“Siapa yang lebih dulu mengingkari janji, maka dialah yang hidupnya lebih awal dijemput maut”. Entah. Entah mengapa kalimat itu selalu terngiang sepekan terakhir. Kalimat yang dulu terungkap, sebagai penandas atas kesepakatan untuk sehidup-semati dalam mengarungi hidup antara aku dengan Jalal, lelaki Mandar yang telah mampu ‘mencuri’ hati dan perhatianku. Lelaki Mandar, yang senantiasa sekuat tenaga menjaga dan merawat kesetiaan cintanya kepadaku. Janji dan sumpah itu terucap saat Jalal pamit ke Mandar menemui ayahnya yang sudah uzur dan mulai sakit-sakitan.
“Masitha, aku pamit yah. Besok aku akan ke Mandar menemui ayahku yang sedang sakit dan sangat merindukan kehadiranku. Aku akan segera kembali ke sini, ke Toli-toli ini, jika ayahku telah sembuh dari sakitnya”. Ini kalimat terakhir yang aku dapatkan dari Jalal, empat tahun lalu.
“Saat di Mandar, jangan lupa yah Kak. Kita telah terikat sumpah”. Kalimat ringkas, singkat dan padat. Hanya itu yang mampu aku ucapkan, menyahuti permohonan pamitnya. Spontan saja kalimat itu mengalir lancar dari mulutku.
Bahkan hari-hari terakhir ini selama berada di kota Makassar, aku seringkali bermimpi. Memimpikan aneka peristiwa tentang kebersamaan Aku dengan Jalal di tanah kelahiranku, Toli-Toli. Jelas, kulihat diriku bersama Jalal, sembunyi-sembunyi di pojok mushallah, bersama mengucap sumpah sehidup-semati. Persis seperti apa yang pernah kami lakukan empat tahun lalu. Kusaksikan diriku tersipu malu, melihat Jalal yang wajahnya merah padam, menundukkan kepala karena seseorang memergoki kami berduaan di pojok mushallah ketika itu.
Pun di hari-hari terakhir ini, Entah. Entah mengapa? Rinduku pada Jalal sedemikian menggelora dan tak tertahankan. Hampir seluruh waktu, hari ke jam, jam ke menit, menit ke detik. Tanpa jeda. Rasa dan pikirku menuju pada satu titik. Jalal. Lelaki yang baik dan bijak. Saat bersamanya hanya ada dua, yaitu keindahan dan kegembiraan.
Jalal sangat mahir memainkan gitar, ditambah suaranya yang merdu dan khas. Olehnya beberapa sahabatnya menjulukinya ‘lelaki bersuara emas’. Julukan suara emas dan kepiwaiannya memainkan dawai-dawai gitar, menjadi salah satu alasan bagiku untuk menyukai lelaki Mandar yang satu ini.
Jalal, yang melalui petikan gitar ‘sayang-sayang’nya mampu menggetarkan sukma. Seringkali, saat Aku tiba di puncak rindu, aku pasti berlari menuju kamar. Berdiam diri di dalamnya. Sendiri, sambil memutar lagu ‘sayang-sayang’. Saya merekamnya secara manual menggunakan tape kecil. Suatu ketika, empat tahun lalu di salah satu pertemuan terakhirku dengannya. Jalal memetik gitar dan bernyanyi ‘sayang-sayang’. Meski berbahasa Mandar. Aku sungguh sangat paham isinya. Dan ini menandaskan bahwa musik berlaku universal, tidak perlu tersekat-sekat oleh suku, agama, ras dan strata. Untuk memahaminya tidak perlu melalui bangku sekolah dan perkuliahan. Cukup dengan intensitas. Nah, dengan lagu ‘sayang-sayang’, sejak menjalin hubungan dengan Jalal, aku sedemikian intens. Aku menikmatinya penuh sungguh.
Bahkan dalam seluruh pertemuanku dengan Jalal, lagu ‘sayang-sayang’lah yang menjadi gara-garanya. Lantaran, setiap kali ingin bertemu, Ia akan melintas di depan rumahku, menenteng gitar dan memainkan petikan ‘sayang-sayang’. Lalu menuju tempat yang telah aku dan ia sepakati sebagai titik pertemuan. Seketika itu pun aku akan menyahutinya. Berlari-lari kecil menuju tempat yang ditentukan. Seperti biasanya, sebelum kami berbagi cerita, Jalal akan menuntaskan lagu ‘sayang-sayang’ yang selalu saja menjadi persembahan khusus bagiku setiap kali kami bertemu.
Mengenai kebiasaan Jalal atas dendang ‘sayang-sayang’nya, dua tiga orang Mandar yang aku kenal seringkali berbisik kepadaku; ”Masitha, hati-hati yah dengan pemuda Jalal. Kalau ia memainkan gitar dengan petikan sayang-sayangnya, engkau pasti terpikat. Gitarnya menggunakan dawai ‘suasa’, yang bukan sembarang dawai. Ia terbuat dari campuran emas dan perunggu, yang ditimpali ‘ritual’ khusus; “Walyatalattaf” sebelum dimainkan. Setiap hati yang mendengarnya pasti tergugah”.
Jika dawai-dawai itu dipetik, nada-nada indah dalam nuansa magis akan mengalun darinya. Melembutkan hati setiap orang yang mendengarnya. Hati yang semula membatu akan mencair. Hati yang semula kering, bak tanah di musim kemarau, tampak retak dimana-mana, akan menjadi basah, dan siap menumbuhkan kecambah dari pepohonan yang jatuh padanya. Lalu kecambah itu bertumbuh dan bertumbuh, menuju langit.
Entah. Aku tidak tahu. Apakah aku telah tersihir petikan dawai gitar milik Jalal, atau aku sedang mabuk asmara. Aku tidak percaya pada bisikan sahabat-sahabat Mandar-ku. Bukan karena jenis dawainya pun ritualnya yang membuat aku kagum. Tapi kelembutan hati dan sikap dewasa darinya menjadi alasan utama bagiku ‘bertekuk lutut’ padanya. Akibatnya, rindu-rinduku tak pernah menemukan ujung. Setiap bertemu, setiap itu pula Aku dan Jalal sedang menumbuhkan rindu. Rindu bertumbuh, berkembang. Bercabang-cabang, hingga rimbun.
Ah…, agak jengkel juga terperangkap dalam situasi seperti ini. Rasa dan pikiranku memusat hanya ke satu titik. Kepada lelaki Mandar bernama Jalal. Sekuat mungkin hendak kuelakkan. Tapi tidak mampu. Aku tidak mampu membuang citra dan pesonanya dalam setiap tarikan nafasku. Aku merindukannya.
Empat tahun lalu, semenjak kepulangan Jalal ke tanah kelahirannya menemani ayahnya yang sudah uzur dan sakit-sakitan. Kami putus komunikasi. Tak satupun kabar kudengar tentangnya.
***
Malam Jumat, tengah khusyuk menderas bacaan Surah Yasin, usai shalat magrib. Angin tiada. Bebunyian hewan pun tiada. Hening. Kecuali suaraku yang melantunkan kalimat-kalimat Tuhan terdengar ke seluruh pojok ruang rumah tempatku menginap di Makassar. Saat surat Yasin telah kukhatamkan, tiba-tiba dari bubungan rumah terdengar jeritan burung hantu. Seketika, Aku mengingat pesan tetua, bahwa itu isyarat adanya kematian orang-orang terdekat. Bulu kudukku serentak berdiri di sekujur tubuh.
Besoknya, menjelang pelaksanaan shalat Jumat, salah seorang sahabat Mandar-ku, juga sahabat Jalal saat masih di kampung mengabarkan bahwa Jalal meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas saat melakukan perjalanan dari Mandar ke Makassar. Jalal bermaksud menemuiku, hendak menyampaikan permohonan maaf, karena dirinya telah khianat. Ia ingkar janji. Ia telah menikah dengan perempuan pilihan ayahnya di Mandar. Seketika meledak tangisku. Seketika marah. Rasanya aku ingin pingsan, kalau perlu langsung mati saja. Untung saja sahabat Mandar-ku, dengan sabar senantiasa mendampingi dan berusaha menenangkan gejolak murka dan amarahku. Tidak lama, pelan-pelan emosiku bergerak stabil. Sahabat Mandar-ku, kemudian menceritakan kronologis pernikahan Jalal dengan perempuan pilihan ayahnya. Jalal khianat, bukan atas pilihannya sendiri.
Sungguh, aku tak kecewa. Bahwa dia khianat. Jalal menikah dengan perempuan lain. Saya maklum. Itu bukan keinginannya. Khianat baginya adalah pengabdian untuk ayahnya yang hendak menuntaskan kewajibannya sebagai orang tua bagi anak lakinya yang berangkat dewasa. Kewajiban untuk menikahkan Jalal dengan perempuan lain. Sebelum ajal menjemputnya. Kalau tidak, konsekwensinya adalah dosa.
Untuk itu telah kusiapkan kelapangan hati menerima segala kenyataan. Aku tahu. Aku dan Jalal, telah sesumbar berjanji akan sehidup-semati mengarungi hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Tapi takdir Tuhan berbicara lain. Jalal khianat, ia mengingkari sumpah. Ia lebih duluan menikah.
“Siapa yang lebih dulu mengingkari janji, maka dialah yang hidupnya lebih awal dijemput maut”, kalimat yang selalu saja mengantarkan aku pada kekhawatiran-kekhawatiran. Mengingat konsekwensi yang bisa ditimbulkannya adalah kematian. Yah, kematian, jika salah satu dari kami mengingkarinya. Aku sungguh yakin itu.
Yang membuatku sedih, sesedih-sedihnya adalah kenapa dulu, ada pilihan seperti itu. Kami seakan-akan lupa, bahwa bukan Aku, bukan pula Jalal yang mengatur lalu lintas hidup. Lalu, dengan berani dan lancang mengikrarkan sumpah yang lalu mewujud menjadi doa, dan Tuhan-pun mengijabahnya.
Hari-hari berikutnya, pasca kematian Jalal, dalam setiap shalat, senantiasa kulangitkan do’a.
“Kutahu cintamu begitu iklas kepadaku. Demikian pula aku yang begitu tulus menerimamu. Semoga kelak, Tuhan mempersatukan kita di surga. Engkau hanya lebih dahulu pergi, dan aku pasti akan menyusulmu. Engkau telah menunaikan janji, tapi tidak untuk hidup bersama, melainkan janji lebih duluan dijemput maut karena dirimu telah khianat dan ingkar. Tak pantas bagiku menangisi kematianmu. Namun, sungguh Aku merindukanmu”.
Balanipa, 14 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H