“Permisi, apa Namie ada?”
“Dia sudah pergi dari jam enam. Apa ada pesan untuknya?”
Rin berpikir beberapa saat. “Aku rasa tidak,” jawabnya. Kemudian, ia menyadari ada hal menarik pada gadis yang sudah membukakannya pintu pagi ini. Ia memerhatikannya cukup lama sampai Nisae merasa tidak enak.
“Aku pergi dulu kalau begitu,” pamit Rin.
Apa yang dilakukan Namie sepagi itu? Atau, segelap itu? Di Jepang, matahari baru terlihat sempurna pukul sembilan pagi. Ini juga bukan hari senin. Ini hari minggu bahkan bertepatan dengan libur semester juga. Rin berpikir bahwa pada jam delapan pagi, seorang Namie masih bersantai di rumahnya. Maka, Rin bisa langsung menemuinya di rumah. Baiklah, jika kau akan menemui seseorang memang sebaiknya membuat janji terlebih dahulu.
Hari ini adalah hari di mana Rin akan menjalankan rencananya. Ia akan mengajak Namie keluar, tapi karena targetnya itu sudah tidak ada di rumah, ia keburu putus asa dan langsung kembali pulang. Namun, di seperempat perjalanan, ia berhenti di pinggir jalan. Ia teringat sesuatu.
Baka[3]! Aku lupa kalau punya nomornya, batinnya seraya merogoh ponsel di saku jeans. Tidak beberapa lama, panggilannya terhubung. Akan tetapi, si penerima telepon tidak mengangkat. Rin mencoba menelepon lagi.
“Halo.” Terdengar suara Namie di seberang telepon.
“Halo, kau di mana sekarang?” tanya Rin langsung pada intinya.
“Summimasen, dare desuka?[4]”
Hei, Rin, kau melupakan satu hal. Kau dan Namie bukanlah teman dekat. Kau saja belum pernah mengajaknya berbicara sedikit pun selama satu semester ini. Wajar saja ia tidak punya nomormu!