Mohon tunggu...
Hanafi alrayyan
Hanafi alrayyan Mohon Tunggu... Penulis - Guru di sekolah

Sering menuturkan sisi-sisi kehidupan, kemudian mencoba mengambil pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kabinet Kerja Bukan Singkatan dari Keraton Jawa

27 Juli 2016   16:45 Diperbarui: 27 Juli 2016   16:58 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu pergantian menteri di Kabinet Kerja jilid II tuntas sudah terjawab. Pagi tadi, Presiden Jokowi mengumumkan 13 nama-nama yang menduduki posisi menteri tersebut.

Besar harapan masyarakat agar kedepannya kinerja para menteri tersebut bisa lebih baik lagi. Kita tentu tidak menghendaki bahwa pergantian posisi menteri ini merupakan bentuk transaksional dari sistem politik, namun kita berharap bahwa perubahan kabinet murni dilandasi dengan kualitas dan hasil kinerja.

Namun bagaimanapun, aroma transaksional itu sulit untuk ditutupi. Nama-nama semisal Wiranto, selaku Ketua Umum Partai Hanura yang menjadi koalisi pemerintah, menduduki posisi sebagai Menko Polhukam. Nama politisi Golkar, Airlangga Hartanto juga masuk dalam jajaran Kabinet Kerja menempati posisi Menteri Perindustrian. Hal ini terasa wajar, sebab dalam Munas Luar Biasa partai Golkar beberapa bulan lalu pernah menyatakan bahwa Golkar akan merapat menjadi koalisi pemerintah.

Namun dibalik adanya aroma transaksional itu, kita tentu menaruh harapan yang tinggi terhadap kinerja para menteri ini.

Harapan itu tersemai dari Menteri Perhubungan yang baru, Budi Karya Sumadi. Pekerjaan rumah bagi Budi adalah menata ulang sistem rekayasa lalu lintas ketika mudik.

Kita, bangsa Indonesia tentu sudah menjadikan mudik sebagai salah satu tradisi yang mengakar dalam budaya kita. Sudah berpuluh-puluhan tahun tradisi mudik, namun pemerintah agak masih kurang peka mencari solusi terbaik. Hampir setiap tahun mudik mengancam nyawa. Khusus untuk tahun ini, kemacetan parah di tol keluar Brebes (Brexit) menyebabkan puluhan orang meninggal disebabkan kondisi tubuh yang lemah karena terlalu lama di mobil.

Untuk Ibu Sri Mulyani, harapan terbesar bangsa Indonesia kepada sosok perempuan hebat ini adalah menstabilkan keuangan, dan menciptakan kondisi perekonomian yang stabil. Ketimpangan ekonomi telah lama Indonesia, angka menunjukkan bahwa 1% kaum elite menguasai 40% kekayaan negara.

Pun hal yang sama juga kita harapkan kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Isu-isu kemiskinan, minimnya lapangan pekerjaan menjadi pekerjaan rumah bagi Lukita.

Namun yang menarik adalah dipecatnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Jika kita melihat kinerja mantan rektor Universitas Paramadina selama ini, tidak ditemukan berita-berita negatif yang menimpa Anies. Bahkan beberapa minggu terakhir, himbauan menteri tentang mengantar anak sekolah di hari pertama mendapatkan reaksi yang positif dari masyarakat Indonesia. Ada apa dengan Anies ?

Kendati demikian, tugas berat menanti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy. Isu-isu pendidikan di Indonesia semakin hari semakin akut saja. Akut dari mengelola sistem kurikulum yang pas buat bahan ajar anak didik, dan akut dalam menangani karakter moral anak yang semakin amoral.

Sekali lagi, semoga tidak ada aroma transaksional dalam reshuffle kabinet ini. Sebab selama ini konsep demokrasi yang didefinisikan oleh Abraham Lincoln yang dipraktekkan di Indonesia semakin hari semakin jungkir balik.

Lincoln dulu mendefiniskan demokrasi goverment of the people, by the people, and for the people(pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), namun di Indonesia konsep ini terbalik menjadi goverment off the people(pemerintah terputus dari rakyat), buy the people(membeli rakyat), dan force the people(menekan rakyat).

Harapan selanjutnya dari Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Jokowi adalah murni bekerja semaksimal mungkin, dan semoga istilah Kabinet kerja itu bukan singkatan dari Kabinet Keraton Jawa (Kerja). Sebab dari berbagai biografi para menteri tersebut, menteri yang berasal dari suku Jawa masih mendominasi.

Jokowi harus memperhatikan isu ini, memang dalam bernegara, nasionalisme itu harus tetap dikedepankan daripada etnisitas. Namun jika kita memperhatikan tesis yang dikatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox(1994) menyatakan bahwa jika sebuah pemerintahan gagal menjinakkan isu-isu etnisitas, maka konflik antar etnis dalam negara tersebut sulit untuk dihindari. Pernyataan Naisbitt ini berkaca dari pengalaman kegagalan Yugoslavia dan beberapa negara di wilayah Eropa yang pecah menjadi beberapa negara disebabkan gagalnya menjinakkan isu etnisitas.

Terakhir, Selamat bekerja para Menteri yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun