Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Kisah "Romeo dan Juliet" di Balik Keindahan Pantai Parangtritis

7 Desember 2018   19:22 Diperbarui: 7 Desember 2018   19:24 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Parangtritis. Barangkali tempat yang lumayan menyenangkan bagi warga dan penduduk Yogyakarta untuk sedikit bersantai. Memandang luasnya pasir di pesisir pantai dan luasnya laut hingga garis katulistiwa, tentu menjadi "obat mata" yang sehat setelah berbulan-bulan tinggal di kota dan sehari-hari memandang layar laptop dan smartphone.

Kalau boleh jujur, Pantai Parangtritis memang bukan pantai terindah di Indonesia. Ia mungkin masih kalah dari Pantai Nihiwatu di NTT, Raja Ampat di Papua Barat, atau Pasir Putih di Bali. Tapi bagaimanapun, pantai ini cukup layak untuk dikunjungi, dan sudah lebih dari cukup untuk bisa menghibur masyarakat Yogyakarta.

Saking terkenalnya Pantai ini, sampai-sampai "Jalan Parangtritis", sebuah jalan lurus yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul, Kecamatan Kretek, kerap dikenal sebagai "jalanannya mahasiswa". Kenapa? Karena tidak terhitung berapa jumlah mahasiswa yang berlalu-lalang melewati jalan ini, mereka melakukan perjalanan dari kampus-kampus di daerah Sleman dan Kota Yogya, menuju pantai indah ini.

Mereka berkunjung ke pantai dengan iring-iringan motor atau menyewa bus, sesukanya saja. Tujuannya pun bisa beragam, dari mulai berakhir pekan, acara outing kemahasiswaan, atau bahkan penelitian akademis.  

Yang disebut terakhir adalah hal yang saya lakukan beberapa tahun silam. Dengan alasan mengerjakan tugas kuliah, saya melakukan penelitian lapangan atas masyarakat kampung nelayan di Parangtritis. Dan di situlah, saya menemukan kisah menarik "Romeo dan Juliet" di balik keindahan pantai ini.

Pada hari itu, sambil memandang pesisir pantai yang indah bersama teman-teman, saya menangkap kejadian yang menarik perhatian saya. Sebuah perahu nelayan kecil nampak berjibaku untuk mendarat ke bibir pantai, sembari berusaha keras melawan ombak. Beberapa orang di pantai, yang nampaknya juga nelayan, turut menghampiri membantu menarik kapal sampai benar-benar mendarat ke tepi pantai. Saya pun berjalan mendekat karena tertarik.

Saat saya sudah di dekat kapal, ternyata transaksi sedang berjalan alot antara nelayan yang punya kapal dan warga sekitar. Ternyata, setiap nelayan yang habis melaut dan baru saja mendarat, bisa langsung mengobral hasil tangkapannya saat itu juga di atas kapal.

Melihat saya adalah orang luar, warga malah memberi saya ruang untuk berjalan mendekat, melihat lebih dekat tangkapan laut yang ada di atas kapal. Si empunya kapal pun langsung menawarkan berbagai macam tangkapannya.

Nelayan yang baru pulang dari melaut, bisa langsung menjual ikannya langsung di atas perahu.
Nelayan yang baru pulang dari melaut, bisa langsung menjual ikannya langsung di atas perahu.
Saya yang sangat awam tentang ikan, hanya bisa terdiam polos dan bertanya "Ini setengah kilo berapa pak".

"Oh ikan ini setengah kilo 20 ribu mas, tapi ambil aja semuanya 2 kilo saya kasih 40 ribu wes"

Wah, nembak sekali harganya. Dan tentu lebih murah ketimbang yang biasa saya beli di Pasar Kranggan dekat tugu itu. Ya maklum saja, ini kan belinya langsung dari nelayannya di pantai.

Dari jaringnya, bapak nelayan tersebut mengeluarkan berbagai macam makhluk, salah satunya ikan pari kecil.

"Ini paling enak mas," promosi sang nelayan.

Warga sekitar juga mengiyakan, "wah ikan pari itu enak sekali mas kalau digoreng. Renyah."

Saya pun mengiyakan saja dan memborong cukup banyak. Kemudian, ada seorang ibu-ibu setengah baya datang ke sebelah saya.

"Mau sekalian dimasak buat dimakan mas? Warung makan saya ada di sebelah sana. Ini nanti ikan masnya bisa saya bawa dan saya masak di sana."

Wah, bisa begitu ya? Pikir saya. Tanpa perlu pikir panjang, saya iyakan tawaran itu. Sang ibu langsung membantu bapak nelayan membungkus belanjaan saya. Ia pun langsung berjalan cepat membawa belanjaan saya ke warung seafood miliknya yang terletak agak ke arah pemukiman. Teman-teman saya pun mengekor di belakang.

"Itu tadi yang nelayan suami saya mas," ungkap sang ibu. "Kalau bapak lagi melaut, saya nungguin di pantai. Nanti kalau bapak pulang, saya bantu bapak jualan ikan di perahu. Terus kalau ada yang beli, saya tawarin buat masakin di warung saya. Kayak masnya tadi."

Saya pun tertegun, baru kali ini saya melihat kerja sama usaha rakyat ala ala Romeo dan Juliet begini. Pasangan suami-istri ini pun untung dua kali karena berhasil menjual tangkapan laut mentah dan menawarkan jasa masak.

Siang itu pun saya makan siang di pinggir Pantai Parangtritis. Sambil menikmati semilir angin yang membawa aroma garam laut, makan saya dan teman-teman saya pun cukup lahap saat itu. Dan benar saja, ikan parinya paling enak. Ketika dikunyah, dagingnya lembut dan terdapat tulang mudah yang cukup lunak untuk bisa dimakan dan terasa renyah.

Bayangkan saja, dengan biaya sekitar 50 ribu untuk beli ikan dari bapak nelayan, dan sekitar 20 ribu untuk nasi, sambal, dan jasa memasak dari ibu juru masak, saya dan keduabelas teman saya sampai terkapar kekenyangan, dan ikannya masih sisa.

"Mas, ini ikannya masih sisa, sudah saya masak semua. Saya tambahin nasi lagi ya? Kan masnya mahasiswa, butuh makan banyak."

Ingin sekali saya menolak, tapi karena saya sudah terlalu lemas karena kekenyangan, akhirnya saya terima juga.

Pengalaman tentang Parangtritis membuat saya belajar banyak. Ketika mempresentasikan hasil riset saya tentang masyarakat Pantai Parangtritis di forum kuliah, saya pun bicara tentang keindahan alam, tentang kenikmatan kuliner, dan tentang usaha ekonomi kerakyatan yang romantis.

Tidak perlu jauh-jauh ke Inggris atau Perancis untuk memahami arti cinta dari epos Romeo dan Juliet-nya Shakespeare. Cukup datang ke Pantai Parangtritis, dan anda bisa menemukan cinta yang sesungguhnya.

Saya bersyukur, tidak hanya saya saja yang bisa jatuh cinta pada kisah-kisah kerakyatan. Belakangan saya tahu, ada seorang tokoh di Yogyakarta yang juga menunjukan ketertarikan pada geliat masyarakat di pantai-pantai selatan provinsi ini.

Beliau adalah Bambang Soepijanto, mantan Dirjen Planologi dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Baru-baru ini, beliau juga berkunjung ke daerah Parangtritis, khususnya Pantai Parangkusumo, dan sempat berfoto di Taman Gumuk Pasir.

Bambang Soepijanto menyapa nelayan.
Bambang Soepijanto menyapa nelayan.
Di situ, nampak beliau menyapa nelayan yang tengah menyandarkan perahu di bibir pantai.

Bambang Soepijanto mencicipi makanan kering yang terbuat dari hasil laut.
Bambang Soepijanto mencicipi makanan kering yang terbuat dari hasil laut.
Di sekitar pantai tersebut juga terdapat pasar khusus hasil olahan kering tangkapan laut, seperti ikan bayi kecil yang dibuat seperti kerupuk hingga udang kering. Seingat saya, di pasar tersebut juga terdapat keripik yang terbuat dari rerumputan laut di bebatuan pantai. Hanya dengan bumbu seadanya dan digoreng, rumput berkalsium ini rasanya enak lho!

Bambang Soepijanto berkunjung ke pasar ikan
Bambang Soepijanto berkunjung ke pasar ikan
Terakhir, tidak lupa Bambang Soepijanto mengunjungi pasar ikan yang terletak tidak jauh dari pantai. Sekalipun jabatan beliau sekarang adalah Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia, namun beliau juga sangat mendukung industri maritim, terutama jika pelakunya adalah rakyat kecil melalui UMKM.

Bambang Soepijanto maju sebagai DPD dapil DIY
Bambang Soepijanto maju sebagai DPD dapil DIY
Hal ini dapat dipahami, karena secara pribadi, Bambang Soepijanto memang selalu merasa dekat dengan rakyat kecil. Dari mulai berkarir sebagai petugas penghijauan lapangan di daerah pelosok Songbanyu Rongkop, Gunungkidul, hingga kini maju sebagai calon anggota DPD DIY. Dengan jargon "DPDnya Wong Cilik" serta kiat "ngayomi, ngayemi, ngayani," ia ingin melayani Daerah Istimewa Yogyakarta dengan berpihak pada rakyat kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun