Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jalan Memutar

7 Maret 2020   16:59 Diperbarui: 7 Maret 2020   17:10 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Terakhir, Soe dengan cemerlang menyimpulkan tiga kategori kritiknya pada poin Deconsentration of Values yang menjadi dasar kritik Soe terhadap sekulerisme. Namun, ia gagal menjelaskan bagaimana rasionalitas weberian (verstehen) dapat berimplikasi menjawab pelbagai persoalan kegagalan birokrasi Eropa kala itu, serta beragam faktor yang mendorong kemunculan sekte calvinisme dalam ajaran kristiani.


      Dengan demikian, pemahaman parsial (asal nyomot) Soe terhadap Max Weber memiliki kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa tabiat sekulerisme sebagai gejala total  terhadap beragam faham yang berkembang setelahnya seperti pada tulisan sebelumnya yakni, menelan ludah sendiri (2020) bersifat ahistoris. Konsekuensi dari cara berfikir taken for granted. Mengakibatkan Soe membaca buku secara positivistik, dalam diskursus ilmu sosial ini merupakan kesalahan fatal. Sebab, ia meminggirkan relasi sosio-historis & ekonomi-politik dalam melakukan pendekatan terhadap metodologi ilmu sosial. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar Soe membaca sumber primer Max Weber berjudul The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism (1904) dan telaah kritis ilmu humaniora lainnya.

    Jalan memutar Kesetaraan

img-20200228-161746-437-5e63700dd541df1022668f43.jpg
img-20200228-161746-437-5e63700dd541df1022668f43.jpg


Jean Jaqcues Ranciere merupakan seorang filosuf kontemporer yang secara keras menkritik model tatanan masyarakat berdasarkan hirarki sosial.[5] Ia menolak segala prinsip kuno (arkhe) sebagai permulaan dan perintah yang menentukan pembagian-pembagian, hirarki, peran, dan kewenangan kelompok-kelompok di dalam tatanan sosial. Sebab, menurut Rancire prinsip-prinsip tersebut diterima dan ditegaskan sebagai sesuatu yang terberi (given) untuk membayangkan bahwa tatanan masyarakat hanya dapat berjalan dalam kondisi demikian. Dengan kata lain, Ranciere mempersoalkan cara pandang masyarakat yang membagi tatanan sosial berdasarkan pada tempat, fungsi, bakat, garis keturunan, ataupun kepakaran.[6]
Jika yang dimaksud oleh Soe sebagai ketidakteraturan, maka Rancire mengajukan Dissensus atau ketidaksepakatan sebagai titik tolak untuk memverikasi berbagai ilusi harmonis, stabilitas dan sebagainya. Sehingga demokrasi, dapat terjaga suplemenya.


Terkait Pancasila, saya pikir perlu kesempatan lain untuk menjelaskan secara lebih detil bagaimana para konseptor republik merumuskan dasar negara dengan berbagai pandangan yang disesuaikan dari pemikiran-pemikiran lainnya. Sebab, dalam diskursus seperti ini, tidak mungkin apabila penulis harus menjelaskan seluruh  pemaparanya.  


      Kembali pada Ranciere, ia menjelaskan secara komperhensif apa yang dimaksud dengan konsep kesetaraan pada buku yang ditulisnya berjudul Disagreement: Politics and Philosophy. Secara ringkas, disini akan coba saya jelaskan. Pertama, Rancire menyasarkan bangunan konsepnya melalui "kesetaraan pada setiap orang dan semua orang". Dititik ini, kita dapat memahami bahwa motif Rancire ialah menghapus dual oposisi biner; mayoritas dan minoritas, inferior dan superior, diperhitungkan atau tidak diperhitungkan, barat dan timur, dsb.


    Kemudian pendasaran bangunan konsep Ranciere tentang kesetaraan melampaui kesetaraan yang bersifat aritmatis atau kalkulasi rasional, preposisi kebutuhan, dsb. serta melampaui kesetaraan yang bersifat geometris atau ukuran satuan ruang, tempat, wilayah, dsb. Kesetaraan dalam konsep Rancire bersifat kontingen dalam tatanan masyarakat. Pokok pemikiran kesetaraan Rancire  didasari oleh tiga posisi sebagai berikut: 1.) Kesetaraan sebagai pengandaian, 2.) Kesetaraan sebagai titik tolak, dan 3.) Kesetaraan sebagai alat untuk memverifikasi.[7] Di titik ini perlu dipahami bahwa Kesetaraan bukanlah capaian ataupun tujuan akhir.


   Lantas pertanyaan yang kemudian muncul apakah kita butuh kesetaraan? Tentu, perlu sekiranya kita memahami konsepsi diatas untuk mengganti pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang jauh lebih tepat yakni,  apakah kesetaraan dapat terjadi pada  situasi kita? Kapan kesetaraan dapat terjadi pada situasi sekarang? Melalui Pertanyaan tersebut, silahkan pembaca yang budiman untuk menilai bagaimana proses kesetaraan berjalan di kampus. Apalagi, mengingat kasus kekerasan dan diskriminasi gender yang belakangan muncul.
Kemudian untuk menjawab ambivalensi terakhir Soe terkait beragam persoalan yang muncul terkait kesetaraan gender. Penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca yang budiman untuk membaca sebuah laporan jurnalistik yang ditulis oleh Uly Mega Septiani berjudul Panggung Politik Bias Gender di UNJ  yang diterbitkan oleh LPM Didaktika. Dalam laporan tersebut, pembaca sekalian  dapat menemukan sebuah fakta ilmiah tentang beragam konfigurasi gender dalam gelanggang politik kampus melalui berbagai pemaparan riset akademis.[8]

Demikianlah, Jakarta 27 Februari 2020.

*Penulis merupakan anggota aliansi mahasiswa untuk kesetaraan (AMUK UNJ)

Catatan Kaki

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun