“it is necessary to examined, in a detailed way. The Contemporary theory of evil, the ideology of human rights, the concept of democracy. it’s necessary to show that nothing there leads in the direction of the real emancipation of humanity. it is necessary to reconstruct rights. in everyday of life as in a politics. of the truth and of the good. Our ability to once again have real ideas and real projects depends on it”
–Alan Badiou
Pernyataan tersebut, penulis kira patut untuk dijadikan alasan serta landasan filosofis awal untuk mengupas dan mendorong kita lebih dalam mengenai persoalan apa yang disebut sebagai evolusi perihal persoalan hak asasi manusia khususnya di Indonesia. Berangkat dari argumentasi itu, berikut pada bagian selanjutnya akan dipaparkan secara sistematis sejarah dan soal mengenai hak asasi manusia sehingga menjadi studi yang sekiranya dapat dikategorikan sebagai tinjauan cukup serius terhadap upaya bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri untuk melakukan pembacaan mendalam beserta dengan konstelasi ciamiknya.
Evolusi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pada mulanya, dapat kita lacak bibit-bibit yang membicarakan kebebasan serta hak asasi manusia didalam suatu periode yang telah lampau yakni sebelum kemerdekaan Indonesia. Dari banyak sumbangsih pemikiran dan perbincangan tercatat karya-karya seperti ‘’habis gelap terbitlah terang” yang ditulis oleh R.A Kartini, kemudian karya-karya politik yang ditulis oeh H.O.S Cokroaminoto,Agus Salim,Douwes Dekker,Soewardi Suryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ‘’Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul “Indonesia Merdeka”yang dibacakan didepan pengadilan Hindia-Belanda. Percikan-percikan tersebut bermuara dalam sebuah rumusan konstitusional yang berbuah dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia. Tak selesai disitu, perdebatan wacana mengenai Hak Asasi Manusia lebih menemukan titik diskursif yang lebih matang pada awal perdebatanya pasca terbentuknya BPUPKI. Malahan, menemukan hal yang menarik pada tahun-tahun berikutnya pula yakni di era sidang Konstituante (1957-1959) walaupun pada akhirnya mengalami kemunduran pasca dikeluarkanya dekrit 5 Juli 1959 Oleh Soekarno. Serta mengalami dinamika,pada titik yang nampak buruk bagi hak asasi manusia di tingkat konstitusi maupun di tingkat praktik ialah menemukan ‘kedunguan’ atau kondisi yang sangat mencerminkan penolakan dari apapun yang bersifat kebebasan yakni di era totalitarianism rezim Soeharto dengan pencorengan terhadap hak asasi manusia oleh ABRI dan Karya Pembangunan di Tingkat konstitusional serta pembunuhan hak-hak mengeluarkan pendapat dengan adanya tuduhan subversif bagi kelompok atau individu yang merongrong pada Rezimentasi 32 tahun Orde Baru beserta peninggalan warisanya, sehingga bagi aktivisme yang menyuarakan hak asasi manusia serta kebebasan dianggap mengancam keamanan negara, serta perlu dilenyapkan oleh penembak-penembak misterius utusan Soeharto. Dan, pada 1998 peristiwa terhadap penggulingan rezim tersebut menyemai kembali babak baru dari Hak-Asasi Manusia di Indonesia.
Mengapa mesti berbicara Hak Politik di Indonesia?
Sedikit kita tinjau perdebatan dan perbincangan mengenai ada atau tidaknya budaya politik demokratis di Indonesia yang telah menjadi konstelasi sejak lama. Bebagai pendapat yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun penelitian yang masih terbatas mungkin membuat kesimpulan yang berbeda. Setidaknya, ada dua pandangan berbeda yang dapat digeneralisasi.Pertama,budaya politik demokratis tidak memiliki akar dalam budaya lokal masyarakat. Kedua, nilai-niai demokrasi-dengan berbagai varianya-telah tumbuh sejak lama di Indonesia seiring dengan dinamika budaya lokal masyarakat. Kedua pandangan itu mencoba menawarkan hasil temuan maupun pengamatanya masing-masing.
Pendapat yang mencoba menawarkan bahwa dalam budaya asli masyarakat Indonesia demokrasi bukan merupakan sesuatu yang asing mengacu pada tradisi musyawarah-mufakat. Tradisi ini, dengan segala variannya, mengandung nilai-nilai demokrasi. Politik musyawarah-mufakat (asas kerakyatan) di sejumlah daerah di Indonesia telah berlangsung sejak berabad-abad sejak masyarakat hidup dalam sistem perkauman di zaman purba, yang terus berlanjut di zaman-zaman kerajaan hingga saat ini. seperti kehidupan masyarakat pedesaan Tradisi yang hidup dalam masyarakat agraris, yang disebut juga dengan tradisi berembug itu, bahkan sudah terlembagakan dalam bentuk unik seperti kerapatan nagari,rembug desa,musyawarah subak,dan forum-forum musawarah masyarakat di desa atauun daerah lainnya. Praktik demokrasi lainnya adalah tradisi pepe atau penyampaian pendapat (protes) yang dilakukan rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam. Ini adalah atikulasi demokrasi rakyat terhadap kekuasaan. Tradisi ini juga telah melembaga dalam kehidupan masyarakat tradisional masa lalu.
Sedangkan pedapat yang menyatakan bahwa budaya politik demokrasi tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia biasanya mengacu pada sejumlah karakteristik budaya di sejumlah daerah tertentu yang dianggap bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti masih kuatnya budaya feodalisme dan primordialisme (suku,agama,ras dan pengelompokan sosial lainyya yang dianut secara emosional). Budaya yang tidak kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi itu telah mengakar sejak dahulu dan masih bertahan hingga kini. Gejalanya dapat dilihat terutama dalam interaki antara rakyat dan penguasa atau antara bawahan dengan atasan, baik pada lembaga birokrasi tradisional, maupun modern di semua level!
Budaya ini dianggap sebagai warisan masa lalu yang telah berkembang sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang kemudian dipupuk dan dilestarikan oleh penguasa colonial demi mempertahankan penjajahan. Bahkan, budaya ini masih berlanjut dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang.
Dengan demikian, berdasarkan dua pandangan itu, tidaklah dapat disimpulkaan secara ekstrim bahwa budaya politik demokratis sama sekali tidak memiliki akar sosio-kultural dalam masyarakat Indonesia dan atau sebaliknya nilai-nilai hak politik demokratis telah hidup dan berkembang dalam budaya lokal masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Kesimpulan yang paling mendekati adalah bahwa budaya politik demokratis dan budaya yang tidak kondusif bagi demokrasi sama-sama dapat ditemukan di tengah-tengah budaya lokal masyarakat Indonesia secara variatif.
Selain mengkaji niai-nilai demokrasi dalam budaya politik lokal masyarakat, masalah lain yang menarik diamati adalah masalah pengaruh demokratisasi saat terjadi transformasi sistem politik pasca gerakan reformasi tahun 1998 terhadap budaya politik lokal masyarakat. Seperti diketahui, pasca Orde Baru tahun 1998 terjadi penataan format sistem politik Indonesia baru dengan mekaisme politik yang mengikutinya. seluruh lembaga dan proses politik di era reformasi berusaha diformulasikan kembali sesuai dengan pilar-pilar demokrasi universal.
Mengapa mesti berbicara tentang hak sipil dan sosial di Indonesia serta Hak Asasi Manusia ?
Perbincangan kita mulai dari Soekarno, Berikut saya kutip :
‘’Saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya. buanglah segala faham tentang individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam undang-undang dasar kita yang dinamakan”rights of the citizens” yang seperti dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.
‘‘…Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droits de I’homme et du citoyen”itu tidak bisa menghilangkan kelaparan orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka, oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada paham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap tiap pikiran, tiap-tiap paham individualism dan liberalisme dari padanya”.
Pendapat tersebut menemui titik paradoks ketika kita benturkan dengan tesis utama teori T.H Marshall seorang sosiolog Britannia, yang menyejajarkan konsep citizen atau waganegara sebagai Gentleman. Gentlemansendiri merupakan konsep kewarganegaraan antara artisans citizens dengan non-artisan citizens. Paradoksnya, Generalisasi T.H Marshall dengan anatomi dual oposisi biner dalam kewarganegaraan ialah menyejajarkan sekaligus membelah warganegara menjadi dua bagian. Berbeda dengan Soekarno yang menginginkan konteks kewarganegaraan atas azas kerakyatan dalam faham gotong-royong,tolong menolong dan keadilan sosial dibubuhkan dalam ruang serta realitas waktu yakni identitas nation. Pendapat Marshall dapat menemui titik temu dengan pandangan Soekarno ketika berbicara tentang Social Equality sebagai kebutuhan kewarganegaraan atau kesetaraan hak sosial yang menjadi tanggungan negara. Namun seraya dengan itu, tinjauan konseptual menemui titik pisahnya pada konteks dikotomis citizens sebagai artisans dan non-artisans tersebut. Yakni, klasifikasi atas kelas-kelas pekerja yang dibedakan dari yang terampil dengan yang tidak terampil. tentunya perlu tinjauan ulang ketika akan menganalisa kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari pelbagai lapisan sosial dan konteks ruang yang berbeda dengan masyarakat Eropa.
Teori Kritis Kebudayaan Sebagai Simpul Studi Hak Asasi Manusia : Ideology,Diskursus dan Gincu Neoliberalisme Menurut Costas Douzinas.
Minimnya tokoh-tokoh teori kritis yang absen untuk membicarakan hal tersebut serta hegemony intelektual adalah sebab mengapa cukup sulit dan merupakan tugas beresiko ketika harus membicarakan konsep hak asasi manusia secara mendalam dari bingkai teori kritis kontemporer atau dalam aras studi kebudayaan sebagai lokus studi interdisipliner. Perbincangan tersebut tentunya akan melampaui perdebatan mengenai hak asasi manusia yang ramai diperdebatkan akhir-akhir ini bagi kalangan relativisme maupun kalangan universalisme yang penulis kira tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar dari hak asasi manusia itu sendiri secara lebih dalam. Oleh karena itu, perkenankan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembaca untuk mengulas diskursus hak asasi manusia yang mendasar sebagai simpul akhir tulisan ini melalui kerangka berfikir tradisi teori kritis. Berikut saya kutip pendapat Costas Douzinas seorang pemikir dan politikus yunani yang memberikan alternative pandangan beserta solusinya :
“Human Rights have only a paradox to offer which is that becoming the linguafranca of the neo imperial state : such as non profit organizations, multinational conglomerates, and individual perpetuate a kind of propaganda sensationalism in which, paradoxically, pseudo-beneouvalent acts of war or peace alike are waged named of human rights. it’s not enough and too simply. Human rights should becoming a tools for new society”
Dalam ilustrasi Douzinas, hak asasi manusia selain menjadi gincu dari ideology neoliberal pasca perang dingin, ia juga menggambarkanya sebagai senjata ideology mutakhir dari negara amerika yang ia kritik sebagai suatu fikiran yang tak bernilai. Sebagai jawaban Douzinas menyarankan mengembalikan diskursus konseptual mengenai hak asasi manusia pada tradisi teori kritis yakni teori dan praktik dengan mengembalikan nilai-nilai essensial mengenai hak asasi manusia kembali kepada kekayaan budaya masyarakat sehingga menjadi alat yang pantas untuk bertahan hidup bagi masyarkat dibelahan dunia ketiga serta sebagai ragi pembaharuan masyarakat dengan praktik gerakan sosial baru yang terus berupaya skeptis terhadap institusi-institusiyang gencar melakukan promosi gincu-gincunya tanpa harus terjebak kedalam relativisme kebudayaan.Demikianlah…[]
Tegal-Jakarta, 15 Mei 2017.
Kepustakaan
Badiou,Alan”Ethics: An Essay on the Understanding of Evil”(London New York:Verso Books,2001)
K.M Rhona & Smith at.al. “Hukum Hak Asasi Manusia”(Yogyakarta:Pusham UII,2008)
Robertus Robet,Hendrik Boli Tobi.”Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan dari Marx sampai Agamben”(Tangerang : Marjin Kiri,2014)
R. Zuhro, Siti,Dkk,”Demokrasi Lokal Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal”(Yogyakarta : Ombak,2009)
Jurnal
R.J Coombe”Honing a Critical Cultural Studies of Human Rights”Communication and Critical/Cultural Studies.Vol.7:3(London and New York : Routledge,2007)
Yasmin Van Wilt”The Paradox of Human Rights : a Review of Human Rights and Empire : The Political Philosophy of Cosmopolitanism”(Abingdon:Routledge Cavendish,2007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H