Sebenarnya warung ibu saya juga masih terbilang cukup sepi meskipun sudah memiliki banyak pelanggan. Ini dikarenakan seperti yang saya ungkapkan didepan bahwa orang-orang cenderung takut keluar dan juga karena kondisi perekonomian yang menurun. Di kondisi perekonomian yang menurun ini, akhirnya daya beli masyarakat pun mulai berkurang.
Dalam berjualan di warung tersebut, ibu saya biasa menerima omset sebesar 300.000 rupiah perhari. Ini karena kami tinggal di desa dan ibu saya juga berjualan dilingkungan ini. Apalagi ditambah dimasa pandemi yang membuat daya beli masyarakat berkurang.
Selain menjalankan usaha kecil dengan membuka warung, ibu saya juga terkadang menerima orderan berupa catering. Ia biasa menerima dari beberapa kenalannya entah itu saudara-saudara jauh, tetangga, teman sekelas semasa sekolah ataupun kenalan lainnya. Usaha catering ini sebenarnya malah sudah dilakukan sebelum membuka warung.
Dalam usaha catering ibu saya biasanya menerima pesanan berupa ingkung ayam, paket kenduri, snack, paket ater-ater dan paket lainnya. Dalam usaha catering ini ibu saya biasanya mematok harga lebih rendah daripada harga pasar. Misalnya untuk ingkung sendiri biasanya di jual sekitar Rp.150.000,00 untuk ingkung ukuran besar lengkap dengan paketnya dimana di daerah saya untuk ingkung ukuran besar biasanya berharga Rp.180.000,00. Ini karena biasanya ibu saya hanya menerima pesanan dari orang yang dikenal sehingga harga yang diberikan adalah harga sahabat.
Hanya itu saja yang dapat saya ceritakan yaitu bagaimana ibu saya berusaha untuk membuka usaha di masa pandemi yang notabene orang-orang justru merugi saat ini. Semoga saja pandemi segera berakhir sehingga kita yang membuka usaha bisa segera keluar dari kesulitan ini. Sekian dari saya terimakasih dan mohon maaf jika ada kesalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H