Jika penduduk sebuah negara hanya sekadar kaya secara materi, maka mereka pastilah akan membel kendaraan pribadi dan menggunakannya sehari-hari. Makin banyak penduduk, makin banyak kendaraan pribadi. Polusi pun bertambah, kemacetan pun bertambah, karena rasio jumlah penduduk dan jumlah kendaraan berbanding lurus, dan itu tidak sehat.Â
Emisi dan kerugian lingkungan yang diakibatkan kendaraan pribadi terlalu masif dan tidak efisien dengan keperluan bertransportasi.
Bayangkan jika kemudian setiap penduduk mau memakai kendaraan publik. Mau berdesak-desakan di bus atau di kereta, asal tentu saja kualitas dari kendaraan pubik tersebut baik. Dengan begitu, proses transportasi pun jadi lebih hemat, efisien, dan ramah lingkungan.
Bayangkan jika ada 660 orang mau mencapai tujuan tertentu memakai mobil, dan tiap empat orang mengendarai satu mobil, maka akan ada 165 mobil. Sementara kalau 660 orang itu mau naik kereta bersama, maka hanya akan ada satu kereta yang berjalan. Jauh lebih hemat, efisien, dan ramah lingkungan.
Di beragam negara maju, kereta adalah ujung tombak transportasi massal. Terutama Jepang, dengan kereta cepatnya yang melegenda. Dari mulai kereta antar kota hingga kereta komuter dalam kota, Jepang pasti punya.
Begitupun negara-negara maju lainnya seperti China dan Eropa. Orang kaya dan miskin bisa bejubel demi naik kereta, bukan karena mereka tidak bisa punya mobil, tapi karena mereka tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Semoga ke depannya, lebih banyak lagi alat transportasi massal dibangun di Indonesia. Dari mulai kereta KAI, lalu MRT dan LRT, semua adalah bukti bahwa transportasi massal adalah jawaban atas kebutuhan transportasi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H