Anak muda SMA yang rata-rata tentu masih mengalami krisis identitas dan merasa haus pengakuan, lantas menganut baik-baik budaya premanisme ini. Lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.
 Hingga pada suatu masa tertentu, dinas terkait di Yogyakarta mengeluarkan kebijakan untuk menyeragamkan semua seragam SMA di kota ini. Artinya, tidak ada lagi logo sekolah yang terlalu mencolok di lengan kanan, semuanya sama berbunyi "Pelajar Kota Yogyakarta". Konon, kebijakan ini cukup ampuh. Insiden klitih mulai berkurang dan bahkan hampir punah di akhir tahun 2011.
Namun lambat-laun, klitih kembali terjadi dengan pola yang sungguh berbeda. Klitih tidak lagi terjadi siang atau sore hari di jam pulang sekolah, namun terjadi di malam atau pagi buta. Pelakunya tidak lagi mengenakan seragam sekolah, namun baju biasa dan membaur dengan masyarakat sekitar. Mereka pun melakukan klitih dengan motif yang berbeda: menjambret, merampok, hingga membunuh. Sayangnya, identitas si pelaku kadang juga masih sama, anak muda pelajar masih bau kencur.
Kejadian demi kejadian pun terjadi, namun ada tiga kejadian besar yang cukup besar dan menyita perhatian:
Pertama, kejadian di daerah sekitar Jalan Monjali pada pukul lima pagi. Korban adalah seorang perempuan (mengendarai motor) dijambret tasnya oleh dua orang pemuda (yang juga mengendarai motor). Beruntung, perempuan itu berani mengejar, menabrak motor pelaku, dan akhirnya pelaku tertangkap.
Kedua, pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Ketiga, pembacokan terjadi di dekat Mirota Kampus UGM. Korban tewas yang diketahui merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM atas nama Dwi Ramadhani Herlangga. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur.
Kejadian terakhir menjadi pembicaraan paling santer. Sebab sebelum kejadian, korban baru saja membagikan sahur gratis kepada orang-orang sekitar. Sayang, di saat dia bikin aksi mulia, pada saat itulah dia harus meregang nyawa pula.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa klitih sudah bukan lagi kenakalan remaja dengan krisis identitasnya lagi. Namun, sudah bertransformasi menjadi kejahatan kriminal yang serius. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menanggapi ini, tentu harus jadi perhatian tersendiri.
Yogyakarta dengan semangat pendidikannya yang tinggi, seharusnya bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Ribuan pelajar dari berbagai penjuru daerah di Indonesia sudah sering datang ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Bukan saja menjadi destinasi edukasi, Yogyakarta bahkan bisa menjadi tujuan wisata pendidikan.