Mohon tunggu...
Hamzah NurAzis
Hamzah NurAzis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Never quit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wes Wayahe: Saatnya Generasi Ambyar Harus Sadar

3 Januari 2024   20:20 Diperbarui: 3 Januari 2024   20:48 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah bus berhenti didepan pelataran rumah kayu yang nampak asri nan mewah. Kemungkinan pelataran tersebut cukup untuk memuat 3 mobil parkir. Pelataran itu didominasi oleh rerumputan yang terawat dan beberapa pohon rindang.

Terlihat seorang anak muda berkaos putih berdobel kemeja kotak-kotak tanpa dikancingkan, berjalan dengan tangan kanan memegangi gelangan ransel miliknya. Lengkap dengan celana jins dan bersepatu, ia melangkah tegap dengan aura percaya diri.

"Tomy..!" sambut seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu. Pemuda itu segera menghampiri memeluk ibunya.

Tomy sudah lama tidak pulang kampung. Ia telah selesai menamatkan studinya di kota. Ia mengambil jurusan Ilmu Sosial dan Politik. Ia pulang kampung karena ingin menjenguk orangtuanya dan ingin bersosialisasi dengan masyarakat di kampungnya sendiri.

Tomy sangat terkenal di lingkunganya. Wajahnya terpampang di pinggir-pinggir jalan. Poster bertuliskan "Mohon doa restu" lengkap dengan gambar wajahnya, membuatnya tidak asing dan mudah dikenali oleh orang-orang. Sudah lama ia memiliki rencana untuk intens mengakomodir suara pendukungnya. Terkadang rasa khawatir dan cemas menghantui pikirannya sebelum tidur. Ia takut kalah. Ia tidak siap jika menanggung kalah dengan caleg-caleg yang lain.

Strategi meraup suara sebanyak-banyaknya yang di terapkan Tomy sangat berbeda dengan caleg-caleg lain. Ia murni tanpa menggunakan politik uang. Sebagai mantan aktivis yang kerjaanya sering demo ke gedung pemerintahan, ia gengsi jika pencalonannya menggunakan politik uang. Dukungan dari teman-temannya membuatnya percaya diri. Ia tidak gentar melawan pesaingnya meski menggunakan strategi politik uang. Ia sadar jika seharusnya mayoritas pendukungnya adalah generasi muda. Gernerasi muda Milenial dan Gen-Z yang terkadang tidak luput dari perasaan ambyar.

 "Iya, ambyar," gumam Tomy yang sedang duduk-duduk santai di depan rumah. Ia berpikir bagaimana menyadarkan generasi ambyar ini. Generasi yang katanya suka pada hal-hal instan dan suka flexing alias pamer sana-sini di media sosial. Memang banyak para psikolog yang mengatakan jika Generasi Milenial dan Z ini memiliki peluang kerja dan potensi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Tetapi pernyataan itu tidaklah benar secara general. Sebab, banyak sekali Generasi Milenian dan Gen-Z yang masih belebotan mencari kerja dan terkadang tidak siap bersaing di dunia kerja. Kekhawatiran itu selalu muncul pada pikiran Tomy. Sesekali ia menyeduh racikan wedang uwuh buatan ibunya.

Sepiring getuk pisang menghampiri mejanya. Ia kemudian mengambil satu buah dan memakannya.

"Andai saja Gen-Z itu seperti makanan ini, pasti akan lebih mudah untuk ku makan"

"Ah, 'kan mereka bukanlah makanan yang mudah di beli lalu dimakan," ucapan nglantur itu tidak sengaja keluar begitu saja dari mulut Tomy.

"Hem... sepertinya ada yang tidak beres pada kepala ini," simpulnya.

Tomy bertanya pada dirinya sendiri. Kalau Gen-Z memang seperti apa yang dikatakan oleh para psikolog, money politic itu akan sangat rentan pada generasi ini. Kemungkinan mereka akan menerima uang yang diberikan oleh caleg-caleg itu. Wajar mereka sangat membutuhkan. Tetapi jika ini diterus-teruskan, akan berdampak buruk bagi masa depannya.

"Ah.... Memang generasi ambyar," desahnya sekali lagi.

"Ya sudah, memang sudah saatnya generasi ambyar mengingatkan generasi ambyar yang lain, mungkin yaa..," akhirnya ia tenangkan dirinya sendiri.

Sebagai pemuda yang memiliki kesempatan yang mungkin tidak dimiliki oleh pemuda yang lain, Tomy sangat ambisius ingin menyadarkan orang-orang seumurannya untuk sadar politik uang yang bersifat fana itu. Jadi caleg jalan ninjanya.

Tiba-tiba air dari atas mengguyur wajahnya. Genteng kamarnya bocor. Memang ini sedang musim hujan. Sontak Tomy bangun dengan wajah kusut. Ia berulang kali mengucek-ngucek matanya. Hem.... Ternyata itu semua hanya mimpi. Ah.... Ya sudahlah, kadang mimpi kalau tidak direalisasikan selamanya akan tetap menjadi mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun