Mohon tunggu...
Hamzah Ismail
Hamzah Ismail Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis apa adanya...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menuai Janji; Dijemput Maut

23 September 2015   21:59 Diperbarui: 23 September 2015   22:14 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Entah. Aku tidak tahu. Apakah aku telah tersihir petikan dawai gitar milik Jalal, atau aku sedang mabuk asmara. Aku tidak percaya pada bisikan sahabat-sahabat Mandar-ku. Bukan karena jenis dawainya pun ritualnya yang membuat aku kagum. Tapi kelembutan hati dan sikap dewasa darinya menjadi alasan utama bagiku ‘bertekuk lutut’ padanya. Akibatnya, rindu-rinduku tak pernah menemukan ujung. Setiap bertemu, setiap itu pula Aku dan Jalal sedang menumbuhkan rindu. Rindu bertumbuh, berkembang. Bercabang-cabang, hingga rimbun.

Ah…, agak jengkel juga terperangkap dalam situasi seperti ini. Rasa dan pikiranku memusat hanya ke satu titik. Kepada lelaki Mandar bernama Jalal. Sekuat mungkin hendak kuelakkan. Tapi tidak mampu. Aku tidak mampu membuang citra dan pesonanya dalam setiap tarikan nafasku. Aku merindukannya.

Empat tahun lalu, semenjak kepulangan Jalal ke tanah kelahirannya menemani ayahnya yang sudah uzur dan sakit-sakitan. Kami putus komunikasi. Tak satupun kabar kudengar tentangnya.

***

Malam Jumat, tengah khusyuk menderas bacaan Surah Yasin, usai shalat magrib. Angin tiada. Bebunyian hewan pun tiada. Hening. Kecuali suaraku yang melantunkan kalimat-kalimat Tuhan terdengar ke seluruh pojok ruang rumah tempatku menginap di Makassar. Saat surat Yasin telah kukhatamkan, tiba-tiba dari bubungan rumah terdengar jeritan burung hantu. Seketika, Aku mengingat pesan tetua, bahwa itu isyarat adanya kematian orang-orang terdekat. Bulu kudukku serentak berdiri di sekujur tubuh.

Besoknya, menjelang pelaksanaan shalat Jumat, salah seorang sahabat Mandar-ku, juga sahabat Jalal saat masih di kampung mengabarkan bahwa Jalal meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas saat melakukan perjalanan dari Mandar ke Makassar. Jalal bermaksud menemuiku, hendak menyampaikan permohonan maaf, karena dirinya telah khianat. Ia ingkar janji. Ia telah menikah dengan perempuan pilihan ayahnya di Mandar. Seketika meledak tangisku. Seketika marah. Rasanya aku ingin pingsan, kalau perlu langsung mati saja. Untung saja sahabat Mandar-ku, dengan sabar senantiasa mendampingi dan berusaha menenangkan gejolak murka dan amarahku. Tidak lama, pelan-pelan emosiku bergerak stabil. Sahabat Mandar-ku, kemudian menceritakan kronologis pernikahan Jalal dengan perempuan pilihan ayahnya. Jalal khianat, bukan atas pilihannya sendiri.

Sungguh, aku tak kecewa. Bahwa dia khianat. Jalal menikah dengan perempuan lain. Saya maklum. Itu bukan keinginannya. Khianat baginya adalah pengabdian untuk ayahnya yang hendak menuntaskan kewajibannya sebagai orang tua bagi anak lakinya yang berangkat dewasa. Kewajiban untuk menikahkan Jalal dengan perempuan lain. Sebelum ajal menjemputnya. Kalau tidak, konsekwensinya adalah dosa.

Untuk itu telah kusiapkan kelapangan hati menerima segala kenyataan. Aku tahu. Aku dan Jalal, telah sesumbar berjanji akan sehidup-semati mengarungi hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Tapi takdir Tuhan berbicara lain. Jalal khianat, ia mengingkari sumpah. Ia lebih duluan menikah.

“Siapa yang lebih dulu mengingkari janji, maka dialah yang hidupnya lebih awal dijemput maut”, kalimat yang selalu saja mengantarkan aku pada kekhawatiran-kekhawatiran. Mengingat konsekwensi yang bisa ditimbulkannya adalah kematian. Yah, kematian, jika salah satu dari kami mengingkarinya. Aku sungguh yakin itu.

Yang membuatku sedih, sesedih-sedihnya adalah kenapa dulu, ada pilihan seperti itu. Kami seakan-akan lupa, bahwa bukan Aku, bukan pula Jalal yang mengatur lalu lintas hidup. Lalu, dengan berani dan lancang mengikrarkan sumpah yang lalu mewujud menjadi doa, dan Tuhan-pun mengijabahnya.

Hari-hari berikutnya, pasca kematian Jalal, dalam setiap shalat, senantiasa kulangitkan do’a.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun