Desa Brengkok berada di Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kultur religius masyarakat Desa Brengkok hari ini dipengaruhi riwayat asal usul desa tersebut ketika masih berupa tanah pemberian dari Kasunan Kartasura, sekitar seratusan tahun lalu. Bagaimana kisahnya?
SAYA lahir dan besar di Desa Brengkok. Jaraknya sekitar 42 kilometer ke arah barat dari pusat Kabupaten Banjarnegara. Brengkok berada tak jauh dari tugu perbatasan Kabupaten Banjarnegara dengan Kabupaten Banyumas. Desa dilalui jalan provinsi Banjarnegara-Banyumas.
Menurut saya, kultur masyarakat Brengkok terbilang religius dengan kondisi sosial yang guyub rukun. Â Dalam tulisan ini, saya mencoba mengkaitkan keberagamaan masyarakat Brengkok dengan riwayat asal mulanya terbentuknya Kademangan Brengkok yang dipimpin seorang demang haji dan khafid Quran, yakni Haji Moesa.Â
Babad Kademangan Brengkok berhubungan dengan peristiwa pageblug Jawa yang menimpa Kasunanan Kartasura. Alkisah, banyak penduduk meninggal karena penyakit yang mudah menular. Istilahnya, esuk lara-sore mati, sore lara-esuk mati. Barangkali ini seperti pandemi Covid-19 yang sedang kita alami sekarang.Â
Kala itu, wabah mengakibatkan banyak orang meninggal dan sakit. Perekonomian pun terganggu. Warga tidak berani keluar rumah karena takut tertular wabah. Pasar menjadi sepi dan merana. Raja menjadi sedih karenanya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusir pageblug dan memulihkan keadaan. Dipanggillah tabib-tabib keraton dan orang pintar sebagai upaya penyembuhan. Namun tiada hasil.
Saat itu, wilayah Kasunan Kartasura meluas ke barat hingga daerah yang saat ini dikenal dengan istilah eks-Karesidenan Banyumas, meliputi Banjarnegara, Banyumas, Purbalingga, dan Cilacap. Di wilayah tersebut terdapat beberapa tanah perdikan berupa kademangan.
Upaya mencari orang yang bisa mengusir pageblug sampai ke wilayah Kademangan Gemelem yang dipimpin oleh Ki Ageng Gemelem. Kademangan Gemelem saat ini sudah tidak ada, berganti menjadi Desa Gemelem Wetan dan Desa Gemelem Kulon. Keduanya berada di Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Jarak Gemelem dari Keraton Solo saat ini sekitar 200-an kilometer.Â
Diceritakan, Raja Kartasura meminta tolong kepada utusan Demang Gemelem, Nyai Samsudin untuk mencarikan orang di Kademangan Gemelem yang dianggap bisa mengusir pageblug. Mendapat perintah itu, Nyai Samsudin menunjuk saudara laki-lakinya yang bernama Haji Moesa. Nama tersebut kemudian diajukan kepada Demang Gemelem untuk selanjutkan diteruskan kepada Raja.
Singkat cerita, Demang Gemelem dan Nyai Samsudin menghadirkan Haji Moesa kehadapan Raja. Setelah dihadapkan,Haji Moesa diperintahkan untuk menyirep pageblug. Setelah melakukan persiapan yang memadai dan menghitung hari baik sesuai pertimbangan Haji Moesa, titah raja dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Bagaimana cara Haji Moesa mengusir pageblug?
Haji Moesa melakukan tolak bala untuk mengusir pageblug dengan cara memanjatkan doa kepada Allah SWT. Haji Moesa melakukan tirakat dan melantunkan hafalan Alquran sampai khatam. Ya, Haji Moesa merupakan sosok khafid quran. Â Hal lain yang dilakukan Haji Moesa adalah membuat rujak timun dalam jumlah banyak dan membagikannya kepada setiap orang yang hendak ke pasar dan melewati perempatan jalan dengan keraton.
Alhasil, doa-doa yang dipanjatkan dan hafalan Quran yang dilakukan membuahkan hasil. Berangsur-angsur keadaan mulai membaik dan pageblug bisa dihilangkan. Orang yang sakit sembuh dan angka kematian berangsur turun.
Keberhasilan ini membuat hati Raja bergembira. Sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan, Raja memberikan tanah perdikan kepada Haji Moesa. Tanah perdikan itu berupa Kademangan Brengkok. Jarak antara Kademangan Brengkok dengan Kademangan Gemelem, sekitar 4-5 kilometer
Setelah kembali dari Kasunanan, Haji Moesa membuka lahan dan mendirikan rumah. Kademangan Brengkok dikaruniai tanah yang subur yang kemudian dibuka menjadi areal persawahan. Tanah kademangan Brengkok cukup luas. Batas selatan sampai perbukitan yang saat ini dikenal sebagai Gunung (bukit) Demang. Batas barat sampai ke sungai yang saat ini dikenal sebagai Kali Galih (di Desa Pakikiran). Saya belum mengetahui sejauh mana batas wilayah Kademangan Brengkok di sisi timur dan utara.
 Haji Moesa kemudian memimpin kademangan dengan arif dan bijaksana. Saat itu, orang yang berangkat haji masih sangat sedikit. Selama memimpin, Haji Moesa juga melakukan syiar Islam kepada penduduk dan keluarganya. Tanah pemberian Raja juga dibagi-bagikan untuk kepentingan publik, seperti wakaf masjid, membangun pasar, dan lainnya.Â
Demang terakhir, atau Demang ke-6 Brengkok, juga bergelar haji. Orang pergi haji pada masa itu masih terbilang sangat sedikit. Waktu berhaji juga lama, sekitar 2 tahun. Syiar Islam dilakukan dengan mengundang ustadz/guru ngaji dari luar desa untuk membimbing agama kepada warga.Â
Kademangan Brengkok bertahan hingga era kemerdekaan, sekitar tahun 1947. Status kademangan hilang karena adanya regulasi. Status kademangan berubah menjadi desa. Pemimpin wilayah juga berganti dari demang menjadi kepala desa. Di era kademangan, status demang diturunkan dari keluarga demang .Adapun di era desa, kepala desa dipilih hasil pemilihan langsung warga desa.Â
Hingga saat ini peninggalan era Kademangan Brengkok yang masih bisa disaksikan adalah lokasi rumah demang yang berada di pertigaan masjid. Lokasi eks rumah demang masih dihuni oleh keluarga dari cucu demang terakhir, Demang Brengkok VI. Mayarakat setempat masih bisa menyaksikan bangunan lama berhalaman luas dengan terdapat tugu besar. Tugu pembatas halaman ini diperkirakan dibangun awal 1900-an. Tanah demang sebagian ada yang diwakafkan menjadi masjid, bengkok untuk marbot, lalu menjadi tanah kas desa. Konon menurut cerita, pasar yang berada di tepi jalan masuk ke desa dulunya adalah milik Desa Brengkok. Â
Di Desa Brengkok saat ini juga berdiri pondok pesantren Al Husna asuhan Kyai Farhan. Sering dilakukan kegiataan ceramah dan manaqiban serta banyak santri datang dari luar desa. Hal ini menunjukkan bahwa atmosfer religi terus lestari hingga hari ini. (*)
Catatan :
Tulisan ini banyak bersumber dari tulisan tangan alm. R.Boechori (Pak Yoyi), anak dari Demang Brengkok VI (terakhir). Didukung dengan hasil wawancara dengan Hendro Cahyono (cucu dari anak Demang Brengkok VI). Wawancara dilakukan Minggu, 6 Maret 2022. Penulis mengakui ada beberapa hal yang perlu diperkuat dengan bukti dan catatan pendukung.
Beberapa hal yang belum saya dapati antaralain : siapa Raja Kartasura yang memberikan tanah perdikan? kapan peristiwa pageblug Jawa terjadi dan bagaimana catatan kejadian? Lalu tanggal berapa Raja memberikan tanah perdikan kepada haji Moesa?
Bila ada yang mengetahui seputar Babad Desa Brengkok, bisa menghubungi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H