Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jalan Memutar

7 Maret 2020   16:59 Diperbarui: 7 Maret 2020   17:10 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh M. Muhtar


       Seorang perempuan mengenakan kimono khas Jepang yang lusuh dan penuh robekan. Ia berlari tergopoh-gopoh menyusuri dedaunan rumput dan pohon-pohon yang menjulang tinggi di tengah belantara. Badannya menggigil, bergetar menahan lapar tatkala dinginya angin malam menyeok perutnya yang kosong. Ia terus berlari melewati gubuk-gubuk, tak jarang pula duri-duri berserakan ia injak hingga kakinya berlumuran darah.


         Dalam sebuah pelarian itu, ia terpojok oleh ujung pedang para samurai jepang utusan kaisar di tengah semak belukar. Sebelum akhirnya, ia digelandang bersama pasanganya yang bekerja sebagai pedagang kecil ke tengah desa, karena mereka dianggap melakukan perzinaan. Narasi film yang tersaji pada paragraf sebelumnya merupakan adegan film klasik Jepang di tahun 1954 berjudul The Crucified Lovers besutan Kenji Mizoguchi.


         Film tersebut menggambarkan bagaimana romansa kisah kedua pasangan tersebut secara temaram dan puitis. Para laki-laki desa yang telah lama mengetahui hubungan mereka di pedesaan tersebut pun selalu menutupi informasi hubungan mereka berdua kepada para samurai Jepang. Sebab, mereka tahu bahwa hukuman bagi pasangan yang menjalani hubungan diluar pernikahan maka akan dihukum mati. Walaupun pada akhirnya, mereka tetap dieksekusi dengan disalib tubuhnya hingga kematian menjemput.


        Pada potongan gambar terakhir film tersebut, kedua pasangan yang telah mati tidak sedikitpun menunjukan raut muka yang nelangsa. Melainkan, mereka mati dengan meninggalkan bekas senyum simetris di kedua bibir pasangan tersebut. Inilah sebuah karya seni yang menggentarkan cakrawala filsafat kala itu. Tak terkecuali filsuf-filsuf Eropa yang memberikan pandangan terhadap produk sinema dekade 50-an asal Jepang.[1]


       Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan di fèmiz, Perancis. Gillese Deleuze mengutip Malraux, menyatakan bahwa seni adalah apa yang melawan kematian.[2] Dititik ini, bidikan kamera pada adegan akhir film tersebut mampu menyajikan sebuah pertanyaan dalam benak kita bahwa cinta juga melawan kematian---Sebuah keterlibatan cinta dan seni dalam pengertian yang tidak selalu dengan mudah dapat dipahami.


       Sebuah "senyuman" sepasang kekasih mengisyarakat simbol perlawanan terhadap kematian. Mengapa demikian? Perlu sekiranya kita memahami ungkapan 'situasi filosofis'. Secara singkat, Alain Badiou (2001) menjelaskan kondisi mendasar dari situasi filosofis yang relevan dengan jalan cerita film tersebut sebagai sebuah pengandaian dari pengecualian (exception). Badiou menjelaskan bahwa, tugas filsafat harus memikirkan peristiwa.[3]


      Filsafat mengemban tugas untuk mengetahui apa yang tidak biasa. Bahkan, filsafat juga harus memikirkan transformasi kehidupan. Dengan kata lain, filsafat bertanggung jawab atas nilai dari sebuah pengecualian. Nilai dari sebuah peristiwa. Nilai dari pemenggalan pasangan kekasih yang nisbi sekalipun. Ini merupakan tugas besar filsafat dalam kehidupan. Selain tuntutanya untuk menjawab berbagai persoalan dalam ranah akademis.

Jawaban atas Sebuah Ambivalensi

         Apa yang dapat sejenak kita bayangkan sebelum kematian menjemput? Mengapa lebih mudah membayangkan akhir dari dunia? ketimbang memikirkan transformasi yang mengakar dari kehidupan sosial? Untuk mengawali jawaban yang akan penulis rangkum, perlu sekiranya bagi pembaca yang budiman untuk melihat ulang butir-butir yang secara lugas dipaparkan dalam tulisan Soe berjudul persimpangan Jalan (2020).


        Soe dengan jeli mempreteli narasi sekulerisme sebagai embrio apa itu liberalisme, pluralisme, komunisme, dan feminisme melalui tiga poin krusial yang ia kutip dari buku tokoh idolanya melalui pembacaan ketat terhadap otoritas ala weberian. Namun, sangat disayangkan cara membaca Soe telah gagal menjelaskan formasi sosial dari penelitian Max Weber untuk mendasarkan argumentasinya.


      Pertama, ia mendasarkan pembacaanya atas Disenchancement of Nature sebagai pemisahan manusia atas berbagai konsep ketuhanan. Bagi saya, Soe gagal menjelaskan bagaimana konteks sosial dari asal-usul kemunculan gilda-gilda dan terbitnya surat indulgensia yang menjadi relasi dominasi terhadap petani-petani di Eropa sehingga mereka mau bekerja keras kala itu.
       

    Kedua, ia menautkan konsepsi desacralization of politics sebagai penghambat proses perubahan sosial. Hal yang luput dalam membaca konsepsi tersebut ialah Soe tidak menunjukan basis analisa ekonomi untuk mendasarkan argumentasi tentang transisi politik yang bersifat sakral ke profan. Penting untuk diketahui bahwa tesis Weber memiliki analisa asal-usul kemunculan sistem ekonomi yang hari ini kita sebut sebagai sistem perkonomian kapitalisme.[4]
      

    Terakhir, Soe dengan cemerlang menyimpulkan tiga kategori kritiknya pada poin Deconsentration of Values yang menjadi dasar kritik Soe terhadap sekulerisme. Namun, ia gagal menjelaskan bagaimana rasionalitas weberian (verstehen) dapat berimplikasi menjawab pelbagai persoalan kegagalan birokrasi Eropa kala itu, serta beragam faktor yang mendorong kemunculan sekte calvinisme dalam ajaran kristiani.


      Dengan demikian, pemahaman parsial (asal nyomot) Soe terhadap Max Weber memiliki kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa tabiat sekulerisme sebagai gejala total  terhadap beragam faham yang berkembang setelahnya seperti pada tulisan sebelumnya yakni, menelan ludah sendiri (2020) bersifat ahistoris. Konsekuensi dari cara berfikir taken for granted. Mengakibatkan Soe membaca buku secara positivistik, dalam diskursus ilmu sosial ini merupakan kesalahan fatal. Sebab, ia meminggirkan relasi sosio-historis & ekonomi-politik dalam melakukan pendekatan terhadap metodologi ilmu sosial. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar Soe membaca sumber primer Max Weber berjudul The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism (1904) dan telaah kritis ilmu humaniora lainnya.

    Jalan memutar Kesetaraan

img-20200228-161746-437-5e63700dd541df1022668f43.jpg
img-20200228-161746-437-5e63700dd541df1022668f43.jpg


Jean Jaqcues Ranciere merupakan seorang filosuf kontemporer yang secara keras menkritik model tatanan masyarakat berdasarkan hirarki sosial.[5] Ia menolak segala prinsip kuno (arkhe) sebagai permulaan dan perintah yang menentukan pembagian-pembagian, hirarki, peran, dan kewenangan kelompok-kelompok di dalam tatanan sosial. Sebab, menurut Rancire prinsip-prinsip tersebut diterima dan ditegaskan sebagai sesuatu yang terberi (given) untuk membayangkan bahwa tatanan masyarakat hanya dapat berjalan dalam kondisi demikian. Dengan kata lain, Ranciere mempersoalkan cara pandang masyarakat yang membagi tatanan sosial berdasarkan pada tempat, fungsi, bakat, garis keturunan, ataupun kepakaran.[6]
Jika yang dimaksud oleh Soe sebagai ketidakteraturan, maka Rancire mengajukan Dissensus atau ketidaksepakatan sebagai titik tolak untuk memverikasi berbagai ilusi harmonis, stabilitas dan sebagainya. Sehingga demokrasi, dapat terjaga suplemenya.


Terkait Pancasila, saya pikir perlu kesempatan lain untuk menjelaskan secara lebih detil bagaimana para konseptor republik merumuskan dasar negara dengan berbagai pandangan yang disesuaikan dari pemikiran-pemikiran lainnya. Sebab, dalam diskursus seperti ini, tidak mungkin apabila penulis harus menjelaskan seluruh  pemaparanya.  


      Kembali pada Ranciere, ia menjelaskan secara komperhensif apa yang dimaksud dengan konsep kesetaraan pada buku yang ditulisnya berjudul Disagreement: Politics and Philosophy. Secara ringkas, disini akan coba saya jelaskan. Pertama, Rancire menyasarkan bangunan konsepnya melalui "kesetaraan pada setiap orang dan semua orang". Dititik ini, kita dapat memahami bahwa motif Rancire ialah menghapus dual oposisi biner; mayoritas dan minoritas, inferior dan superior, diperhitungkan atau tidak diperhitungkan, barat dan timur, dsb.


    Kemudian pendasaran bangunan konsep Ranciere tentang kesetaraan melampaui kesetaraan yang bersifat aritmatis atau kalkulasi rasional, preposisi kebutuhan, dsb. serta melampaui kesetaraan yang bersifat geometris atau ukuran satuan ruang, tempat, wilayah, dsb. Kesetaraan dalam konsep Rancire bersifat kontingen dalam tatanan masyarakat. Pokok pemikiran kesetaraan Rancire  didasari oleh tiga posisi sebagai berikut: 1.) Kesetaraan sebagai pengandaian, 2.) Kesetaraan sebagai titik tolak, dan 3.) Kesetaraan sebagai alat untuk memverifikasi.[7] Di titik ini perlu dipahami bahwa Kesetaraan bukanlah capaian ataupun tujuan akhir.


   Lantas pertanyaan yang kemudian muncul apakah kita butuh kesetaraan? Tentu, perlu sekiranya kita memahami konsepsi diatas untuk mengganti pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang jauh lebih tepat yakni,  apakah kesetaraan dapat terjadi pada  situasi kita? Kapan kesetaraan dapat terjadi pada situasi sekarang? Melalui Pertanyaan tersebut, silahkan pembaca yang budiman untuk menilai bagaimana proses kesetaraan berjalan di kampus. Apalagi, mengingat kasus kekerasan dan diskriminasi gender yang belakangan muncul.
Kemudian untuk menjawab ambivalensi terakhir Soe terkait beragam persoalan yang muncul terkait kesetaraan gender. Penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca yang budiman untuk membaca sebuah laporan jurnalistik yang ditulis oleh Uly Mega Septiani berjudul Panggung Politik Bias Gender di UNJ  yang diterbitkan oleh LPM Didaktika. Dalam laporan tersebut, pembaca sekalian  dapat menemukan sebuah fakta ilmiah tentang beragam konfigurasi gender dalam gelanggang politik kampus melalui berbagai pemaparan riset akademis.[8]

Demikianlah, Jakarta 27 Februari 2020.

*Penulis merupakan anggota aliansi mahasiswa untuk kesetaraan (AMUK UNJ)

Catatan Kaki


[1] Kenji Mizoguchi, "The Crucified Lovers", DVD, (United Kingdoms : IMDb, 1970).
[2] Peter Englemann, "Philosophy in The Present",(Cambridge : Polity Press, 2009)
[3] Lebih lanjut baca; Alain Badiou, "Ethics : An Essay on the Understanding of Evil",(London : Verso, 2001). hal. 40-43.
[4] Secara komperhensif Analisa weberian menggambarkan konteks sosial ekonomi yang melatarbelakangi penelitian sosiologisnya. Lebih lanjut, silahkan baca: Max Weber, "The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism"(London : Routledge, 2001). Hal, 13-20.
[5] Todd May, "Contemporary Political Movement and the Thought of Jacques Rancire", Hal, 9.
[6] Jean Jacques Rancire, "Disagreement: Politics and Philosophy" (Minneapolis : University of Minnesota Press,1999), Hal, 21-42.
[7]Ibid, Rancire.
[8] Uly Mega Septiani, "Panggung Politik Bias Gender di UNJ" Diakses dari laman web www.didaktikaunj.com pada kamis 27 Februari 2020, pukul : 11.00 WIB.

Daftar Pustaka

Alain Badiou. "Ethics : An Essay on  the Understanding of Evil". (London : Verso, 2001).
Jean Jacqus Rancire. "Disagreement: Politics and Philosophy".(Minneapolis : University of Minnesota Press,1999).
Max Weber. "The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism". (London : Routledge, 2001).
Peter Englemann. "Philosophy in The Present".(Cambridge : Polity Press, 2009).
Todd May. "Contemporary Political Movement and the Thought of Jacques Rancire".(Edinburg: Edinburg University Press).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun