Pak Prabowo saat memimpin Oprasi Mapenduma di tahun 1996. Duduk dibelakang Asaldin Gea, ajudan militer Pak Prabowo. (foto : koleksi pribadi)
Banyak cerita tentang Operasi Mapenduma Papua di tahun 1996 yang mengisahkan secercah kisah heroik dari Kopassus yang diterjunkan di belantara bumi cendrawasih itu. Dan, tentu kita tak bisa melupakan peran seorang Jenderal Prabowo Subianto dalam operasi ini yang saat itu diposisikan oleh negara sebagai pengendali operasi, sosok yang kini menjadi Calon Presiden di republik ini.
Bagi pembaca (mungkin) tulisan ini dianggap sebagai salah satu bentuk menaikkan citra Pak Prabowo di pusaran politik tahun ini, tetapi bagi penulis, hal-hal seperti ini juga perlu diketahui publik, bahwa Pak Prabowo bukanlah sosok tokoh tanpa peran besar dalam menjaga keutuhan negara. Bahkan boleh jadi, derita, duka dan perjalanan di berbagai operasi menjaga keutuhan negara inilah yang membentuk semangat nasionalisme begitu kokoh dalam jiwa seorang Prabowo Subianto.
Tetapi bukan ‘adegan-adegan’ heroisme pembebasan sandera seperti yang banyak diketahui publik yang dituturkan dalam tulisan ini, melainkan nestapa seorang Prabowo yang menggambarkan kepeduliannya pada nilai satu ‘nyawa’ bagi pasukannya, nilai satu ‘nyawa’ bagi para sandera dan bahkan nilai satu ‘nyawa’ bagi para mereka yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pak Prabowo selalu menghitungnya, dan menghargainya. “Apapun yang kita lakukan di sini, jangan sampai ada nyawa yang melayang, dari manapun mereka,” tegas Pak Prabowo pada pasukannya saat itu.
Inilah sepenggal ingatan Asaldin Gea, ajudan militer Pak Prabowo kala itu yang diceritakannya pada penulis malam ini (6/6). Tetapi cerita begitu membekas, karena menurut Bang Gea (panggilan akrab Asaldin Gea), tuturan ingatannya itu tidak sekedar bercerita tentang suasana perang, tetapi juga airmata kelembutan seorang Prabowo Subianto. “Saya mengingat-ingat kisah itu, dan menyebut ini dengan sebutan ‘di balik perang ada kelembutan hati seorang jenderal’, sebab saya menyaksikan sendiri peristiwa itu,” tutur Bang Gea.
“Kisahnya begini, sejam sebelum kami melakukan operasi pembebasan sandera, kami berkumpul di camp dan tampak Pak Prabowo terlihat menatap sesuatu dengan tatapan kosong tetapi memiliki makna yang dalam. Sebagai ajudan beliau, saya merasakan getar tatapan Pak Prabowo itu. Saya meberanikan diri mendekati beliau, sebab boleh jadi Pak Prabowo ingin bercerita tentang sesuatu, sebelum operasi itu di mulai. Namun alasan saya mendekat, sekedar melaporkan jika segala perlengkapan Pak Prabowo telah dipersiapkannya, sekaligus menunggu petunjuk selanjutnya” jelas Bang Gea.
Pak Prabowo tersentak, dan menatap dalam-dalam ajudannya itu. Tak lama Pak Prabowo bertanya diluar dugaan Bang Gea.
“Gea, apakah Kamu ingat keluargamu?” Tanya Pak Prabowo.
“Siap!” Jawab Gea
“Gea, sebelum kamu tugas di sini, sudah minta izin dan doa restu ibu bapakmu?” tanya Pak Prabowo lagi.
“Siap, Sudah!” jawab Gea.
“Jika begitu, ajak semua perwira-perwira bergabung bersama, ada yang ingin saya diskusikan,” kata Pak Prabowo.
Saat perwira-perwira berkumpul, di sana juga ada Pak Iwan Abudulrahman yang dikenal dengan nama Wanandi, tokoh yang yang dikenal pula sebagai komponis lagu ‘Melati dari Jayagiri’. Juga ada Bapak Tedi Kardin, tokoh yang selama ini dikenal sebagai ‘ahli pisau dari Bandung’ (hingga sekarang, dikenal dengan T.Kardin Pisau Indonesia).
Pak Iwan dan Pak Tedi adalah sahabat-sahabat Pak Prabowo yang saat itu dilibatkan untuk membantu Pak Prabowo tentang gerakan peta dan alam. Pak Iwan sendiri yang saat ini telah berusia 67 tahun, adalah tokoh dari Sumedang yang dikenal sebagai pentolan utama kelompok pencinta alam ‘Wanadri’, mungkin karena itu Pak Prabowo melibatkan lelaki yang kini akrab disapa ‘Abah Iwan’ itu. Demikian juga dengan Pak Teddy, sama-sama pentolan Wanadri