Mohon tunggu...
Hamsina Halisi 1453
Hamsina Halisi 1453 Mohon Tunggu... Penulis - Nama lengkap Hamsina Halisi, lahir di Ambon 10 September 1986. Saat ini aktif disalah satu organisasi di Indonesia dan komunitas sebagai aktivis dakwah. Selain itu sedang menggeluti dunia kepenulisan.

Menulis adalah cara untuk merubah peradaban dan mengikat ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

FPI Bubar, Rezim Otoriter Semakin Menggila

9 Januari 2021   10:00 Diperbarui: 9 Januari 2021   10:05 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Front Pembela Islam (FPI) resmi menjadi organisasi terlarang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken tiga menteri dan tiga kepala lembaga negara lainnya pada Rabu (30/12/2020) lalu.

Usai organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) resmi dibubarkan, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menyampaikan permintaannya kepada pemerintah terkait ormas keagamaan lainnya. Basarah meminta agar pemerintah bisa lebih merangkul dan mendukung organisasi keagamaan yang moderat dan loyal mendukung persatuan serta kesatuan bangsa.(kompas.com, 03/01/21)

Menyikapi hal tersebut, FPI seolah merupakan partai paling berbahaya di Indonesia seperti halnya yang pernah dituduhkan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Terbukti setelah pencabutan BHP keorganisasian HTI pada tanggal 19 Juli 2017 kini menyusul pembubaran organisasi FPI dengan alasan yang sama tak lain berhaluan keras, mengancam eksistensi Ideologi bangsa serta mengancam konsensus dasar negara yakni UUD 1945, pancasila, NKRI dan Kebhinekaan Tunggal Ika yang menurut pemerintah hal tersebut termaktub dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Polemik pencabutan badan hukum hingga pembubaran sebuah partai atau organisasi sebenarnya bukan terjadi kali ini saja yang menimpa HTI maupun FPI. Pada tahun 1960-an pada masa Orde Lama kepemimpinan Presiden Soekarno, Masyumi merupakan salah satu partai Islam yang menjadi korban keotoriteran rezim kala itu. Organisasi ini dibubarkan oleh Soekarno karena diduga melakukan pemberontakan terhadap gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Selain dituding melakukan pemberontakan, organisasi Masyumi kala itu kerap melontarkan berbagai kritikan kepada Soekarno. Diantara kritikan yang semakin mengancam eksistensi Soekarno adalah saat dirinya mengemukakan konsep demokrasi terpimpin yang dianggap oleh Masyumi menyalahi konsep demokrasi. Tak hanya itu kritikan pun dilontarkan karena Sang Proklamator bertindak otoriter, tidak demokratis dan lebih condong kepada partai tertentu.

Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Mahkamah Agung resmi membubarkan Masyumi sesuai Tap Presiden tahun 1959. Kemudian Soekarno pun menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 untuk membubarkan partai tersebut. Dan
pada tanggal 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan Partai Masyumi bubar.

Apa yang menimpa Masyumi sebagai organisasi Islam tertua di Indonesia, tak beda jauh halnya dengan yang dialami baik HTI maupun FPI. Aktivitas kedua organisasi kemasyarakatan ini pun kerap melontarkan kritikan terhadap kebijakan rezim saat ini. Kebijakan yang terbilang otoriter dan jauh dari sifat demokratis yang sesungguhnya. 

Ketika penguasa otoritar nan zalim melihat tanda-tanda kejatuhannya mereka menjadi panik, menindas dengan kekuasaan, membungkus niat jahat dengan kebohongan dan menjadi uring-uringan. Kekuasaannya segera dibentengi dengan perangkat kekuasaan di bawahnya. Sikap intoleransinya terhadap kritik bisa berwujud fitnah, intimidasi, ancaman, pemecatan, sampai perang urat saraf.

Bahkan tak ada bedanya gaya kepemimpinan sejak orde lama hingga masa reformasi. Hasil kepemimpinan setiap masa pemerintahan justru hanya melahirkan kebijakan yang mematikan kebebasan setiap individu hingga keorganisasian. Walhasil banyak aktivis yang dibungkam, ulama di kriminalisasi, hingga pembubaran ormas yang dianggap sebagai ancaman kesatuan bangsa karena tak sejalan dengan prinsip demokrasi serta ideologi bangsa. Padahal, pernyataan ini hanyalah untuk menutupi serangkaian kegagalan rezim dalam mengurusi persoalan negara.

Di samping adanya kebijakan setelah disahkannya Omnibus Law yang memungkinkan bangsa ini akan di 'banjiri' para investor dan TKA. Maka, pasca pembubaran ormas yang lantang menentang kebijakan rezim Jokowi dianggap bukan lagi sebuah penghalang karena seluruh aktivitasnya telah dilarang. Pembubaran kedua ormas ini pula membawa angin segar bagi partai atau ormas yang menjadi penjilat rezim agar mampu mendapatkan kekuasaan bahkan dikendalikan oleh penguasa.

Meski demikian, HTI dan FPI mampu eksis meskipun kedua ormas ini telah dicabut BHPnya. Seperti HTI yang tetap berpegang teguh pada perjuangan dakwahnya dengan fikroh dan toriqohnya, organisasi kemasyarakatan ini mampu membongkar kebusukan serta setiap kebijakan rezim yang tidak pro kepada rakyat. Beda halnya dengan FPI meski telah dinyatakan bubar dan dihentikan aktivitasnya, ormas ini kemudian berganti nama dengan Front Persatuan Islam. Namun sayang, pemerintah tetap ngotot pada kebijakannya agar ormas tersebut tidak beraktivitas seperti biasanya.

Nasib ormas Islam semenjak masa Orde Lama hingga Reformasi selalu menjadi ancaman bagi rezim yang anti terhadap Islam hingga mengesampingkan kepentingan rakyat. Masyumi, HTI hingga FPI adalah korban keotoriteran dan kediktatoran rezim represif anti Islam.  Maka berkaca pada permasalahan tersebut sudah seharusnya umat Islam melakukan manuver politik guna untuk mematikan pergerakan lawan yakni musuh-musuh Islam.

Manuver politik yang dilakukan oleh kaum muslim adalah menyasar ideologi atau paham yang menjadi inti persoalan bangsa. Sekularisme dan liberalisme merupakan pangkal atas kejahatan yang menimpa umat yang selama ini di emban oleh rezim Jokowi.   Bahkan kekuasaan rezim saat ini didukung media antimainstream yang selalu melakukan framing buruk terhadap ajaran Islam hingga para aktivisnya.

Bahkan dengan melihat kekuatan umat yang begitu besar terlihat ketika massa aksi 212 ini cukup mampu mengakhiri kekuasaan pemerintahan otoriter jika saja manuver politik kaum muslim lebih digencarkan lagi. Karenanya, tak ada legalitas dari manusia untuk tetap berdakwah menentang dan mengkritik kebijakan pemerintah yang kontra terhadap rakyat. Kewajiban dakwah sudah ditetapkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah Ali Imran:104. Itulah legalitas atas kewajiban dakwah yang harus diemban oleh setiap muslim meskipun tanpa embel-embel badan hukum dari manusia. Wallahu A'lam Bishshowab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun