Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klitih, Dari Krisis Identitas hingga Kejahatan Serius

11 Desember 2018   05:51 Diperbarui: 5 Februari 2020   19:02 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak muda SMA yang rata-rata tentu masih mengalami krisis identitas dan merasa haus pengakuan, lantas menganut baik-baik budaya premanisme ini. Lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang dapat dibanggakan.

 Hingga pada suatu masa tertentu, dinas terkait di Yogyakarta mengeluarkan kebijakan untuk menyeragamkan semua seragam SMA di kota ini. Artinya, tidak ada lagi logo sekolah yang terlalu mencolok di lengan kanan, semuanya sama berbunyi "Pelajar Kota Yogyakarta". Konon, kebijakan ini cukup ampuh. Insiden klitih mulai berkurang dan bahkan hampir punah di akhir tahun 2011.

Namun lambat-laun, klitih kembali terjadi dengan pola yang sungguh berbeda. Klitih tidak lagi terjadi siang atau sore hari di jam pulang sekolah, namun terjadi di malam atau pagi buta. Pelakunya tidak lagi mengenakan seragam sekolah, namun baju biasa dan membaur dengan masyarakat sekitar. Mereka pun melakukan klitih dengan motif yang berbeda: menjambret, merampok, hingga membunuh. Sayangnya, identitas si pelaku kadang juga masih sama, anak muda pelajar masih bau kencur.

Kejadian demi kejadian pun terjadi, namun ada tiga kejadian besar yang cukup besar dan menyita perhatian:

Pertama, kejadian di daerah sekitar Jalan Monjali pada pukul lima pagi. Korban adalah seorang perempuan (mengendarai motor) dijambret tasnya oleh dua orang pemuda (yang juga mengendarai motor). Beruntung, perempuan itu berani mengejar, menabrak motor pelaku, dan akhirnya pelaku tertangkap.

Kedua, pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Ketiga, pembacokan terjadi di dekat Mirota Kampus UGM. Korban tewas yang diketahui merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM atas nama Dwi Ramadhani Herlangga. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur.

Kejadian terakhir menjadi pembicaraan paling santer. Sebab sebelum kejadian, korban baru saja membagikan sahur gratis kepada orang-orang sekitar. Sayang, di saat dia bikin aksi mulia, pada saat itulah dia harus meregang nyawa pula.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa klitih sudah bukan lagi kenakalan remaja dengan krisis identitasnya lagi. Namun, sudah bertransformasi menjadi kejahatan kriminal yang serius. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menanggapi ini, tentu harus jadi perhatian tersendiri.

Yogyakarta dengan semangat pendidikannya yang tinggi, seharusnya bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Ribuan pelajar dari berbagai penjuru daerah di Indonesia sudah sering datang ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Bukan saja menjadi destinasi edukasi, Yogyakarta bahkan bisa menjadi tujuan wisata pendidikan.

Visi dan misi Bambang Soepijanto
Visi dan misi Bambang Soepijanto
Hal ini disadar juga oleh Bambang Soepijanto, calon DPD RI dapil DIY. Dalam salah satu misinya yang ia janjikan sebagai calon anggota DPD DIY. Tidak ragu, bahkan Bambang Soepijanto menempatkan poin ini di nomor satu visinya. Hal ini pun menjadi pekerjaan rumah besar bagi Bambang Soepijanto. Karena tentu, pelajar yang datang ke Yogyakarta haruslah datang untuk menimba ilmu yang bermanfaat, bukan ilmu untuk melakukan klitih.

Bambang Soepijanto, calon anggota DPD DIY
Bambang Soepijanto, calon anggota DPD DIY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun