi kota untuk mendapatkan pembeli.

"Tangan dan kaki saya sering pegal dan tubuh saya capeh karena setiap hari berjalan tawarin jualan sana-sini untuk mendapatkan pembeli, tapi dagangan saya belum laku-laku," ujar ibu Martha.

Ibu Martha mengungkapkan, sesulit apapun hidup harus tetap dijalani walaupun banyak keluhan yang dialami.

Waktu terus berjalan tanpa henti, setiap kesulitan, tantangan, dan rintangan dilewati olehnya tanpa henti juga.

"Saya merasa kesusahan dan sengsara, ditambah lokasi rumah saya yang sangat jauh. Kalau pulang dengan tangan hampa, terpaksa saya harus berjalan kaki sampai ke rumah saya," ungkap keluh ibu Martha.

Kalau ada uang lebih baru dirinya bisa naik becak atau angkutan umum untuk pulang kerumah. Jika tidak, jalan kaki menjadi pilihan terakhirnya untuk pulang ke rumah.

Hal ini dibenarkan oleh Rossa yang sering melihat nenek Martha didepan toko jualan ibunya Indo Jaya, di sekitar jalan Jan Paays, Kota Ambon.

"Sekitar jam setengah 8 pagi nenek Martha sering mampir didepan toko ibu saya untuk berjualan," ujar Rossa pada Minggu (12/12/2021).

Rossa menyatakan, dirinya melihat nenek Martha begitu rajin dan sangat semangat untuk bekerja. Walaupun barang dagangan jarang dibeli oleh orang yang berlalu-lalang didepan toko ibunya.

Dunia Semakin Maju, Kesulitan Semakin Dirasakan.

"Pagi hingga siang sekitar jm setengah 11 nenek Martha berjualan didepan toko, setelah itu lanjut Papalele di kota. Sore nenek Martha kembali lagi ke toko untuk menitipkan dagangannya," ujar Rossa.

Saat ini, banyak orang lebih menyukai makanan yang tampilannya menarik dan tentunya enak rasanya, terkhususnya anak-anak muda.

"Apa boleh dibuat? Makanan yang dijual nenek Martha pun untuk zaman sekarang hanya sedikit orang yang menyukainya, mungkin kalau ada pun pasti orang tua bukan anak muda" ungkap Rossa.

Martha Hutubessy bersama dagangannya. Sumber: dokumentasi Hana Setian Moniharapon
Martha Hutubessy bersama dagangannya. Sumber: dokumentasi Hana Setian Moniharapon

Rossa menyatakan, bukan ingin merendahkan jualannya nenek Martha tapi zaman ini banyak penjual atau pengusaha yang mengkreasikan jualannya.

Walaupun apa yang dijual oleh nenek Martha sama seperti yang dijual oleh mereka. Tapi, yang tampilannya menariklah yang akan dibeli oleh orang.

"Melihat nenek Martha yang berjalan menjadi Papalele untuk setiap hari, tentunya saya merasa kasihan. Karena diusia yang tua harus berusaha keras ditengah panas untuk mendapatkan upah," tutur Rossa.

Nenek Martha sering bercerita bahwa dirinya merasa kesusahan, capek dan sengsara dengan dunia saat ini. "Untuk mencari nafkah saja sangat sulit, apalagi untuk menghidupi anak dan cucu saya dirumah," ujar nenek Martha.

Hal ini dibenarkan oleh Rossa, "Bagaimana tidak sengsaja? Tubuhnya yang sudah lemah dipaksa olehnya untuk tetap bekerja," ungkap tegas Rossa.

"Ditambah kehadiran Covid-19, saya merasa dirinya semakin sulit untuk menjalani hidup karena saat ini jarang ditemui orang berlalu-lalang didepan toko ibu saya, otomatis dagangannya semakin sulit untuk laku," ujar lanjuttan Rossa.

Kekuatan Dibalik Kebaya yang Digunakan Perempuan Papalele.

Rossa menyatakan, syukurnya saja nenek Martha masih diberi kekuatan dan kesempatan oleh Tuhan untuk bertahan ditengah pandemik.

Rata-rata orang yang terpapar Covid-19 yaitu lansia, tapi Rossa menegaskan syukurnya kalau nenek Martha masih bekerja keras dan berjuang hingga saat ini.

Untuk melindungi diri dari segala penyakit yang ada, nenek Martha menggunakan kebaya tradisional Maluku sebaga pelindungnya.

"Saya percaya bahwa leluhur tidak akan menyakiti turunannya, leluhur akan melindungi, memberkati, memberikan semangat untuk tetap hidup. Maka dari itu, saya selalu menggunakan kebaya karena ada tradisi didalamnya," ujar nenek Martha.

Dengan pernyataan yang disampaikan oleh nenek Martha, ternyata hal tersebut yang membuat perempuan papalele selalu menggunakan kebaya tradisional Maluku.

Perempuan Papalele selalu berjalan ditengah panas dan hujan untuk berjualan dengan menggunakan kebaya tradisional Maluku. Kepercayaan yang dianut oleh mereka merupakan kepercayaan secara turun-temurun.

"Tak heran jika diusia 88 tahun nenek Martha masih bisa berjalan mengelilingi Kota Ambon untuk berjualan mencari pembeli," ujar Rossa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun