Mohon tunggu...
Nur Hamzah Syawal
Nur Hamzah Syawal Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa S3 UIN Jogya

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Al-Quran dalam Makna Ontologi dan Aksiologi

10 Maret 2020   19:02 Diperbarui: 10 Maret 2020   22:29 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh:

Nur Hamzah (mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kitab suci sebagai Kategori Generik
Pembahasan tentang makna ontologi al-quran sebagai  sebuah "kitab suci" adalah sebuah kajian menarik, dan ia menjadi sebuah kajian tentang fenomenologi al---quran. Pembahasan yang sama juga ada pada tradisi yahudi dan nasrani.  Secara ethimologi, terdapat beberapa kata anonim dari kitab suci (scripture), kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti "tulisan". Kata ini merujuk pada Kalam Tuhan yang dituliskan (kata tertulis yang diwahyunkan atau diilhami Tuhan).  

Kajian tentang teks kitab suci selanjutnya menjadi sangat relevan-walaupun masih sangat sedikit cendikiawan yang melakukannya-agar diketahui apakah kitab suci tersebut adalah bahasa oral langsung dari Tuhan ataukah ia telah direproduksi oleh para penerima wahyunya.  Dalam Islam, kita sangat yakin bahwa al-quran merupakan bahasa verbal/oral  langsung dari Allah SWT walaupun kemudian ia tertransmisi melalui Jibril, Nabi Muhammad dan dalam bahasa Arab (bahasa manusia). 

Studi tentang teks kitab suci meliputi: studi originalitas teks (dalam Nasrani terhadap Injil), proses penyusunan teks, menelusuri gagasan kunci dalam teks, sejarah teks dan lain sebagainya. Studi terhadap teks kitab suci kemudian memunculkan problem filosofis, apakah teks kitab suci merupakan representasi absolut dari sebuah oral/verbal firman Tuhan? 

Dalam kebanyakan argumen rasional, bahwa apa yang tertulis bukanlah dapat mewakili seluruhnya dari yang diungkapkan secara verbal/oral. Demikian hal in juga terjadi pada kitab suci.  Sebagaiman yang ditulis oleh Graham bahwa " pemahaman tentang kitab suci yang lebih memadai tidak harus merujuk pada suatu teks tetapi selalu merujuk pada teks dan hubungannya dengan orang dan komunitas iman yang memandangnya suci dan normatif". Melihat kitab suci sebagai sesuatu  yang berelasi  dengan penganutnya dan bagaimana penganutnya mengfungsionalkan tekas dalam kitab suci tersebut. Dalam Islam dikenal istilah living qur'an.

Fungsi sebuah kitab suci bagi penganutnya sangat ideologis. Ia dalah buku tulisan suci yang merupakan bentuk verbal/orang dari Tuhan. Oleh sebab itu penganutnya menjadikan kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dihapal, diulang-ulang untuk didengar, direnungkan dan kemudian untuk diinternalisasikan.

Al-Quran Kitab Suci adalah Firman yang diucapkan.
Al-quran sebagai sebuah kita suci secara generik memiliki makna yang berbeda dengan Taurat dan Injil yang juga sama merupakan firman Tuhan. Bagi muslim, al-quran merupakan bentuk oral firman Allah yang otoritatif, penyempurna dari firman Allah sebelumnya yang terdapat dalam Taurat dan Injil. Bagi Yahudi dan Nasrani, kitab suci adalah rekaman tentang hubungan antara Tuhan dan manusia. Taurat, ia menghadirkan Tuhan dalam bentuk hukum, Injil merupakan perwujudan Kristus, sementara qur'an merupakan kitab suci yang dengannya terjadi pertemuan dengan Tuhan.  

Al-quran adalah kitab suci oral yang dibacakan atau dituliskan dalam teks atau mushaf. Hal ini terkonfirmasi dari nama al-qur'an itu sendiri yang berarti "membaca" atau "bacaan".  Ia dalah bacaan yang diulang-ulang yang selanjutnya disebut dengan dzikir. Tentang asal mula nama al-qur'an, dalam tradisi Yahudi terutama Nasrani hal ini telah ada.  

Di Kristen Suryani mengenal istilah "qeryana". "qeryana" digunakan untuk "bacaan" oral dan liturgis dari teks suci dan untuk kitab suci yang dibaca keras.  Miqra' juga digunakan sebagai istilah Talmud untuk keseluruhan Injil, yang berperan untuk menekankan cara mempelajari vocal dan peran utama pembacaan kitab suci dalam liturgi Yahudi. Wal hasil al-quran bagi seorang muslim adalah kitab suci yang dibacakan secara oral dalam praktek kehidupan sebagai penanda keimanannya.

Tradisi Resmi Bacaan (Qira'ah)
Karena secara teologis muslim mengimani bahwa al-quran adalah oral suci langsung dari Tuhan, maka kemudian untuk menjaganya, para muslim menghapalnya, lalu kemudian menulisnya dalam sebuah mushaf. Tidak sampai disitu saja, agar kemukjizatan dan kesucian al-quran tetap terjaga maka ilmuan muslim melahirkan berbagai macam ilmu tentang qur'an.  

Termasuk dalam hal ini adalah ilmu tajwid. Yakni ilmu cara membaca al-quran secara benar, tepat dan indah. Ilmu tajwid bagi muslim adalah sebuah upaya untuk memelihara teks oral kitab suci agar tetap menjadi sakral dan tidak menyalahi dari makna sesungguhnya seperti yang dimaksud oleh si "Penutur"nya. Al-quran dibaca dengan hati-hati, pelan, teratur atau tartil dibalut dengan seni membaca agar keluar unsur sastranya. Inilah aspek fungsional quran sebagaiu kitab suci, sebagai firman yang diucapkan.

Al-quran yang Dibaca dalam Ibadah dan Praktik Keseharian
Al-quran bagi muslim adalah essensial karena ia jadi pedoman keselamatan kehidupan baik saat di dunia maupun akhirat. Al-quran mewujud dalam keseharian penganutnya. 

Ia dibaca, dihapalkan, ditulis dan diartikulasikan dalam kehidupan nyata. Lihat saja pratek seorang muslim, karena ia bersifat teologis, walaupun ia tidak mengetahui maknanya karna berbahasa arab tetap saja seorang  muslim mebacanya hingga khatam beberapa kali sepanjang hayatnya. Ia menghapalnya hingga 30 juz. Bagi muslim, ia akan mendapatkan prestise jika rutin dan hapal al-quran. Untuk menjadi seseorang yang memiliki otoritas keagamaan, ia juga harus dapat hapal sebagian besar ayat al-quran. Al-quran juga manifest dalam ritual ibadah muslim seperti sholat, haji dan dzikir. 

Bahkan tidak sah jika teks arab alquran diganti dengan bahasa lain. Sebuah pelanggaran besar jika hal ini dilakukan.  Selain itu al-quran juga wujud dalam tradisi kultural masyarakat sperti tahlilan, pernikahan,  peringatan hari besar  Islam, termasuk dalam tradisi mistik dalam bentuk azimat ataupun mantra-mantra. Inilah yang kemudian disebut dengan living qur'an. Selain dalam kehidupan spiritual, sosial dan budaya, al-quran juga manifest dalam seni. Ia dapat berupa seni tulis al-quran (kaligrafi) atau pun seni baca al-quran (tilawah) dan masih banyak lagi yang lainnya.  Wallahu'alam bi al-shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun