“Semoga saja, teman. Kurasa dia anak yang kuat. Aku yakin, kalau keadaan ini sudah usai, dia dan orangtuanya pasti akan mendatangimu lagi. Oh, tidak, membantumu juga.” Kali ini, aku bermaksud menurunkan kadar emosinya. Kulihat ia mulai tenang setelah kuberi harapan.
Berbicara tentang harapan, kurasa agar itu terwujud adalah berdoa dan juga berusaha. Lalu, apakah dengan hanya berdoa saja harapanku dan juga teman sejak kecilku ini akan terwujud? Oh, Tuhan, inginku berbicara pada penguasa negeri ini atau pemimpin daerah ini agar membuat hujan buatan. Kalau hanya menunggu hujan sungguhan, korban akan terus berjatuhan. Oh, manusia jahat… Kalau saja kalian tidak bertindak bodoh sampai-sampai merusak bumi ini dengan kebimbangannya dalam menurunkan hujan atau mengeringkan air dan tanah, pasti keadaan ini tidak akan terjadi.
Ironis, dengan tinggiku yang lebih dari lima meter ini, aku hanya bisa melihat asap pembakaran hutan yang tidak bertanggungjawab itu meluas sampai ke negara tetangga. Kejam, ini kejam sekali. Mereka bahkan tidak kenal kau, wahai penjahat! Tapi, mereka harus menerima musibah yang kau buat itu! Aku tidak bisa menyalahkan angin sebagai kurir asap itu. Karena, ia memang ditakdirkan tidak bisa berdiam di satu tempat saja.
“Ngomong-ngomong, sebenarnya sekarang sudah musim penghujan, kan?”
“Benar, seharusnya!,” jawabku. Aku terdiam beberapa saat kemudian memberikan semacam kesimpulan. “Teman, kurasa kejadian ini seperti efek domino. Manusia-manusia jahat itu merusak bumi, musim tidak keruan, kemudian penjahat-penjahat itu memanfaatkan keadaan dengan membakar hutan untuk perluasan lahan, ya, untuk segi komersil.”
“Bagaimana kau bisa tahu sejauh itu?” Tanya temanku dengan penasaran.
“Itu mudah saja. Aku tahu dari orang-orang yang ada di depanku. Selain memadu kasih, mereka juga membicarakan banyak hal. Ya, aku belajar dari mereka.”
Daun-daun temanku bergoyang. Ya, inilah tanda bahwa kami—pohon sedang tertawa terbahak-bahak. Kalau manusia, yang kutahu, mereka akan membuka mulut mereka, mengeluarkan suara “hahahaha”, lalu memegangi perut mereka yang mengalami tremor.
“Kenapa kau tertawa, teman? Kau memang selalu bahagia saat orang-orang meringankan bebanmu. Sementara aku, aku memainkan peran dan juga mendengarkan apa yang orang-orang katakan. Kalau menonton, itu sekadar bonus.”
Temanku berhenti tertawa, kemudian, mimik wajahnya berubah serius. “Apa kau merasa terbebani?”
“Tidak, tidak sama sekali. Kita sudah punya takdir masing-masing, bukan? Kau punya buah yang enak dan itu membuat orang-orang bahagia saat memakannya. Sementara aku, karena tubuhku yang besar dan daunku yang banyak, orang-orang bahagia karena merasa sejuk.”