Market oriented party sesungguhnya mereduksi makna dari kualitas demokrasi itu sendiri, karena parpol di Indonesia umumnya mengikuti selesar pasar untuk memutuskan memilih sosok yang akan di usung di dalam PILPRES, PILEG dan PILKADA.Â
Partia politk yang ingin mendapatkan  dukungan publik harus  menggunakan salah satu tokoh publik (public figure) untuk  meraih suara sebanyak –banyaknya yang akan di konversikan menjadi dukungan terhadap partai, sehingga ajang demokrasi menjadi pertarungan citra bukan pertarunga gagasan dan program. Dalam beberapa hal, partai politik yang mengalami krisis dukungan di dalam lingkaran kekuasaan, bisa menegeluarkan kebijakan yang berbeda dari pemerintah tapi di inginkan rakyat, sehingga memperteguh asumsi bahwa politk di Indonesia berlandas pada pragmatisme bukan idealisme.
   Fakta di lapangan menunjkan, meskipun banyak pendukung yang loyal pada brand politik tertentu tetapi brand politik tidak sepenuhnya menerapakan praktek seperti di lakukan brand komersil dalam marketing, maka yang terjadi bukannya loyal menjadi pendukung sejati sebuah brand politik tapi menjadikan uang sebagai acuan gerak utama. Dampaknya brand politik hanya bergerak setiap 5 tahun sekali pada saat ada kampanye pemilihan karena uangnya hanya ada pada saat PEMILU