Mohon tunggu...
Hanan Wiyoko
Hanan Wiyoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya menulis maka saya ada

Suka membaca dan menulis, bergiat di literasi digital dan politik, tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Perlu Merevisi Undang-Undang Pemilu?

3 Februari 2021   08:45 Diperbarui: 3 Februari 2021   08:48 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 TULISAN ini mengetengahkan pemikiran urgensi revisi Undang-undang Pemilu. Pendapat perlu dan atau tidak perlunya revisi ini bersumber dari pemikiran narasumber dalam webinar berjudul Menilik Revisi UU Pemilu yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banyumas, Selasa (2/2). 

Narasumber webinar adalah Zulfikar Arse Sadikin (Komisi II DPR RI/Fraksi Golkar), Ahmad Sabiq (dosen Ilmu Politik FISIP Unsoed), dan Arfianto Purbolaksono (peneliti The Indonesian Institute).  

Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah menggodog RUU Pemilu. Revisi ini menggabungkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot. Banyak hal yang baru / berubah dalam draft revisi tersebut. Namun dalam tulisan ini, saya belum bermaksud mereview RUU tadi.

Saat ini, terjadi pro dan kontra terkait perlu tidaknya revisi UU tersebut, contohnya terhadap klausul penyelenggaraan Pilkada di Tahun 2022 dan 2023 atau Pilkada serentak di 2024. 

Sikap fraksi di DPR RI sendiri belum bulat, ada yang setuju merevisi, ada juga yang menolak revisi, serta ada yang belum bersikap. Sementara sinyal dari pemerintah dikutip dari CNN (29/1) menyatakan akan menolak revisi UU Pemilu.

Indikator Electoral Reform 

Dalam webinar kemarin, akademisi FISIP Unsoed, Ahmad Sabiq MA, mengungkapkan bahwa desain Undang-undang Pemilu seharusnya menjangkau ke depan, dan tidak mudah diubah-ubah sesuai keinginan yang berdimensi pendek. 

Menurutnya, Revisi UU Pemilu bukanlah hal mendesak dilakukan pada saat ini. Ia kemudian menjelaskan, kerangka berpikirnya soal indikator untuk mengukur apakah perlu atau tidak melakukan perubahan sistem pemilu.

"Dikutip dari Peneliti Perludem, Heroik Pratama, bahwa 2 dari 3 faktor terjadinya Electoral Reform adalah jika terdapat kegagalan sistemik terkait desain sistem pemilu untuk mencapai tujuan dan peristiwa katalistik/krisis. Harus diakui bahwa mungkin memiliki kekurangan dalam memenuhi ekpesktasi publik seperti lembaga perwakilan yang responsif, akuntabel, dan efektif tetapi tidak bisa disebut gagal. Kemudian juga tidak ada krisis yang menuntut adanya perubahan desain elektoral. Adapun faktor yang ketiga adalah preferensi petahana" ujar Ahmad Sabiq.

Menurut dia, dari faktor pertama dan kedua menunjukkan tidak layak dilakukan adanya revisi. Sedangkan preferensi petahana pada saat ini sudah terlihat sikap pemerintah yang menghendaki tidak dilakukan revisi. 

Sabiq juga menambahkan, perbincangan soal revisi undang-undang pemilu seolah dejavu, hal yang sering terjadi secara berulang sehingga disebutnya seperti bongkar pasang karena kepentingan politik jangka pendek.

Catatan Terhadap RUU Pemilu

Ia kemudian memberikan empat catatan terhadap revisi undang-undang. Keempat hal ini adalah (1) Sebagian bukan hal yang krusial, bahkan diskriminatif, mundur ke belakang serta berpotensi digugat (misalnya syarat pendidikan minimal S1 untuk calon presiden, dan pelarangan eks anggota HTI). 

Padahal sudah ada yurisprudensi MK melalui Putusan Perkara No. 011-017/PUU-I/2003 yang membatalkan pasal bermuatan diskriminasi dalam UU Pemilu saat itu. (2) Sebagian bukan hal yang perlu, seperti kenaikan ambang batas. 

Angka yang ada saat ini sudah mewadahi representasi politik yang beragam dan di sisi lain sudah ada dampak efektifnya terhadap upaya penyederhanaan sistem kepartaian. 

Jika dinaikkan akan lebih banyak wasted votes. (3) Belum menyediakan kerangka hukum yang dapat memberikan kemudahan pemilih dalam pemilu (misalnya early voting, postal voting, aksesibilitas difabel dan lainnya) dan (4) Belum menyentuh persoalan yang menggejala dalam perpolitikan kita (misalnya politik uang, korupsi, politik dinasti)

Sementara itu, anggota DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengungkapkan bahwa politik sangat terkait dengan perkembangan yang terjadi sehingga jika berbicara tentang pemilu maka ada 4 hal yang perlu didiskusikan yaitu tentang sistem, aktor, manajemen, dan penegakan hukum.

"Kalau kita mau melakukan pergerakan terus ke arah konsolidasi demokrasi, maka 4 hal tersebut harus kita arahkan kepada 4 keadaan juga. Pertama, memperdalam demokratisasi. 

Kedua, memperkuat sistem presidensial. Ketiga, meningkatkan efektivitas pemerintahan. Keempat, menumbuhsuburkan sikap perilaku yang fairness. Keempat keadaan itu yang menjadi pegangan kita dalam melakukan perubahan UU Pemilu untuk bergerak terus maju." ujar Zulfikar.

Zulfikar menambahkan bahwa pemerintah ingin tidak sekedar hanya berpolitik dalam melakukan revisi UU Pemilu, namun juga ingin berpemerintahan dan bernegara yang semakin sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh konstitusi.  

Kemudian menurut Arfianto Purbolaksono, bahwa dalam polemik Revisi UU Pemilu setidaknya terdapat 6 isu yakni (1) sistem pemilu; (2) ambang batas parlemen; (3) sistem konversi penghitungan suara ke kursi; (4) distric magnitude jumlah besaran kursi per daerah pemilihan; (5) keserentakan pemilu; (6) digitilasasi pemilu; dimana dalam isu-isu tersebut hampir semua fraksi memiliki kepentingannya masing-masing.

(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun