Tapi apakah harus terpisah begitu saja hanya karena sebuah mitos? Ingat Sekar, apa pun yang terjadi kelak itu adalah takdir Tuhan. Bukan salah cinta. aku tak bisa membayangkan kalau kita berpisah sekarang. Jadi, kumohon jangan ragu. Setidaknya kita masih bisa mengharapkan restu yang lain, Kar.
Restu Tuhan dan semesta. Kamu percaya padaku, kan?". Â Setelah dipertimbangkan, akhirnya Bima dan Ajeng memilih untuk kabur dari rumah dan melakukan kawin lari. Sebelum melakukan hal tersebut, Bima dan Ajeng menitipkan surat kepada keluarga masing-masing. Hal ini membuat perselisihan antara dua keluarga dan saling tuduh menuduh. Eyang semakin marah bahkan dengan bahasa Jawa ia mengatakan "Ngundhuh wohing pakerti. Mereka pasti akan mendapatkan konsekuensi yang sepadan dengan perbuatan sembrono mereka."
Setelah menikah, Bima dan Ajeng menjalani kehidupan yang bahagia. Kebahagian mereka bertambah ketika Ajeng dikaruniai keturunan untuk pertama kalinya. Namun, kebahagiaan tidak berlangsung lama, ketika sakit yang di derita Bima semakin parah. Tidak ketahui pasti sakit apa yang dirasakan oleh Bima namun, drama menjadi semakin menegangkan ketika Bima terbaring lesu dipangkuan Ajeng. Kekhawatiran Ajeng semakin bertabah ketika Bima mengatakan "Membersamai kamu adalah kewajibanku.Â
(Mengelus wajah Ajeng) Seandainya pada suatu hari nanti, jasadku taka da lagi, Diajeng Sekar Ayu Istriku, pun anak kita kelak, kalian tak akan kubiarkan sendiri untuk menghadapi hidup yang fana ini". Konflik selesai ketika Bima memejamkan mata dan meninggal dunia. Ajeng hanya bisa mengikhlaskan dan membiarkan kenangannya bersama Bima melewati kesepian di hidupnya.
Dari naskah drama yang telah dianalisis, perlengakapan yang dihadirkan memberikan ciri khas adat Jawa. Seperti meja dan kursi kayu, pakaian dari tokoh, surat, buah pisang, minuman, dan sebagainya. Â Selain itu, latar yang diambil dalam drama "Siji & Telu" ini tidak terlalu banyak. Latar ruang terlihat yakni dirumah keluarga Ajeng dan kontrakan Bima & Ajeng sedangkan latar ruang tak terlihat yakni ketika Ajeng dan Bima berbincang via telfon. Bima dan Ajeng digambarkan berada dirumah masing-masing.Â
Dalam hal ini, naskah drama masih menggunakan bahasa Jawa terkhusus pada dialog Eyang Ajeng. Sedangkan dalam percakapan sehari-hari masih ditemukan penggunaan bahasa Indonesia namun disertai dengan logat bahasa Jawa yang kental. Ditemukan juga penggunaan majas hiperbola yakni ketika Bu As mengatakan "Eh asal ibu-ibu tahu suami saya itu biar tampangnya sangar namun berhati malaikat!".Â
Naskah drama "Siji & Telu" juga menghadirkan fungsinya yakni fungsi eksprensial dengan memberikan pengalaman dan pesan berharga akan harusnya mendapatkan restu oranng tua dalam menjalankan kehidupan, kemudian fungsi informatif bahwa pernikahan Jilu atau Siji dan Telu merupakan pernikahan yang dilarang di dalam kepercayaan Jawa, fungsi penyadaran yakni naskah drama ini bagaimana akibatnya jika melakukan sesuatu tanpa restu orang tua serta fungsi rekreatif sebagai media hiburan. Ditemukan juga nilai kekeluargaan, nilai religius, nilai kepercayaan akan adat istiadat, serta nilai tanggung jawab.
Dari naskah drama "Siji & Telu" memberikan satu kesimpulan bagi saya bahwa restu keluarga tekhusus orang tua merupakan hal yang paling utama. Seyakin dan seberani apapun seorang anak untuk melangkah untuk menggapai yang ia impikan jangan lupakan bahwa restu orang tua merupakan jembatan untuk menghadirkan restu Tuhan di kehidupannya. Orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan juga anak mendapatkan apa yang mereka harapkan sehingga kedua pihak haruslah saling memahami dan mengerti keinginan masing-masing.Â
Apabila menilai dari pergelaran dramka "Siji & Telu" mengenai tata pentas, tata rias, tata musik, dan segala bentuk hasil pementasan menurut saya drama ini layak untuk diberikan pujian yang sebesar-besarnya. Penggunaan properti yang sangat diperhatikan contohnya seperti kursi yang memang benar-benar seperti kursi di keluarga Jawa, kemudian pakaian yang seakan-akan memang menyatakan bahwa mereka keluarga Jawa, riasan para tokoh drama yang sangat pas dan tidak berlebihan. Musik yang dihadirkan sangat membantu dalam memberikan kesan sedih dan menyayat hati. Tata panggung yang sangat menarik perhatian dengan lampu sorot yang memberikan chemistry yang semakin dalam.
Sutradara dan seluruh tim yang telah bekerja keras dan berhasil dalam membawakan drama "Siji & Telu" layak diberikan tepuk tangan sekeras-kerasnya. Diketahui bahwa para pemain drama secara mayoritas bukanlah orang Jawa sehingga mereka berusaha keras untuk menggunakan logat Jawa dengan baik. Diungkapkan oleh sutradara bahwa para pemain melakukan olah vocal, belajar aksen Jawa, dan belajar dari film-film yang memakan waktu selama 3 bulan untuk benar-benar fasih dalam menggunakan bahasa Jawa.
Chemistry dan kedekatan, dan profesionalitas dari para pemain sangat menunjukkan bahwa mereka bekerja keras untuk pergelaran drama "Siji & Telu". Dalam sesi diskusi, sutradara dan pemain menyampaikan bahwa kepercayaan terhadap pernikahan jilu ini dikembalikan kepada orangnya masing-masing. Ada yang memang terjadi (mala petaka) dan ada juga yang tidak terjadi. Sehingga mitos yang diangkat akan dikembalikan lagi kepada kepercayaan penonton.