Mohon tunggu...
Hana Farhani Maulida
Hana Farhani Maulida Mohon Tunggu... Guru - Guru

Bagiku, menulis adalah cara untuk berbicara ketika lisan tak mampu lagi berkata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surga Aira

9 Agustus 2024   23:29 Diperbarui: 10 Agustus 2024   01:08 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bila Ibu tiada, surgaku berada di mana?"

Pertanyaan dari putri kecilku sebelum dirinya terlelap itu terus terngiang di telinga. Betapa dia sangat merindukan sosok seorang ibu. Ia tak pernah berjumpa dengan Ibunya, bahkan hanya secepat kedipan mata. Ibunya mengembuskan napas terakhir kala ia masih berada di alam kandungan. 

Segala upaya terus dokter coba untuk menyelamatkan nyawanya, pun doa tak henti terucap dariku dan sanak keluarga lainnya. Beberapa jam kemudian, tangisannya terdengar, semua yang ada di sana tak kuasa membendung air mata. Duka dan bahagia dirasakan bersama.


Putri kecilku, yang kuberi nama Aira, sama seperti nama ibunya, tumbuh menjadi anak yang cerdas dan ceria. Sebagai orang tua tunggal dan hidup jauh dari orang tua kucoba kerahkan segala tenaga untuk merawat dan menjaganya. Kucurahkan segala waktuku untuk dia, bahkan aku rela melepas pekerjaanku demi mendampingi pertumbuhannya. Air susu ibu tak pernah ia rasa, pun belaian lembut dari ibunya. Cukuplah ia tak pernah merasakan kehangatan seorang ibu, jangan sampai kebersamaan dengan ayahnya ikut sirna.

Aira kini menginjak tingkat dua Taman Kanak-Kanak, di usianya yang genap lima tahun di salah satu sekolah yang tak jauh dari rumah. Putri kecil itu selalu membuatku bangga, dengan kebersahajaan dan kebaikan hatinya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Ia sama persis dengan mendiang ibunya. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri, patuh, dan tidak pernah rewel -yang tak pernah aku tahu ternyata selama ini ia menyimpan kegelisahan di hatinya.


Sepulang sekolah ia bercerita tentang peringatan Hari Ibu di sekolahnya, gurunya meminta semua murid untuk mengundang Ibunya. Akan ada berbagai lomba dan perayaan kecil lainnya. Ia yang masih belum mengerti apa-apa, dengan wajah lugunya, memintaku datang. Dengan riang, aku menyambut ajakannya.

Acara berlangsung dengan meriah, tanpa masalah, dan berjalan sebagaimana mestinya. Meski aku satu-satunya ayah tunggal yang datang. Orang tua murid lain sudah paham dengan kondisi kami, dan mereka semua bersikap baik kepada putriku. Atas itu, kuucapkan beribu terima kasih. 

Aira mengikuti lomba mewarnai bersamaku, kami berhasil menjadi juara satu. Aku mencium lembut pipinya ketika ia membawakan piala untukku bersama senyum yang amat bahagia. Aku adalah Ayah yang bodoh. Aku tak menyadari bahwa ada kecewa di hatinya. Air matanya memang tak jatuh, tetapi sorot matanya perlahan meredup seusai acara itu. Bukan karena ia tak datang bersama sang ibu, ia tumbuh dengan mengagumkan, paham kalau kehidupannya memang tak sesempurna teman-temannya. Ia amat mengerti tentang sesuatu yang tak mungkin ia miliki.

Seorang guru menutup perayaan Hari Ibu tadi dengan perasaan sukacita. Ia menceritakan secara singkat mengenai kisah seorang sahabat Rasul dengan mengutip sebuah hadist. Aira mendengarkan dengan saksama, ia memang selalu suka mendengarkan cerita.


Wahai Rasulullah! Aku ingin ikut dalam peperangan (berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla) dan aku datang untuk meminta pendapatmu." Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apakah kamu mempunyai ibu?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tetaplah bersamanya! Karena sesungguhnya surga ada di bawah kedua kakinya." (HR Nasa'i) 


Aku menitikan air mata demi mendengarnya, teringat orang tuaku yang berada jauh di luar kota. Tak menyadari bahwa ada hati kecil yang juga tergetar mendengarnya. 

Selepas pulang dari sekolah, ia tak banyak bicara, masuk ke kamarnya dan langsung tertidur. Hanya keluar saat makan malam tiba, tetap tidak banyak bicara dan hanya menjawab seperlunya.


Setelah salat isya, aku membacakannya sebuah cerita, kisah putri kerajaan di negeri dongeng. Aira sangat suka kisah negeri dongeng, bahkan ia pernah berkata padaku bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang seorang putri yang baik hati. Ah, dia lebih dari putri untukku, dialah ratu di kerajaanku. 

Namun, malam itu, Aira tak seantusias biasanya. Ia hanya memandang kosong ke langit-langit kamar, hanya tersenyum saat tiba di penghujung cerita. 


"Ayah?" ucap Aira setelah sekian lama.
"Iya, Sayang?"
"Kata Ibu Guru, surga berada di bawah kedua kaki Ibu. Benar, Ayah?" Aku mengangguk. Masih belum menyadari. Hening pun kembali tercipta.
Aku mengusap lembut kepalanya, sambil bersalawat, hingga kemudian ia kembali berkata, "Ayah, bila Ibu tiada, surga Aira ada di mana?" tanya putriku kecilku. 

Ia mengucapkannya dengan penuh kelembutan, tak merengek, apalagi merajuk. Ia benar-benar bertanya. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Mataku berkaca-kaca, berusaha menahan tangis. Aira sungguh tak memaksaku menjawab, ia bertanya dengan begitu polos. Bertanya untuk mendapatkan jawaban, bukan untuk menyudutkan. Tak beberapa lama, kudapati Aira tertidur pulas. Wajahnya tersenyum. Begitu tenang.


Malam itu aku berpikir keras, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Aira, khawatir nanti saat sarapan pagi atau kapan pun ia menanyakannya kembali. Namun aku tak kunjung menemukan jawabannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Ya Allah, tolong jangan limpahkan kesedihan pada putriku, jerit batinku.


Esok pagi, aku bangun terlambat dengan mata yang sembap. Entah semalam aku tertidur pukul berapa. Aku terperanjat ketika menyadari bahwa hari sudah terlalu siang dan Aira harus pergi ke sekolah. Aku segera keluar dari kamarku dan menuju kamar putriku. Aira masih terlelap. Aku membangunkannya perlahan. Namun, Aira tak kunjung terjaga. Tak biasanya. 

Aku terus membangunkannya, ia tetap tidak bangun. Kupegang kepalanya, khawatir ia sakit, tidak, tidak panas, justru sangat dingin. Jantungku berdebar amat dahsyat. Kuguncangkan pelan tubuh mungil putri kecilku, ia tak kunjung bangun. Ya Allah, ada apa? Akhirnya kuberanikan diri memeriksa napas dan denyut nadinya. Sungguh aku tak merasakan apa-apa. Hanya dingin. Dingin. Dingin. Dan selanjutnya air mata.

Senyuman Aira persis seperti senyum Ibunya lima tahun lalu. Begitu sejuk. "Ayah selalu bilang Ibu sudah berada di surga, dan Aira percaya. Kemarin Ibu guru bilang, surga berada di bawah kedua kaki Ibu, Aira juga percaya. Aira pamit Ayah, Aira ingin pergi menemui Ibu: surga Aira."

- ditulis pertama kali pada Februari, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun