Setelah meninjau ketidakberdayaan dalam kubu TNI pasca tugas mereka berakhir, pemerintah RI berniat mencanangkan program untuk membuka peluang bagi pensiunan TNI agar mendapatkan jabatan dalam pemerintahan sipil. Kebijakan tersebut adalah bentuk hipokrisi[1] yang mengancam Demokrasi serta mengantarkan kondisi peradaban kita mengalami kemunduran sekitar kurang lebih 20 tahun silam.
Alih-alih "revitalisasi" akibat dari kebijakan yang mengancam, situasi Demokrasi yang seharusnya bertransisi menuju pembaharuan dengan semangat kesetaraan serta keadilan justru terbebani dengan adanya ancaman 'totaliterianisme' dan 'militerisme' yang terbuka untuk kembali ke permukaan Indonesia pada abad 20.
Situasi tersebut sangat penting untuk kita gagalkan demi supremasi sipil, rasionalitas dan mentalitas warga negara.
Lebih jauh, kesejahteraan khalayak umum, bahkan nyawa menjadi halnya taruhan ketika kebijakan di akhir rezim Joko Widodo pada akhirnya harus tunduk pada kekuatan dan kekuasaan pusaran angkatan bersenjata.
Yang Banal: Antara Dahulu dan Esok
Manusia modern akan hidup pada kondisi untuk siap siaga terhadap segala bentuk rutinitas yang begitu padat serta ruwet; mulai dari menumpuknya urusan administrasi kantor hingga tantangan melewati macet di jalan yang begitu menyita waktu.
Di tengah hiruk pikuk dan godaan membelanjakan penghasilan mereka yang cenderung konsumtif pada awal bulan, di sisi lain kehidupan sosial dan bermasyarakat kita, pada akhirnya harus di benturkan oleh satu teologi sejarah kelompok tertentu yang siap menjadi nestapa bagi generasi yang sedang bertahan hidup untuk menghadapi hari esok.
Seperti halnya deretan rumah susun serta rumah padat yang lahannya telah terganti oleh bangunan bertingkat, demi keperluan-keperluan komersil pemangku kepentingan yang tega mengorbankan jeritan penghuninya. Harus dengan apa mereka dapat berlindung dari sengatan terik matahari dan bunyi berisik dari dalam perut yang tak kunjung berhenti?
Nampaknya, pandangan tersebut penting untuk kita ingat kembali dengan pemikiran yang pada akhirnya perlu untuk hadirkan kembali saat ini, sesuai dengan kemungkinan situasi buruk yang akan kita hadapi di depan.
Hannah Arendt, seorang pemikir sosial politik Jerman pada 1964 pernah menulis sebuah laporan berjudul "Eichmann in Jerussalem" yang berisi tentang peristiwa sejarah perang dunia ke-2 pada tahun 1936, yakni saat rezim totaliter Nazi dibawah kekuasaan Adolf Hitler berkuasa.
Dalam laporan tersebut, Arendt, mempublikasikan sebuah kekejaman penguasa dengan menggunakan perangkat administrasi untuk memasukan warga negara Jerman ke dalam 2 bagian yakni berdasarkan ideologi serta agama atau sekte yang dianutnya untuk kemudian mereka digiring kedalam Auschwitz (kamp konsentrasi).
Dalam bagian pertama (Golongan IV-A), yakni orang-orang yang terasosiasi ke dalam ideologi liberalisme, anarkisme dan komunisme, serta pada bagian kedua (Golongan IV-B), ialah orang-orang yang memiliki darah keturunan maupun penganut agama atau sekte yahudi, protestan, serta freemason.
Lantas, pada waktu yang telah ditentukan selang pipa yang terhubung dengan tabung berisi gas beracun siap disemprotkan untuk memenuhi udara di seluruh ruangan sempit Auschwitz, sehingga ribuan manusia harus terenggut nyawanya sesuai dengan instruksi orang-orang yang memiliki otoritas di bawah rezim Nazi.
Pada dasarnya bentuk kekuasaan dari militerisme adalah khas bagi sebuah rezim totaliterian yang sangat jauh dari kondisi-kondisi kemanusiaan. Itulah sebabnya totaliterianisme serta militerisme akan cenderung membendung suatu perbedaan dari kondisi mendasar bagi umat manusia untuk melakukan tata kelola bermasyarakat dengan fikiran yang hanya bisa didapatkan dari proses dialog, diskusi, musyawarah dan perdebatan rasional.
Kesetaraan dan Keadilan Warga Negara di Republik
Sebagai sebuah awal ide yang berkembang pesat di kancah Eropa atau lebih tepatnya di Yunani, republikanisme hadir atas sebuah pencapaian pemikiran besar untuk menjawab persoalan tata negara dengan sebuah azas kesetaraan tanpa adanya kelas, golongan atau kelompok tertentu yang lebih tinggi atau rendah derajatnya. Ide tersebut telah diterapkan sebagai sebuah cita-cita yang perlu kita lanjutkan ke dalam tingkah laku dan kehidupan berwarganegara.
Prasyarat republikanisme akan lenyap begitu saja apabila rakyat dalam res publica[2] dirundungi rasa takut atas sebuah aturan dan stratifikasi sosial yang menjulang, apabila sebuah kekuasaan jatuh ke tangan yang salah. Inilah sebabnya, militerisme serta totaliterianisme yang akrab dengan hierarki dan otoritas opresif sangat jauh dari nilai-nilai kesetaraan, apalagi keadilan.
Atas dasar itulah, 'state of exception[3]' dari konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia harus kita lawan dengan upaya konkrit serta konsisten yakni: Â Tolak kembali Dwi Fungsi TNI!
Daftar Pustaka
- Hannah Arrendt, "Eichmann in Jerusalem A Report On The Banality of Evil" Â 1964, New York : The Viking PresssÂ
- Martin Suryajaya, "Sejarah Pemikiran Politik Klasik Dari Prasejarah Hingga Abad Ke 4-M" 2016, Tangerang : CV. Marjin KiriÂ
- Robertus Robet, "Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx Sampai Agamben" 2014, Tangerang : CV. Marjin Kiri
[1] Istilah Sosiologis yang merujuk pada struktur atau pranata sosial yang inkonsisten.
[2] Secara Leksikal, dalam Bahasa Yunani res artinya kepentingan dan publica artinya komuni yang bersifat umum dan dapat diasosiasikan dengan kelompok sosial. Res Publica ialah kepentingan yang mencakup khalayak luas
[3] Istilah yang dipopulerkan oleh Filsuf dan Sosiolog Italia bernama Giorgio Agamben untuk merujuk pada suatu kondisi penundaan hukum melalui hukum yang diciptakan oleh negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H