Sumber gambar : webblogkkn.unsyiah.ac.id
Saya dilahirkan dan tumbuh di kota Lhokseumawe. Sebuah kota di pesisir utara provinsi Aceh. Salah satu ruang publik yang ada di kota kami adalah Meunasah atau Langgar. Bentuk bangunannya tidak jauh beda dengan balai atau rumah panggug setengah terbuka. Dan lokasinya tidak jauh-jauh dari kuburan.
Ketika berusia 5 tahun orang tua menitip saya pada seorang teungku (ustaz) yang mengajar mengaji di Meunasah - setiap malam sehabis Magrib. Sejak itu saya mulai akrab dengan kehidupan Meunasah dan kadang-kadang menjadi figuran pada acara-acara penting di Meunasah.
Pada usia 12 tahun saya sudah bawa “koper” ke Meunasah dengan beberapa peran dalam berbagai kesempatan. Kadang-kadang jadi muazin, kadang-kadang jadi undangan kehormatan pada acara tahlilan, dan kalau lagi sial jadi tukang cuci karpet. Meskipun tidak sepenuhnya tinggal di Meunasah tapi sebagian besar dunia malam saya habiskan di sana.
Karena tidur di Meunasah sudah menjadi tradisi, maka tidak ada keberatan dari orang tua. Mungkin, malah bersyukur karena bisa “berhemat” tempat tidur di rumah. Maklumlah, pada saat itu, rata-rata keluarga di kampung kami hidup pas-pasan, tapi banyak anak. Bagi saya, tradisi tinggal di Meunasah, selain menjalankan ibadah tepat waktu juga mengajarkan kemandirian.
Uniknya, Meunasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga memiliki fungsi lain: sebagai tempat musyawarah, tempat pengajian, tempat berkesenian, tempat bermain (biasanya main catur tradisional), tempat buka puasa bersama, dan tempat tinggal.
Sebagai tempat tinggal, ada dua tipe penghuni di Meunasah: penghuni tetap dan penghuni tidak tetap. Penghuni tetap adalah mereka yang berperan menjaga dan merawat Meunasah - seperti kami. Sementara penghuni tidak tetap adalah orang-orang yang kemalaman di jalan, orang yang kesasar mencari alamat keluarganya, penonton sepak bola atau pengunjung acara hiburan dari luar kota.
Meunasah selalu menarik bagi pelaku ekonomi kecil. Biasanya pada hari-hari besar Islam atau pada saat ziarah kubur. Pada hari besar Islam, Meunasah selalu mengadakan acara Dakwah Islamiah dengan mengundang penceramah kondang untuk memberi siraman rohani. Sehingga pengunjung tidak hanya datang dari desa kami tapi juga dari desa-desa tetangga.
Boleh dibilang acara Dakwah selalu menjadi moment favorit bagi para pelaku ekonomi kecil. Tidak seperti investor luar negeri yang belum tentu datang meskipun diundang. Pelaku ekonomi kecil bagaikan jelangkung; datang tak diundang. Mereka adalah penjual kacang, penjual cendol, penjual sirih, penjual balon, dan penjual lainnya. Merekalah yang menggerakkan roda perekonomian di lingkungan Meunasah.
Satu lagi yang menarik dari Meunasah adalah kalau ada yang lagi tawuran atau cekcok rumah tangga. Kita tidak perlu ke TKP untuk mengetahui masalahnya. Karena pada akhirnya mereka akan didamaikan di Meunasah. Sehingga kita semua tahu masalahnya dan tidak akan berkembang menjadi gosip yang berkepanjangan - gosip berkembang karena informasi yang sepotong-sepotong. Pada saat itu, Meunasah merupakan pusat informasi yang terpercaya.
Meunasah merupakan contoh model ruang publik yang mampu mengakomodasi semua permasalahan warga. Interaksi antar warga di Meunasah berjalan secara alamiah, sehingga melahirkan sebuah budaya. Oleh karena itu budaya Meunasah akan selalu eksis karena partispasi masyarakat di dalamnya.
Meskipung ruang publik telah bergeser peruntukannya bagi saya ruang publik adalah rohnya sebuah kota. Di sanalah setiap warga bisa berinteraksi. Di sana pula setiap warga bisa berproses secara alamiah. Interaksi warga dengan lingkungan sekitarnya diharapkan akan terbentuk ekosistem alami.
Seperti kita ketahui, pada sebuah ekosistem akan selalu ditemukan makhluk hidup yang memiliki tingkatan sebagai produsen, konsumen, dan pengurai pada rantai makanan. Setiap komponen ini mempunyai peranan berbeda terhadap ekosistem tersebut. Namun, ketika melaksanakan perannya, komponen tersebut akan saling mengalami ketergantungan satu sama lain.(wikipedia)
Sangat disayangkan, bila ada ruang publik yang mengecualikan kelompok-kelompok (komponen) tertentu. Ruang publik harus dipandang sebagai tempat aspiratif bagi setiap warga tanpa membedakan status. Jangan kita berpikir bahwa gelandangan atau anak jalanan tidak bisa memberi kontribusi apa-apa terhadap permasalahan kota. Selalu ada potensi pada diri setiap manusia selama diberi kesempatan.
Oleh karena itu, kalau boleh memberi saran, berilah kesempatan kepada tunawisma untuk melakukan sesuatu di ruang publik. Misalnya, diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat. Biasanya seseorang yang diberi tanggung jawab akan berpikir kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Bukankah Allah selalu berlaku adil pada setiap manusia? Dalam setiap kekurangan selalu ada kelebihan.
Alangkah baiknya kalau sebuah ruang publik dapat dikondisikan agar orang-orang berpikir, merencanakan, dan bertindak sesuai dengan perannya dalam memanfaatkan peluang atau mengatasi permasalahan kota. Apakah itu menangani masalah sosial, menciptakan lapangan kerja, atau memperindah lingkungan sekitar.
Wallahu ‘a’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H