Mohon tunggu...
Hamzah Nazarudin
Hamzah Nazarudin Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN/POLITEKNIK NEGERI KUPANG

LECTURE, MEMBACA,MENULIS, EKONOMI, BISNIS, MARKETING, PENDIDIKAN, LITERASI, POLITIK

Selanjutnya

Tutup

Politik

Branding Politik Menjelang Pemilu 2024

12 Oktober 2023   10:53 Diperbarui: 12 Oktober 2023   11:06 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Tahun depan (2024) Indonesia akan menghadapi momentum politik nasional yaitu pesta demokrasi pemilihan presiden (PILPRES), pemilihan umum Legislatif, (PILEG), Pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara serempak, Setiap kandidat baik CAPRES, CALEG, dan calon kepala daerah secara individu maupun melalui tim sukses sedang gencar melakukan kampanye politik dalam intensitas yang rendah sampai intensitas yang sangat tinggi sehingga menciptakan tingkat persaingan dan konstelasi politik yang semakin memanas.

Masing -  masing kandidat baik Capres, Caleg maupun calon kepala daerah di tuntut untuk mampu menciptakan keunggulan competitive (competitive advantage) melalui penciptaan nilai (value creation) yang mampu menarik hati dan pikiran pemilih. Salah satu strategi yang di gunakan untuk menarik hati dan pikiran pemilih adalah menawarkan konsep brand  dan emotional branding yang merupakan teori political marketing (pemasaran politik),

     Dalam teori pemasaran, brand merupakan aset yang tidak berwujud (intangible asset), Brand adalah janji dan harapan yang  membuat otak dan hati konsumen menaruh harapan tinggi atas janji yang terungkap melalui komunikasi merek. Sehingga esensi dari brand adalah janji sekaligus harapan konsumen atas keinginan tertentu.  Menurut inter brand salah satu perusahaan konsultan merek terkemuka di dunia menyatakan brand adalah gabungan atribut tangible dan intangible yang disimbolkan dalam merek dagang (trade mark) dan jika di kelola dengan baik akan menciptakan pengaruh dan membentuk citra yang positif (Clifton dan Maughan, 2000).

     Keberhasilan sebuah brand tergantung pada  kemampuan mempertahankan kepercayaan publik dalam membangun hubungan jangka panjang (long Term relationship), bukan hanya kampanye promosi dan periklanan yang berfokus pada skala jangka pendek. Konsumen dan calon konsumen di pengaruhi beragam pesan yang di kirim melalui atribut tangible dan intangible.

      Atribut tangible adalah karakteristik yang dapat dilihat dan di sentuh seperti desain produk, performance, isi, ukuran, jumlah dan harga.  Sedangkan atribut intangible meliputi nilai - nilai yang di terima, memori yang berkaitan dengan merek, image termasuk persepsi dan impresi atas orang yang menggunakan merek.

     Atribut intangible sangat penting dalam proses membangun sebuah brand karena sulit di tiru oleh pesaing dan melibatkan konsumen secara emosional.  Sedangkan Emotional branding merupakan proses penciptaan brand image yang menggunakan hati dan pikiran konsumen yang berbeda antara produk, jasa, organisasi yang satu dengan lain. Emosional branding bukan hanya berkaitan dengan fungsi dan visibilitas tapi berkaitan dengan penciptaan ikatan emosional dengan masyarakat sebagai pemilih. 

Ikatan emosional tersebut akan menciptakan kualitas hubungan, pengalaman panca indra, dan pendekatan visioner menuju perubahan. Koneksi emosional yang kuat akan mendorong konsumen atau pemilih menjadi loyal dengan brand yang di inginkan. Bahkan Sangat antusias dan ambisius untuk merekomendasikan brand yang di pilihnya kepada orang lain. Kondisi ini sangat menguntungkan kandidat atau caleg karena akan menciptakan hubungan jangka panjang antara kandidat dengan pemilih.

     Untuk menciptakan emosional  branding yang kuat maka kandidat capres, caleg dan calon kepala daerah harua mampu mengenal audiens yang menjadi daerah pemilihan.  Mengenal audiens lebih dalam akan memudahkan kandidat menyusun rencana yang mampu menyentuh sisi emosional pemilih,

     Orientasi partai politik saat ini lebih cenderung mengadopsi market oriented  party (partai yang berorientasi pada selera pasar), Market oriented party di desain untuk menyediakan kebutuhan dan keinginan pemilih dengan tujuan agar pemilih merasa puas atas pilihan mereka. Dengan menggunakan analisis pasar yang berfokus pada pemilih maka kecendrungan suara masyarakat akar rumput dapat terakomodir.

     Market oriented party memiliki keunggulan karena komunikasi politik yang di bangun mudah meyakinkan publik untuk menerima gagasan baru, namun kelemahan dari market oriented party jika gebrakan atau kebijakan di buat oleh partai yang tidak sesuai keinginan publik maka akan kehilangan dukungan publik.

     Partai politik yang menerapkan pendekatan market oriented party akan menanggung konsekuensi untuk tidak menggunakan kader internal sendiri sebagai kandidat yang di usung  jika kandidat yang potensial bukanlah dari internal partai,. dan program partai harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan keinginan publik. Pendekatan market oriented party juga berpotensi untuk mengubah asosiasi  partai dari yang awalnya berbasis ideologi religius kemudian lebih terbuka mengarah kepada nasionalis, beberapa partai yang ketika awal pendiriannya jelas arah politik dan kebijakannya,  kemudian dalam perjalanannya menjadi partai yang lebih terbuka dan fleksibel dalam kebijakannya.

     Market oriented party sesungguhnya mereduksi makna dari kualitas demokrasi itu sendiri, karena parpol di Indonesia umumnya mengikuti selesar pasar untuk memutuskan memilih sosok yang akan di usung di dalam PILPRES, PILEG dan PILKADA. 

Partia politk yang ingin mendapatkan  dukungan publik harus  menggunakan salah satu tokoh publik (public figure) untuk  meraih suara sebanyak –banyaknya yang akan di konversikan menjadi dukungan terhadap partai, sehingga ajang demokrasi menjadi pertarungan citra bukan pertarunga gagasan dan program. Dalam beberapa hal, partai politik yang mengalami krisis dukungan di dalam lingkaran kekuasaan, bisa menegeluarkan kebijakan yang berbeda dari pemerintah tapi di inginkan rakyat, sehingga memperteguh asumsi bahwa politk di Indonesia berlandas pada pragmatisme bukan idealisme.

     Fakta di lapangan menunjkan, meskipun banyak pendukung yang loyal pada brand politik tertentu tetapi brand politik tidak sepenuhnya menerapakan praktek seperti di lakukan brand komersil dalam marketing, maka yang terjadi bukannya loyal menjadi pendukung sejati sebuah brand politik tapi menjadikan uang sebagai acuan gerak utama. Dampaknya brand politik hanya bergerak setiap 5 tahun sekali pada saat ada kampanye pemilihan karena uangnya hanya ada pada saat PEMILU

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun