Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meretas Lanskap Hak Asasi Manusia

3 Juni 2017   05:49 Diperbarui: 3 Juni 2017   08:49 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain mengkaji niai-nilai demokrasi dalam budaya politik lokal masyarakat, masalah lain yang menarik diamati adalah masalah pengaruh demokratisasi saat terjadi transformasi sistem politik pasca gerakan reformasi tahun 1998 terhadap budaya politik lokal masyarakat. Seperti diketahui, pasca Orde Baru tahun 1998 terjadi penataan format sistem politik Indonesia baru dengan mekaisme politik yang mengikutinya. seluruh lembaga dan proses politik di era reformasi berusaha diformulasikan kembali sesuai dengan pilar-pilar demokrasi universal.

Mengapa mesti berbicara tentang hak sipil dan sosial di Indonesia serta Hak Asasi Manusia ?

Perbincangan kita mulai dari Soekarno, Berikut saya kutip :

‘’Saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya. buanglah segala faham tentang individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam undang-undang dasar kita yang dinamakan”rights of the citizens” yang seperti dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.

‘‘…Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droits de I’homme et du citoyen”itu tidak bisa menghilangkan kelaparan orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka, oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada paham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap tiap pikiran, tiap-tiap paham individualism dan liberalisme dari padanya”.

Pendapat tersebut menemui titik paradoks ketika kita benturkan dengan tesis utama teori T.H Marshall seorang sosiolog Britannia, yang menyejajarkan konsep citizen atau waganegara sebagai Gentleman. Gentlemansendiri merupakan konsep kewarganegaraan antara artisans citizens dengan non-artisan citizens. Paradoksnya, Generalisasi T.H Marshall dengan anatomi dual oposisi biner dalam kewarganegaraan ialah menyejajarkan sekaligus membelah warganegara menjadi dua bagian. Berbeda dengan Soekarno yang menginginkan konteks kewarganegaraan atas azas kerakyatan dalam faham gotong-royong,tolong menolong dan keadilan sosial dibubuhkan dalam ruang serta realitas waktu yakni identitas nation. Pendapat Marshall dapat menemui titik temu dengan pandangan Soekarno ketika berbicara tentang Social Equality sebagai kebutuhan kewarganegaraan atau kesetaraan hak sosial yang menjadi tanggungan negara. Namun seraya dengan itu, tinjauan konseptual menemui titik pisahnya pada konteks dikotomis citizens sebagai artisans dan non-artisans tersebut. Yakni, klasifikasi atas kelas-kelas pekerja yang dibedakan dari yang terampil dengan yang tidak terampil. tentunya perlu tinjauan ulang ketika akan menganalisa kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari pelbagai lapisan sosial dan konteks ruang yang berbeda dengan masyarakat Eropa.

Teori Kritis Kebudayaan Sebagai Simpul Studi Hak Asasi Manusia : Ideology,Diskursus dan Gincu Neoliberalisme Menurut Costas Douzinas.

 Minimnya tokoh-tokoh teori kritis yang absen untuk membicarakan hal tersebut serta hegemony intelektual adalah sebab mengapa cukup sulit dan merupakan tugas beresiko ketika harus membicarakan konsep hak asasi manusia secara mendalam dari bingkai teori kritis kontemporer atau dalam aras studi kebudayaan sebagai lokus studi interdisipliner. Perbincangan tersebut tentunya akan melampaui perdebatan mengenai hak asasi manusia yang ramai diperdebatkan akhir-akhir ini bagi kalangan relativisme maupun kalangan universalisme yang penulis kira tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar dari hak asasi manusia itu sendiri secara lebih dalam. Oleh karena itu, perkenankan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembaca untuk mengulas diskursus hak asasi manusia yang mendasar sebagai simpul akhir tulisan ini melalui kerangka berfikir tradisi teori kritis. Berikut saya kutip pendapat Costas Douzinas seorang pemikir dan politikus yunani yang memberikan alternative pandangan beserta solusinya :    

“Human Rights have only a paradox to offer which is that becoming the linguafranca of the neo imperial state : such as non profit organizations, multinational conglomerates, and individual perpetuate a kind of propaganda sensationalism in which, paradoxically, pseudo-beneouvalent acts of war or peace alike are waged named of human rights. it’s not enough and too simply. Human rights should becoming a tools for new society”

Dalam ilustrasi Douzinas, hak asasi manusia selain menjadi gincu dari ideology neoliberal pasca perang dingin, ia juga menggambarkanya sebagai senjata ideology mutakhir dari negara amerika yang ia kritik sebagai suatu fikiran yang tak bernilai. Sebagai jawaban Douzinas menyarankan mengembalikan diskursus konseptual mengenai hak asasi manusia pada tradisi teori kritis yakni teori dan praktik dengan mengembalikan nilai-nilai essensial mengenai hak asasi manusia kembali kepada kekayaan budaya masyarakat sehingga menjadi alat yang pantas untuk bertahan hidup bagi masyarkat dibelahan dunia ketiga serta sebagai ragi pembaharuan masyarakat dengan praktik gerakan sosial baru yang terus berupaya skeptis terhadap institusi-institusiyang gencar melakukan promosi gincu-gincunya tanpa harus terjebak kedalam relativisme kebudayaan.Demikianlah…[]

Tegal-Jakarta, 15 Mei 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun