Dari jaringnya, bapak nelayan tersebut mengeluarkan berbagai macam makhluk, salah satunya ikan pari kecil.
"Ini paling enak mas," promosi sang nelayan.
Warga sekitar juga mengiyakan, "wah ikan pari itu enak sekali mas kalau digoreng. Renyah."
Saya pun mengiyakan saja dan memborong cukup banyak. Kemudian, ada seorang ibu-ibu setengah baya datang ke sebelah saya.
"Mau sekalian dimasak buat dimakan mas? Warung makan saya ada di sebelah sana. Ini nanti ikan masnya bisa saya bawa dan saya masak di sana."
Wah, bisa begitu ya? Pikir saya. Tanpa perlu pikir panjang, saya iyakan tawaran itu. Sang ibu langsung membantu bapak nelayan membungkus belanjaan saya. Ia pun langsung berjalan cepat membawa belanjaan saya ke warung seafood miliknya yang terletak agak ke arah pemukiman. Teman-teman saya pun mengekor di belakang.
"Itu tadi yang nelayan suami saya mas," ungkap sang ibu. "Kalau bapak lagi melaut, saya nungguin di pantai. Nanti kalau bapak pulang, saya bantu bapak jualan ikan di perahu. Terus kalau ada yang beli, saya tawarin buat masakin di warung saya. Kayak masnya tadi."
Saya pun tertegun, baru kali ini saya melihat kerja sama usaha rakyat ala ala Romeo dan Juliet begini. Pasangan suami-istri ini pun untung dua kali karena berhasil menjual tangkapan laut mentah dan menawarkan jasa masak.
Siang itu pun saya makan siang di pinggir Pantai Parangtritis. Sambil menikmati semilir angin yang membawa aroma garam laut, makan saya dan teman-teman saya pun cukup lahap saat itu. Dan benar saja, ikan parinya paling enak. Ketika dikunyah, dagingnya lembut dan terdapat tulang mudah yang cukup lunak untuk bisa dimakan dan terasa renyah.
Bayangkan saja, dengan biaya sekitar 50 ribu untuk beli ikan dari bapak nelayan, dan sekitar 20 ribu untuk nasi, sambal, dan jasa memasak dari ibu juru masak, saya dan keduabelas teman saya sampai terkapar kekenyangan, dan ikannya masih sisa.
"Mas, ini ikannya masih sisa, sudah saya masak semua. Saya tambahin nasi lagi ya? Kan masnya mahasiswa, butuh makan banyak."