Dastan tergelitik untuk mendekati seseorang yang terduduk sendirian di sudut taman. Pasalnya, gadis yang tidak dikenalnya itu terlihat sedang frustrasi. Sudah beberapa kali ini ia berdiri dari duduknya lantas mondar-mandir seperti setrika. Terduduk lagi, menggigit jari-jarinya secara bergantian. Dan, aksi terakhirnya yang berdiri di belakang bangku taman lalu membungkukkan badan, membuat Dastan semakin yakin untuk melancarkan niatnya.
Gadis itu tetap pada posisinya. Dastan berinisiatif untuk menyentuh pundaknya, kemudian memberi pertolongan yang tersirat dalam sebuah pertanyaan, "Maaf, ada yang bisa kubantu?"
Seraut wajah lusuh dengan sorotan mata yang sayu karena habis menangis yang Dastan dapatkan, seakan-akan menjadi jawaban atas pertanyaannya. Ya, gadis itu sangat membutuhkan pertolongannya. Ia pun mengajaknya duduk kembali.
"Apa kau sedang ada masalah?"
"Tidak, bukan masalah. Lebih tepatnya aku tersesat."
Dastan terkikik dalam hati. Ia juga sama seperti gadis itu yang tidak tahu arah. Makannya, ia menunggu temannya menjemput sembari bersantai di taman yang baru dikunjunginya ini.
"Kenapa kau terlihat sefrustrasi ini? Apa tidak ada yang tahu jalannya?"
Gadis itu berdehem. "Ya, tidak seorang pun di dunia ini yang tahu." Ia memberi jeda, lalu melanjutkannya kembali. "Bahkan, Google Maps atau GPRS sekali pun tidak tahu."
Ini pasti sebuah lelucon yang berbumbu teka-teki. Jangankan paham dengan perkataan gadis itu barusan, mengerjakan teka-teki silang saja Dastan tidak mahir. Singkatnya, ia payah dalam hal ini. Mungkin, bersikap apa adanya dengan mengatakan tidak tahu akan lebih membuatmu terlihat "normal" ketimbang berusaha menjawab, tapi, malah membuatmu konyol karena tidak masuk akal.
"Memangnya kamu tersesat di mana?"
"Di antara himpitan dan kesabaran."
Dastan makin tidak mengerti. Tapi, yang jelas, gadis ini sedang dihadapkan pada dua pilihan karena kata "di antara" sudah cukup menjadi clue atas keadaan dilematis itu. Ia pun tersenyum masam. Kebetulan sekali ia sore ini bertemu seseorang yang senasib dengannya?
"Memilih itu susah, ya. Satu dari dua sekali pun. Tapi, hati yang tenang pasti bisa melakukan pilihan dengan baik."
Gadis itu hendak memberi tanggapan. Akan tetapi, Dastan sudah keburu berbicara lagi. "Aku terancam berhenti kuliah karena ayahku, tulang punggung keluarga, meninggal. Pilihannya ada dua. DO lalu mencari kerja, atau cuti untuk kerja dengan segala kosekuensinya, lalu melanjutkan kuliah lagi."
"Kurasa, kamu memilih yang kedua. Pilihan yang tepat." Gadis itu tersenyum. "Sayangnya, apa yang menjadi tebakanmu tadi kurang tepat. Aku tidak sedang dihadapkan pada pilihan."
"Lalu?"
"Kamu nanti akan tahu jika melihat kesempatan di depan matamu, tapi kamu tidak bisa menggapainya karena suatu hal."
---FIN---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H