Hari-hari ini kasus virus Covid-19 semakin meningkat pesat. Apalagi diperparah dengan munculnya virus covid-19 varian terbaru yaitu virus covid-19 varian delta yang penyebaran virusnya semakin kuat dan lebih menjadi-jadi. Dan karena penyebaran virus yang baru ini kondisi seluruh sektor kehidupan di dunia semakin memburuk. Apalagi sektor ekonomi.
Dikala pandemi ini banyak sekali usaha yang gulung tikar. Entah karena mereka kesulitan dalam ekonomi atau karena orang-orang yang takut untuk keluar. Ini membuat penjual atau pengusaha mengalami sepi pembeli dan akhirnya memutuskan untuk gulung tikar. Namun banyak juga diantara orang-orang ini yang tidak mau menyerah dan masih berusaha untuk mempertahankan usahanya atau malah membuka usaha baru.
Salah satu orang yang masih berusaha untuk membuka sebuah usaha kecil adalah ibu saya. Ibu saya membuka usaha kecil-kecilan berupa warung makan. Warung makan ini hanya warung kecil dengan ruang yang hanya berukuran 4x3 meter. Kecil bukan? Menu yang dijualpun hanya 3 menu yaitu soto ayam, lotek, dan juga ketupat tahu.
Salah satu alasan mengapa ibu saya membuka usaha adalah untuk membantu perekonomian keluarga. Karena jika hanya mengandalkan ayah saya untuk mengihidupi keluarga, saya kira untuk kehidupan sehari-hari tidak akan cukup. Maka dari itu ibu saya pun membantu keluarga.
Awalnya ibu saya dulu menyediakan konsumsi untuk proyek bangunan. Biasanya ia akan menerima pesanan dari pekerja proyek bangunan. Ibu saya dulu berteman dengan mandornya sehingga ibu saya pun bisa menyediakan konsumsi dan dibayar dengan uang yang cukup untuk menutupi kekurangan biaya hidup keluarga.
Kegiatan ibu saya sendiri berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dan pada akhirnya berhenti pada 5 bulan yang lalu. Ini karena ibu mandor tersebut sudah mengerjakan proyek di daerah lain sehingga ibu saya sudah tidak lagi menyediakan konsumsi.
Setelah ibu saya tidak lagi menyediakan konsumsi, kondisi keuangan mulai lagi memburuk. Karena tidak seimbangnya pengeluaran dan pendapatan ibu saya pun memutuskan untuk membuka warung kecil-kecilan. Ia berharap dengan membuka warung kecil-kecilan tersebut bisa menutupi kekurangan biaya dalam rumah.
Ibu saya mempersiapkan warung selama kurang lebih seminggu. Ia bersama ayah saya membuat alat-alat yang dibutuhkan sendiri, seperti etalase toko dan bahkan kursi dan meja serta kompor hanya mengambil dari rumah. Ini dikarenakan ibu saya ingin lebih hemat.
Dalam membuka toko pun ibu saya juga mengalami kendala. Meskipun menggunakan alat yang dibawa dari rumah ibu saya bisa dibilang kekurangan modal. Misalnya untuk menyewa toko atau membuat etalase, yang meskipun dibuat sendiri pastinya masih butuh modal. Ibu saya berkata bahwa ada alasan mengapa ia tidak ingin meminjam uang untuk modal. Ia tidak mau memiliki banyak hutang dan berusaha tidak membuat hutang.
Setelah ibu saya berhasil membuka warung ternyata itu tdak sebaik ekspetasinya. Pelanggan bisa dibilang sepi, karena pada saat pandemi orang-orang di daerah saya jarang keluar. Dan warung  ibu saya masih masih belum terkenal. Maklumlah karena itu adalah hari pertama berjualan di warung tersebut. Itu sudah biasa untuk orang-orang yang membuka toko jika pada hari pertama masih kurang laku kecuali toko tersebut memang cabang dari toko terkenal atau menerapkan diskon. Sebenarnya warung yang disewa ibu saya  berada di tengah-tengah pemukiman dan orang-orang masih mengenal ibu saya, jadi hanya setelah beberapa hari warung ibu saya akhirnya bisa mendapatkan cukup banyak pelanggan.
Selain pada awalnya sepi pelanggan masalah utama yang dihadapi ibu saya adalah tidak ada pasokan air. Lingkungan ibu saya berjualan adalah dilingkungan dekat Sekolah Dasar. Dulu orang-orang yang biasanya berjualan disana sering meminta air dari Sekolah Dasar tersebut. Namun kini sekolah dasar tersebut sepertinya terancam ditutup karena kurangnya murid disana. Dan karena pandemi yang sudah 1 tahun ini, serta penutupan sekolah, pasokan air pun akhirnya diputus. Karena tidak ada pasokan air, biasanya ibu saya mengambil air dari rumah yang lumayan dekat dengan jarak warung.
Sebenarnya warung ibu saya juga masih terbilang cukup sepi meskipun sudah memiliki banyak pelanggan. Ini dikarenakan seperti yang saya ungkapkan didepan bahwa orang-orang cenderung takut keluar dan juga karena kondisi perekonomian yang menurun. Di kondisi perekonomian yang menurun ini, akhirnya daya beli masyarakat pun mulai berkurang.
Dalam berjualan di warung tersebut, ibu saya biasa menerima omset sebesar 300.000 rupiah perhari. Ini karena kami tinggal di desa dan ibu saya juga berjualan dilingkungan ini. Apalagi ditambah dimasa pandemi yang membuat daya beli masyarakat berkurang.
Selain menjalankan usaha kecil dengan membuka warung, ibu saya juga terkadang menerima orderan berupa catering. Ia biasa menerima dari beberapa kenalannya entah itu saudara-saudara jauh, tetangga, teman sekelas semasa sekolah ataupun kenalan lainnya. Usaha catering ini sebenarnya malah sudah dilakukan sebelum membuka warung.
Dalam usaha catering ibu saya biasanya menerima pesanan berupa ingkung ayam, paket kenduri, snack, paket ater-ater dan paket lainnya. Dalam usaha catering ini ibu saya biasanya mematok harga lebih rendah daripada harga pasar. Misalnya untuk ingkung sendiri biasanya di jual sekitar Rp.150.000,00 untuk ingkung ukuran besar lengkap dengan paketnya dimana di daerah saya untuk ingkung ukuran besar biasanya berharga Rp.180.000,00. Ini karena biasanya ibu saya hanya menerima pesanan dari orang yang dikenal sehingga harga yang diberikan adalah harga sahabat.
Hanya itu saja yang dapat saya ceritakan yaitu bagaimana ibu saya berusaha untuk membuka usaha di masa pandemi yang notabene orang-orang justru merugi saat ini. Semoga saja pandemi segera berakhir sehingga kita yang membuka usaha bisa segera keluar dari kesulitan ini. Sekian dari saya terimakasih dan mohon maaf jika ada kesalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H