Mohon tunggu...
Hana Ramadhani
Hana Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPI

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Drama "1 & 3" (Siji & Telu): Kisah Cinta Manis Namun Tragis

17 Juni 2023   15:12 Diperbarui: 17 Juni 2023   15:19 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sastra jika dipandang dari segi isi, maka dapat dikatakan sebagai bentuk karangan yang tidak mengandung fakta yang berarti hanya fiksi. Sastra adalah segala jenis karangan yang berisi dunia khayalan manusia. Sastra merupakan hasil kreativitas manusia yang mengandung unsur estetis dan unsur kehidupan (Mustaqim, dkk, 2019). Dalam hal ini, sastra kemudian diimajinasikan dan dibuat menjadi sebuah karya agar dapat dinikmati oleh banyak orang. Karya sastra dapat menjadi media untuk mnegungkapkan kreativitas yang ada di dalam diri manusia dengan menunjukkan jati diri serta pandangannya terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar lingkungannya. 

Menurut Isnendes (2010:10) yaitu karya sastra sebagai proses kreatif yang tiada lain ekspresi pengarang dalam menorehkan karyannya melalui medium bahasa, baik lisan maupun tulisan. Unsur keindahan dalam naskah drama merupakan salah satu imajinasi dari kehidupan manusia. Dari naskah drama yang baik maka, pembaca maupun penonton mampu menilai, menghargai suatu drama yang dipentaskan. Naskah drama yang kali ini akan diapresiasi yakni naskah drama "1 & 3".

Naskah drama "1 & 3" ini kemudian dihadirkan menjadi sebuah pergelaran sastra yang menarik perhatian banyak orang. Naskah drama "1 & 3" dapat dibaca dengan "Siji & Telu". Pergelaran sastra "Siji & Telu" merupakan hasil kerja keras dari mahasiswa semester 4 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas DIK 4C. Pada tanggal 24 Mei 2023 telah diadakan pergelaran sastra drama "Siji & Telu" yang dilaksanakan di Gedung Amphiteater UPI. Pergelaran drama "Siji & Telu" dibagi menjadi 2 sesi yakni pada pukul 13.00 dan 19.00 WIB. Pergelaran "Siji & Telu" merupakan alih wahana dari puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono.

Bagi saya sebagai penonton, drama "Siji & Telu" memberikan pengetahuan baru dalam hal kepercayaan pada suatu daerah. Drama ini berhasil menarik perhatian saya dari segala aspek yang ditampilkan. Ketertarikan ini kemudian menimbulkan perasaan untuk melihat lebih jauh bagaimana naskah drama ini berhasil menyuguhkan kisah yang membekas untuk saya. 

Naskah drama "Siji & Telu" menampilkan pengadaian apabila pasangan yang saling mencintai merupakan anak pertama dan anak ketiga. Naskah ini menyampaikan dampak dari mengabaikan titah orang tua dan keluarga yang dengan berani mengandalkan kepercayaan antar satu sama lain. Adat yang sudah ada sejak turun temurun bisa menjadi penyebab gagalnya pasanngan yang saling mencintai. Dibalik tidak patuhnya pasangan ini, saya menemukan titik yang membuat saya tersentuh bahwa dari rasa percaya yang kuat satu sama lain dapat menghasilkan cinta yang luar biasa hebat. Hal ini membuat saya sadar bahwa titik-titik langkah yang akan kita ambil untuk meneruskan hidup haruslah diiringi dengan restu orang tua.

"Siji & Telu" mengangkat tema tentang kepercayaan suku Jawa bahwa seorang anak pertama tidak boleh menjalin hubungan bahkan menikah dengan anak ketiga. Diceritakan bahwa tokoh utama yakni Bima Setiadi dan Diajeng Sekar Ayu atau yang sering dipanggil Ajeng merupakan sepasang kekasih yang baru saja menjalin hubungan. Bima merupakan seorang penulis terkenal yang mana buku-buku Bima telah banyak dibaca oleh Ajeng. Sedangkan Ajeng merupakan anak dari keluarga Jawa yang mana Eyang Ajeng sangat menganut kental yang namanya adat istiadat.  

Bima memiliki niat baik untuk menikahi Ajeng dan ia sudah melamar Ajeng terlebih dahulu. Ajeng yang amat gembira atas lamaran Bima akhirnya memberitahukan kepada keluarganya bahwa ia telah dilamar oleh seorang laki-laki. Eyang Ajeng yang mengetahui kabar tersebut akhirnya meminta kepada Ajeng untuk membawa Bima kerumah beserta keluarganya untuk menyampaikan niat baik tersebut.

Ketika keluarga Bima sudah berada dirumah Ajeng, mereka berbincang-bincang. Konflik muncul ketika sedang berbincang, seorang anak perempuan keluar dari toilet dan menuju untuk menghampiri Ibunya. Ia adalah Bintari yang merupakan adik Bima. Bintari merupakan anak kedua di keluarganya. Hal ini membuat Eyang terkejut. Keterkejutan ini berlanjut ketika Eyang mengatakan "Lha, jadi nak Bima ini anak pertama? (dengan nada terkejut)". Bima merupakan anak pertama di keluarganya sedangkan Ajeng merupakan anak ketiga. 

Hal ini membuat Eyang dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak merestui hubungan Bima dan Ajeng. Di dalam naskah drama ketegasan akan ucapan Eyang tersebut disampaikan melalu dialognya yakni "(nada suara membentak dan kentara ada kekhawatiran di dalamnya) Yo jelas masalah, Jeng! Kenapa kamu tidak memberitahuku ini sejak awal?! Tidak! Tidak! 

Saya tidak mau menanggung risiko, saya tidak mau cucu saya kenapa-kenapa! Batalkan niat kamu! (Menunjuk Bima)". Bima dan Ajeng jelas terkejut dan tidak terima akan hal tersebut. Keluarga menjelaskan bahwa mereka memegang teguh perintah adat untuk tidak melaksanakan pernikahan Jilu. Pernikahan Jilu merupakan pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga. Pernikahan ini dilarang karena menurut leluhur hanya akan membawa petaka dan penderitaan bagi pasangan tersebut.

Konflik berkembang ketika Bima dan Ajeng tetap tidak setuju akan hal tersebut, karena menurut Bima cintanya tidak bisa diakhiri begitu saja hanya karena sebuah mitos. Bagaimana akhirnya kelak itu merupakan takdir Tuhan bukan karena sebuah mitos. Dalam dialognya, Bima berusaha untuk meyakinkan Ajeng "Aku tahu ini tak akan mudah, tetapi setidaknya kita bisa perjuangkan terlebih dahulu apa yang kita inginkan. Sebelum menghubungimu, aku juga sudah berbicara dengan Ibunda. Jawabannya pun sama, beliau menentang kita dengan alasan yang membuat hatiku sakit.

Tapi apakah harus terpisah begitu saja hanya karena sebuah mitos? Ingat Sekar, apa pun yang terjadi kelak itu adalah takdir Tuhan. Bukan salah cinta. aku tak bisa membayangkan kalau kita berpisah sekarang. Jadi, kumohon jangan ragu. Setidaknya kita masih bisa mengharapkan restu yang lain, Kar.

Restu Tuhan dan semesta. Kamu percaya padaku, kan?".  Setelah dipertimbangkan, akhirnya Bima dan Ajeng memilih untuk kabur dari rumah dan melakukan kawin lari. Sebelum melakukan hal tersebut, Bima dan Ajeng menitipkan surat kepada keluarga masing-masing. Hal ini membuat perselisihan antara dua keluarga dan saling tuduh menuduh. Eyang semakin marah bahkan dengan bahasa Jawa ia mengatakan "Ngundhuh wohing pakerti. Mereka pasti akan mendapatkan konsekuensi yang sepadan dengan perbuatan sembrono mereka."

Setelah menikah, Bima dan Ajeng menjalani kehidupan yang bahagia. Kebahagian mereka bertambah ketika Ajeng dikaruniai keturunan untuk pertama kalinya. Namun, kebahagiaan tidak berlangsung lama, ketika sakit yang di derita Bima semakin parah. Tidak ketahui pasti sakit apa yang dirasakan oleh Bima namun, drama menjadi semakin menegangkan ketika Bima terbaring lesu dipangkuan Ajeng. Kekhawatiran Ajeng semakin bertabah ketika Bima mengatakan "Membersamai kamu adalah kewajibanku. 

(Mengelus wajah Ajeng) Seandainya pada suatu hari nanti, jasadku taka da lagi, Diajeng Sekar Ayu Istriku, pun anak kita kelak, kalian tak akan kubiarkan sendiri untuk menghadapi hidup yang fana ini". Konflik selesai ketika Bima memejamkan mata dan meninggal dunia. Ajeng hanya bisa mengikhlaskan dan membiarkan kenangannya bersama Bima melewati kesepian di hidupnya.

Dari naskah drama yang telah dianalisis, perlengakapan yang dihadirkan memberikan ciri khas adat Jawa. Seperti meja dan kursi kayu, pakaian dari tokoh, surat, buah pisang, minuman, dan sebagainya.  Selain itu, latar yang diambil dalam drama "Siji & Telu" ini tidak terlalu banyak. Latar ruang terlihat yakni dirumah keluarga Ajeng dan kontrakan Bima & Ajeng sedangkan latar ruang tak terlihat yakni ketika Ajeng dan Bima berbincang via telfon. Bima dan Ajeng digambarkan berada dirumah masing-masing. 

Dalam hal ini, naskah drama masih menggunakan bahasa Jawa terkhusus pada dialog Eyang Ajeng. Sedangkan dalam percakapan sehari-hari masih ditemukan penggunaan bahasa Indonesia namun disertai dengan logat bahasa Jawa yang kental. Ditemukan juga penggunaan majas hiperbola yakni ketika Bu As mengatakan "Eh asal ibu-ibu tahu suami saya itu biar tampangnya sangar namun berhati malaikat!". 

Naskah drama "Siji & Telu" juga menghadirkan fungsinya yakni fungsi eksprensial dengan memberikan pengalaman dan pesan berharga akan harusnya mendapatkan restu oranng tua dalam menjalankan kehidupan, kemudian fungsi informatif bahwa pernikahan Jilu atau Siji dan Telu merupakan pernikahan yang dilarang di dalam kepercayaan Jawa, fungsi penyadaran yakni naskah drama ini bagaimana akibatnya jika melakukan sesuatu tanpa restu orang tua serta fungsi rekreatif sebagai media hiburan. Ditemukan juga nilai kekeluargaan, nilai religius, nilai kepercayaan akan adat istiadat, serta nilai tanggung jawab.

Dari naskah drama "Siji & Telu" memberikan satu kesimpulan bagi saya bahwa restu keluarga tekhusus orang tua merupakan hal yang paling utama. Seyakin dan seberani apapun seorang anak untuk melangkah untuk menggapai yang ia impikan jangan lupakan bahwa restu orang tua merupakan jembatan untuk menghadirkan restu Tuhan di kehidupannya. Orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan juga anak mendapatkan apa yang mereka harapkan sehingga kedua pihak haruslah saling memahami dan mengerti keinginan masing-masing. 

Apabila menilai dari pergelaran dramka "Siji & Telu" mengenai tata pentas, tata rias, tata musik, dan segala bentuk hasil pementasan menurut saya drama ini layak untuk diberikan pujian yang sebesar-besarnya. Penggunaan properti yang sangat diperhatikan contohnya seperti kursi yang memang benar-benar seperti kursi di keluarga Jawa, kemudian pakaian yang seakan-akan memang menyatakan bahwa mereka keluarga Jawa, riasan para tokoh drama yang sangat pas dan tidak berlebihan. Musik yang dihadirkan sangat membantu dalam memberikan kesan sedih dan menyayat hati. Tata panggung yang sangat menarik perhatian dengan lampu sorot yang memberikan chemistry yang semakin dalam.

Sutradara dan seluruh tim yang telah bekerja keras dan berhasil dalam membawakan drama "Siji & Telu" layak diberikan tepuk tangan sekeras-kerasnya. Diketahui bahwa para pemain drama secara mayoritas bukanlah orang Jawa sehingga mereka berusaha keras untuk menggunakan logat Jawa dengan baik. Diungkapkan oleh sutradara bahwa para pemain melakukan olah vocal, belajar aksen Jawa, dan belajar dari film-film yang memakan waktu selama 3 bulan untuk benar-benar fasih dalam menggunakan bahasa Jawa.

Chemistry dan kedekatan, dan profesionalitas dari para pemain sangat menunjukkan bahwa mereka bekerja keras untuk pergelaran drama "Siji & Telu". Dalam sesi diskusi, sutradara dan pemain menyampaikan bahwa kepercayaan terhadap pernikahan jilu ini dikembalikan kepada orangnya masing-masing. Ada yang memang terjadi (mala petaka) dan ada juga yang tidak terjadi. Sehingga mitos yang diangkat akan dikembalikan lagi kepada kepercayaan penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun