Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Broken Youth [Chapter 1: Secret]

28 April 2016   21:59 Diperbarui: 28 April 2016   22:12 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari dalam seminggu, Namie harus melawan seniornya (bukan tingkatan sabuknya, tapi umur orang yang lebih tua) di Karate sampai ia benar-benar tidak sanggup. Kalau cuma lebam, itu bukan masalah besar. Ia harus tetap melanjutkan pertarungan itu. Kata ayah, ia adalah anak yang kuat. Ditambah dengan kewaspadaan, dipastikan ia akan selalu memenangkan pertarungan.

Sebenarnya, peraturan di sanggar Karate tidak sekeras itu. Anggota hanya akan bertarung secara sungguh-sungguh saat akan kenaikan sabuk. Dan, lawannyapun disesuaikan dengan kemampuan. Tapi, ayah Namie membuat peraturan tersendiri bagi putrinya. Pada awalnya, pihak Karate menolak permintaan itu karena dinilai membahayakan, dan mereka tidak mau mengambil risiko. Namun, ayah Namie meyakinkan pihak Karate bahwa segala risikonya akan ia tanggung, dan tidak akan menuntut kalau terjadi hal fatal pada putrinya.

Beruntung, hal itu tidak pernah terjadi. Maka dari itu, pihak Karate masih menuruti kemauan ayah Namie. Tapi, di belakang, mereka selalu meminta maaf pada putrinya. Dan, karena keahlian Karate Namie juga sangat mumpuni, pihak Karate tidak segan-segan mempercepat kenaikan sabuk gadis berambut pendek itu.

“Aku sudah selesai.” Namie berdiri dari kursi, lalu mendorongnya sampai bagian duduknya masuk ke kolong meja.

Ayah dan ibu mengucapkan selamat belajar padanya. Sementara kakak laki-lakinya memandang datar. Kembarannya juga berkata saat ia sudah dipunggungi, “Kalau sudah selesai belajar, aku ke kamarmu, ya!”

***

“Namie-chan[2], wajahmu!” Teman-teman Namie terkejut saat si ketua memasuki kelas. Seingat mereka, dua minggu yang lalu, wajah Namie juga lebam, tapi kenapa sekarang wajahnya membiru lagi? Oh, apakah si ketua yang terkenal pendiam itu memang sangat ceroboh?

Ini kelima kalinya dalam satu semester wajah Namie lebam. Dan, saat teman-teman bertanya sebabnya, ia selalu menjawab karena terjatuh dengan senyum yang sangat meyakinkan. Ia ingin teman-teman percaya kalau seolah-olah memang seperti itu. Tapi, kau tidak bisa menyembunyikan bangkai karena baunya akan tercium. Mereka sebenarnya tidak percaya kalau itu hanya karena terjatuh. Memaksa Namie untuk berterus terang juga sudah, namun atas kelihaiannya berkilah, ia terbebas dari introgasi. Sekarang, mereka hanya pura-pura percaya saja. Mungkin, Namie punya privasi, dan mereka harusnya menghargai itu.

Saat wajahnya lebam, Namie memilih untuk masuk kelas mendekati jam masuk agar teman-temannya tidak bisa mencecarnya dengan rasa penasaran terlalu lama karena guru yang akan mengajar tentu akan menghalangi keinginan mereka. Lalu, saat gurunya juga bertanya, ia akan menjawab dengan jawaban yang sama, dan beres. Gurunya (mungkin) percaya lantas melanjutkan pelajaran kembali.

Tanpa Namie sadari, ada satu teman sekelasnya yang tidak pernah bertanya perihal muka lebamnya. Ia seakan tidak bersimpati sama sekali atas “musibah” yang menimpa si ketua kelas. Namun, dalam hati, ia sebenarnya merencanakan sesuatu yang akan ia lakukan saat liburan semester satu nanti. Tidak lama lagi, satu bulan dari sekarang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun