Mohon tunggu...
Hanafi Izhar
Hanafi Izhar Mohon Tunggu... Lainnya - Penuntut Ilmu hingga akhir hayat

Senang ngopi dan berdiskusi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyikapi Polemik Pro-Palestina dan Silsilah Habaib di Indonesia

12 Agustus 2024   12:04 Diperbarui: 12 Agustus 2024   12:13 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekapur sirih

Dalam pembahasan kali ini saya ingin menyoroti dua fenomena ekspresi keagamaan dari masyarakat Indonesia yang sedang Viral yaitu fenomena tentang konflik palestina dan gugatan terhadap silsilah para habaib yang ada di Indonesa.

Dua fenomena tersebut banyak mendapat perhatian publik, lantaran terdapat sikap dan tindakan yang berbeda-beda di tengah kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Fenomena tersebut dapat di lihat telah berkembang menjadi suatu hal kontroversial. kemudian berlanjut menjadi polemik dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun sebagaimana judul, pembahasan pada artikel ini saya mencoba mengurai fenomena tersebut dalam konteks sosiologi, buat teman-teman yang tidak tahu, sosiologi secara sederhana merupakan pendekatan ilmiah untuk memahami hubungan antar sesama manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ilmu sosial bersifat murni lantaran melepaskan diri dari nilai-nilai. Maksudnya adalah ilmu sosial mencoba untuk mempelajari interaksi manusia dengan ‘apa adanya’ tanpa terikat nilai tertentu yang dapat mengarahkan interaksi atau fenomena yang akan di bahas dalam lingkup “benar” dan “salah”.

Mengapa demikian? Karena

1. Bukan ranah saya untuk berbicara pihak mana yang ‘benar’ dan ‘salah’,

2. Saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mendapatkan gambaran-gambaran tentang rantai aksi-reaksi, sebab akibat yang terjadi dalam sebuah fenomena kemasyrakatan sebagai suatu hal yang ‘apa adanya’ bukan ‘ada apanya’,

Oleh karena itu, saya kira dengan sosiologi, kita tidak sekedar menjadi ‘air yang mengair’ namun setidaknya kita tahu tentang “darimana” dan “kemana” air yang mengalir tersebut. Poin utamanya adalah bagaimana kita dapat mendudukkan fenomena-fenomena tersebut layaknya seorang wasit di lapangan sepak bola, yang dapat mengambil sikap terhadap pertandingan antara pihak kanan dan kiri dan tidak sekedar menjadi penonton di lapangan.

Fenomena Palestina dan Nasab Ba’lawi

Dalam topik ini saya kira kita tidak perlu perlu berbicara Panjang lebar tentang apa yang terjadi antara Negara Palestina dan Israel. Namun saya mengajak pembaca untuk melihat bagaimana dampak perselisihan tersebut kepada Masyarakat Indonesia. Secara historis Indonesia memang memiliki hubungan diplomatis terhadap Negara Palestina, karena Palestin adalah satu di antara negara-negara yang mendukung kemerdekaan. Kemudian dalam konteks politik, negara kita tercinta adalah satu di antara negara yang tegas menolak segala bentuk penjajahan, kolonialisasi hingga imperialisasi. Sebagai negara yang meredeka dari penjajahan masyarakat Indonesia sedikit banyaknya tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Negara Palestina saat ini. Dua hal ini saya rasa sudah cukup menggambarkan mengapa masyarakat Indonesia secara khusus bersimpati dan sikap yang supportif terhadap Negara Palestina disamping motif kemanusiaan dan keagamaan.

Di sisi lain, saya juga tidak akan membahas Panjang lebar tentang perdebatan atau gugatan terhadap validitas nasab habaib atau golongan ba’lawi yang ada di Indonesia. Secara sosial masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan penganut muslim terbesar. Bahkan secara kuantitas, jumlah penganut agama Islam di Indonesia mengalahkan jumlah muslim di Arab sebagai tempat kelahiran agama islam. Sebagaimana agama-agama lain yang memiliki nabi sebagai rujukan, masyarakat Indonesia juga mengidolakan Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaih. Kecintaan tersebut-pun diarahkan pada keturunan Nabi yang ada di Indonesia. Sehingga menjadikan mereka (para keturunan Nabi) tersebut menempati posisi tersendiri dalam hierarki sosial.

Adapun berbicara tentang palestin, tampaknya sikap supportif atau keberpihakan tersebut tampaknya berkembang sedemikian rupa hingga terkesan eksesif. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan ekspresi tersebut seakan-akan ‘memaksa’ pihak-pihak yang awalnya netral atau berlawanan untuk berganti haluan. Dalam buku Madilog kita mendapatkan gambaran pola kemasyarakatan layaknya sebuah bola yang ‘melantun’. Sebagai contoh ketika anda menjatuhkan bola dari tangan, maka bola akan melantun atau memantul kembali tergantung pada seberapa kuat anda menjatuhkan bola tersebut. Inilah yang kemudian dapat kita sebut sebagai sebab-akibat. Semakin keras bola dijatuhkan maka semakin keras pula bola akan memantul. Semakin kuat aksi yang ditunjukkan dari pihak tertentu maka semakin kuat pula reaksi yang diberlikan pihak yang berlawanan. Maka saudara sekalian jangan heran apabila ‘aksi bela palestin’ yang berlebihan akan mengundang ‘reaksi’ berlawanan yang berlebihan pula. Begitu pula dengan kecintaan dan ke-idola-an terhadap keturunan Nabi tampaknya diekspresikan secara berlebihan baik dari umat ataupun internal habaib yang mengglorifikasi-kan hal tersebut. Sehingga sebagaimana yang disebutkan di atas. ‘Lantunan’ keras tersebut kemudian menimbulkan ‘reaksi’ balik yang ‘keras’ pula.

Maka setidaknya ini akan menjawab pertanyaan ‘mengapa demikian’? dalam hal ini kita mendapati sebuah jawaban mengapa terdapat sejumlah anak yang menyamakan ‘ayam goreng’ dengan kondisi ‘anak-anak palestin’, sekaligus menjawab pula mengapa Coki Pardede dan Indah G tertawa terbahak-bahak ketika membicarakan produk minuman tertentu serta kita mendapati pula mengapa di sekarang ini terdapat pihak-pihak yang menggugat validitas silsilah keluarga Nabi tersebut sebagaimana karya Ilmiah yang di tulis oleh K.H Imaduddin terkait isu tersebut.

Pertanyaan selanjutnya ‘kemana’ kemudian fenomena tentang keberpihakan ataupun ketidakberpihakan ini akan berlanjut? Dalam kajian sosiologi terdapat sebuah teori tentang “Interaksionisme Simbolis” yaitu satu di antara teori sosilogis yang memusatkan perhatian terhadap interaksi antara individu dan kelompok. Goffman dan Blumer menjelaskan bahwa orang/individu tidak akan pernah menanggapi orang/individu lain secara langsung, namun hal tersebut tercipta oleh kontsruksi sosial tentang ‘bagaimana mereka membayangkan orang tersebut’.

Tindakan dan ucapan Coki pardede, Indah G dan sejumlah anak yang disebutkan sebelumnya dalam perspektif ‘pro-palestin’ adalah simbol dari keberpihakan terhadap penjajahan, meremehkan kemanusiaan dan sebagainya.  sebaliknya aksi-aksi yang diunjukkan oleh pihak ‘pro-palestin’ seperti pemboikotan dan pengusiran konsumen di gerai-gerai tertentu adalah simbol dari ‘pengekangan dan pemaksaan terhadap kebebasan berpendapat’. Selanjutnya dapat pula kita pahami bahwa ceramah dan tulisan dari KH. Imad adalah bentuk protes dari glorifikasi yang terjadi terhadap habaib serta ‘reaksi’ perlawanan terhadap sikap oknum-oknum dari kalangan habaib yang memanfaatkan budaya glorifikasi itu.

Di tinjau dari filsafat dialektika maka kedua hal tersebut adalah hukum atau pola kebermasyarakatan yang akan selalu ada dan berakhir pada bentuk pemahaman hingga masyarakat baru. Tesis-antitesis-sintesis, begitulah kiranya akhir dari perhelatan yang terjadi di tengah masyarakat. Maksudnya adalah, konflik, isu dan fenomena yang terjadi seputar palestina dan silsillah tersebut akan mengakibatkan perubahan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.

Dengan teori interaksi simbolis setidanya mengajarkan kita, bagaimana tindakan lahir dari pola piker yang terbentuk sesuai dengan pemahaman yang terbentuk dari lingkungan dimana individu tersebut berinteraksi. Lingkungan tersebutlah yang akan mewarnai pola piker individu. Contohnya Coki Pardede dan Indah G  sebagai komedian dan aktivis media sosial yang dalam tracknya merupakan seorang pemikir bebas. Hal yang serupa juga berlaku pada KH. Imad yang hidup di tengah-tengah keluarga cendekiawan dari kalangan ‘pribumi’ yang mulai ‘gerah’ dengan penyelewengan atas glorifikasi tersebut. Maka dari itu, setidaknya dengan sosiologi kita untuk tidak mudah menjustifikasi tindakan, perilaku hingga sikap seseorang.

Mau tidak mau, suka tidak suka, perhelatan atau konflik sosial akan selalu mengarah pada perubahan sosial yaitu entah itu pergeseran nilai-nilai, tradisi, hingga tindakan masyarakat. Fenomena di atas meruapakan contoh kecil dari dinamika yang terjadi di Indonesia. Adapun sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, dimanapun atau apapun pihak yang anda pilih akan selalu berdampak pada kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, setidaknya sebelum anda merujuk ke salah satu di antara dua pihak yang berselisih maka anda harus memikirkan secara matang tentang dampak yang mungkin timbul dari pilihan anda.

Adapun pilihan terakhir dan paling bijak ialah tidak mudah terikut ‘arus’ layaknya wasit di tengah lapangan. Anda harus terlebih dahulu mengetahui ‘aturan’ bermain dan mengawasi jalannya ‘permainan’ tersebut sebelum akhirnya anda menjatuhkan pilihan kepada pihak yang menurut ‘ukuran’ anda adalah ‘pemenang’ pertandingan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun