Mohon tunggu...
Hana RestuPratiwi
Hana RestuPratiwi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

Seorang pembelajar yang meyakini bahwa proses bertumbuh butuh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membedah Omnibus Law dengan Kacamata Habermas: Apa yang Salah?

14 Januari 2025   14:32 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Gelombang protes besar-besaran yang dilakukan buruh, mahasiswa, dan aktivis menunjukkan upaya masyarakat merebut kembali ruang publik. Demonstrasi ini mencerminkan keinginan untuk dialog yang lebih inklusif. Namun, respons pemerintah sering kali bersifat represif, mulai dari pembatasan informasi hingga tindakan keras terhadap demonstran.

Dalam teori Habermas, respons represif semacam ini justru mengikis legitimasi pemerintah. Ketika dialog tergantikan oleh kekerasan, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara menurun, memperburuk alienasi sosial.

Peran Media dalam Ruang Publik

Habermas memandang media sebagai elemen penting dalam ruang publik. Media seharusnya menjadi sarana diskusi yang netral dan menyediakan informasi yang seimbang. Namun dalam kasus Omnibus Law, media arus utama sering dianggap lebih mendukung narasi pemerintah daripada memberikan ruang pada kritik yang konstruktif.

Untuk menciptakan ruang publik yang sehat, media harus independen dan pluralistik. Ketika media terkooptasi oleh kepentingan ekonomi atau politik, masyarakat kehilangan platform untuk diskursus rasional.

Implikasi Sosial dan Ekonomi

Selain dampak langsung terhadap buruh dan lingkungan, Omnibus Law juga memperburuk ketimpangan sosial. Kebijakan yang disusun tanpa melibatkan masyarakat luas mencipatakan ketidakpercayaan terhadap institusi negara. Dari perspektif Habermas, ini mencerminkan kegagalan sistem untuk berinteraksi secara harmonis dengan dunia kehidupan.

Revitalisasi Ruang Publik

Perkembangan teknologi digital memberikan peluang untuk menciptakan ruang publik yang inklusif. Media sosial, misalnya, telah menjadi platform bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Namun, risiko seperti penyebaran infromasi palsu dan polarisasi opini tetap menjadi tantangan.

Habermas menekankan pentingnya pasrtisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Di Indonesia, ini dapat diwujudkan melalui forum diskusi, survei publik, dan konsultasi terbuka. Organisasi masyarakat sipil juga dapat memainkan peran sebagai jembatan masyrakat dan pemerintah.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun