"Nah, dari kalimat tersebut ada dua kata yang terasa paling kuat. Apakah itu?", tanya Ayah lagi.
Sekarang aku tidak perlu memejamkan mata lagi, dengan bangga aku jawab :
"Smile dan share !"
"Betul sekali", kata ayahku.
"Sekarang kamu bayangkan lagi ruangan yang kamu bilang penuh orang mabuk itu. Jika benar ada smile dan share di sana, benarkah ruangannya sekacau itu?", tanya Ayah lagi.
"Ruangan itu penuh dengan kehangatan, begitu aku rasa...", jawabku. Aku tiba-tiba terkenang smile dan share yang pernah aku alami bersama seseorang, tapi entah siapa itu.
"Wahh, kehangatan seperti apa yang kamu bayangkan?", tanya Ayah.
"Persahabatan !", jawabku dengan lantang. Dan tiba-tiba aku teringat Elysa.
Ayah hanya mengelus kepalaku, lalu meninggalkanku sendiri.
Sekarang aku mengerti. Elysa bukanlah sahabat yang aku kenal dari kemarin, tapi dari SD. Saat kami masih kanak-kanak, kemana pun selalu bersama. Kami main tanah, main boneka, dan main petak umpet bersama. Kami dulu suka sekali melihat capung di sore hari sambil menghitungnya satu persatu, dan kalau ada yang berwarna merah kami pasti akan ketawa ketiwi kegirangan. Bahkan saat duduk di bangku SMP, kami pernah terlambat sekolah bersama, kami di hukum bersama, juga sambil tersenyum-senyum berdua. Waktu berlalu begitu cepat, dan kami sudah menginjak dewasa, meski masih suka mempertengkarkan hal-hal sepele.
Jadi apa arti persahabatan sekarang?